Senin, 26 September 2011

Disaster Victim Identification [DVI]


DISASTER VICTIM IDENTIFICATION

I. PENDAHULUAN
Form PostMortem from INTERPOL
            Bencana massal merupakan suatu kejadian yang mendadak, tak terduga, dapat terjadi pada siapa saja, dimana saja, kapan saja serta mengakibatkan kerusakan dan kerugian harta benda dan korban manusia baik korban mati maupun cidera, sehingga memberi pertolongan medik menggunakan sarana, fasilitas, dan tenaga yang lebih dari yang tersedia sehari-hari. Penyebab bencana massal dapat diakibatkan oleh penyebab alam (natural) : gunung api meletus, banjir, tanah longsor, gempa bumi dan sebagainya, sedangkan penyebab oleh manusia : kelalaian manusia (kecelakaan lalu lintas, pesawat udara dan kapal laut), kebakaran, gedung runtuh serta peledakan bom oleh teroris. Bagi korban kejadian tertentu dan korban massal memerlukan proses identifikasi.1
            Identifikasi korban bencana diperlukan sebagai perwujudan Hak Azasi Manusia dan penghormatan kepada orang meninggal dan ahli warisnya yaitu mengenali, merawat, mendoakan, menguburkan sesuai dengan agama dan keyakinan, adat istiadat dan menyerahkan kepada keluarganya. Identifikasi mutlak diperoleh untuk menentukan secara hukum masih hidup atau matinya seseorang, juga berkaitan dengan bidang santunan, warisan, asuransi jiwa, hak pensiun, kemungkinan untuk menikah lagi bagi pasangan yang ditinggalkan dan membantu kepolisian dalam rangka proses Penyidikan. Agar benar dan diakui dalam proses kerja berdasar ilmiah.1
                DVI adalah suatu prosedur yang telah ditentukan untuk Mengidentifikasi korban mati secara ilmiah dalam sebuah insiden atau bencana masal berdasarkan Protokol INTERPOL ;2,3
·         Pemenuhan salah satu HAM
·         Dapat merupakan bagian dari proses investigasi
·         Dapat bermanfaat dalam merekontruksi tentang sebab bencana
·         Merupakan suatu prosedur yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan hasilnya kepada masyarakat dan hukum.
·         Diperlukan karena karena pada banyak kasus identifikasi visual tidak dapat dipertanggungjawabkan atau diterapkan karena kondisi korban yang sudah rusak tidak mungkin lagi dikenali.
·         Pemenuhan aspek hukum perdata
·         Pengembalian jenazah dengan identitas secara pasti kepada keluarganya
·         Pemenuhan Pasal 51 ayat 5 PP No.21 tentang Penyelenggaraan PB.
II. PROSES DVI
Adapun proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan lainnya, yang terdiri dari  Fase TKP-‘The Scene’, Fase Pengumpulan data jenazah-‘The Mortuary’ atau Post Mortem, Fase Pengumpulan data jenazah sewaktu hidup-‘Ante Mortem Information Retrieval’, Fase Pembandingan-‘Reconciliation’ and Fase analisa dan evaluasi-‘Debriefing’.2,3,6
A.    Initial Action at the Disaster Site
Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian peristiwa (TKP) bencana. Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling utama adalah untuk mengetahui seberapa luas jangkauan bencana. Sebuah organisasi resmi harus mengasumsikan komando operasi secara keseluruhan untuk memastikan koordinasi personil dan sumber daya material yang efektif dalam penanganan bencana. Dalam kebanyakan kasus, polisi memikul tanggung jawab komando untuk operasi secara keseluruhan. Sebuah tim pendahulu (kepala tim DVI, ahli patologi forensik dan petugas polisi) harus sedini mungkin dikirim ke TKP untuk mengevaluasi situasi berikut :7
*        Keluasan TKP : pemetaan jangkauan bencana dan pemberian koordinat untuk area bencana.
*        Perkiraan jumlah korban.
*        Keadaan mayat.
*        Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI.
*        Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu proses DVI.
*        Metode untuk menangani mayat.
*        Transportasi mayat.
*        Penyimpanan mayat.
*        Kerusakan properti yang terjadi.
Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana, ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk mengamankan, langkah kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan langkah ketiga adalah documentation atau pelabelan.7
Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak. Langkah – langkah tersebut antara lain adalah :7
·         Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak berkepentingan (penonton yang penasaran, wakil – wakil pers, dll), misalnya dengan memasang police line.
·         Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
·         Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan.
·         Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
·         Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan kehaditan dan otorisasi.
·         Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus meninggalkan area bencana.
Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus mengumpulkan korban – korban bencana dan mengumpulkan properti yang terkait dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi korban.7
Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban.7
Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.7
B.     Collecting Post Mortem Data
Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan mencatat data selengkap – lengkapnya mengenai korban. Pemeriksaan dan pencatatan data jenazah yang dilakukan diantaranya meliputi :7
o   Dokumentasi korban dengan mengabadikan foto kondisi jenazah korban.
o   Pemeriksaan fisik, baik pemeriksaan luar maupun pemeriksaan dalam jika diperlukan.
o   Pemeriksaan sidik jari.
o   Pemeriksaan rontgen.
o   Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang berbeda.
o   Pemeriksaan DNA.
o   Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban.
Data – data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data primer dan data sekunder sebagai berikut :7
§  PRIMER : SIDIK  JARI, PROFIL  GIGI, DNA.
§  SECONDARY : VISUAL, FOTOGRAFI, PROPERTI JENAZAH, MEDIK-ANTROPOLOGI (TINGGI BADAN, RAS, DLL).
Selain mengumpulkan data paska kematian, pada fase ini juga ekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah perubahan – perubahan paska kematian pada jenazah, misalnya dengan meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan.7
C.    Collecting Ante Mortem Data
Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang terdekat dengan jenazah. Data yang diperoleh dapat berupa foto korban semasa hidup, interpretasi ciri – ciri spesifik jenazah (tattoo, tindikan, bekas luka, dll), rekaman pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban semasa hidup, sampel DNA orang tua maupun kerabat korban, serta informasi – informasi lain yang relevan dan dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi, misalnya informasi mengenai pakaian terakhir yang dikenakan korban.7
D.    Reconciliation
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah.7
E.     Returning to the Family
Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan. Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi yang memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah dan kepentingan mediko-legal serta administrative untuk penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang menguburkan jenazah.7
III. METODE IDENTIFIKASI
            Identifikasi Massal adalah proses pengenalan jati diri korban massal yang terjadi akibat bencana. Identifikasi dilakukan dengan memanfaatkan ilmu Kedokteran dan Kedokteran gigi pada korban baik hidup maupun mati.4
            Pada prinsipnya identifikasi adalah prosedur Penentuan identitas individu, baik hidup ataupun mati, yang dilakukan pembandingan berbagai data dari individu yang diperiksa dengan data dan orang yang disangka sebagai individu tersebut. Sebagai prinsip umum dapat dikatakan bahwa :5
1.      Pada identifikasi Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan sebanyak mungkin metode identifikasi,
2.      Jika ada data yang tidak cocok, maka kemungkinan tersangka sebagai individu tersebut dapat disingkirkan eksklusi,
3.      Setiap kesesuaian data akan menyebabkan ketetapan identifikasi semakin tinggi.
Untuk mengidentifikasi korban bencana, dua data yang berbeda harus dikumpulkan:8
ü  Data tentang orang yang hilang, yaitu orang-orang yang diketahui atau diduga telah hadir ketika bencana terjadi dan tidak terdaftar sebagai korban.
ü  Data mayat yang ditemukan dari tempat kejadian.

Yang dimaksud dengan Metode identifikasi adalah cara atau teknik yang dapat digunakan untuk menentukan identifikasi seseorang melalui metode daktiloskopi, Fotografi, Superimpuse, Odontologi, Antropometri, DNA, Sinyalemen dan Raut Wajah.4
Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan tehnik identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol menentukan Primary Indentifiers yang terdiri dari Fingerprints-sidik jari, Dental Records-hasil pemeriksaan gigi geligi dan DNA serta Secondary Indentifiers yang terdiri dari Medical-data medis, Property-barang kepemilikan dan Photography. Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data Ante Mortem yaitu data-data yang penting dari korban sebelum kejadian atau pada waktu korban masih hidup, termasuk data vital tubuh, data gigi, data sidik jari, dan data kepemilikan yang dipakai atau dibawa dan Post Mortem yaitu data-data hasil pemeriksaan forensik yang dilihat dan ditemukan pada jenazah korban, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik. Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan Secondary Identifiers.2,3,6
            Metode sederhana, diantaranya :6
1.      Cara visual, dapat bermanfaat bila kondisi mayat masih baik, cara ini mudah karena identitas dikenal melalui penampakan luar baik berupa profil tubuh atau muka. Cara ini tidak dapat diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi serta harus mempertimbangkan faktor psikologis keluarga korban (sedang berduka, stress, sedih, dll)
2.      Melalui kepemilikan (property) identititas cukup dapat dipercaya terutama bila kepemilikan tersebut (pakaian, perhiasan, surat jati diri) masih melekat pada tubuh korban.
3.      Dokumentasi, foto diri, foto keluarga, foto sekolah, KTP atau SIM dan lain sebagainya.
            Metode ilmiah, antara lain: 1) Sidik jari, 2) Serologi, 3) Odontologi, 4) Antropologi dan 5) Biologi.6
            Identifikasi personal dilakukan dengan melakukan pemeriksaan berdasarkan beberapa metode identifikasi. Ada 9 macam metode identifikasi yaitu:5,11
1.      Metode Visual
Identifikasi dilakukan dengan melihat tubuh atau bagian tubuh korban secara visual, misalnya muka, tungkai dan sebagainya. Metode ini hanya dapat dilakukan jika tubuh atau bagian tubuh tersebut masih utuh atau masih dalam keadaan baik dan belum terjadi pembusukan yang lanjut.
2.      Perhiasan
Beberapa perhiasan yang dipakai korban, seperti cincin, gelang, rantai, arloji, liontin, dan sebagainya dapat mengarahkan kita kepada identitas korban tersebut. Perhiasan mempunyai nilai yang lebih tinggi jika ia mempunyai ciri khas, seperti gravir nama, foto dalam liontin, bentuk atau bahan yang khas dan sebagainya.
3.      Pakaian
Pakaian luar dan dalam yang dipakai korban merupakan data yang amat berharga untuk menunjukkan identitas si pemakainya, bentuknya yang unik atau yang mempunyai label tertentu (label nama, penjahit, binatu atau merek) memiliki nilai yang lebih karena dapat mempersempit kemungkinan tersangka.
4.      Dokumen
Dokumen seperti SIM, KTP, Pasport, kartu golongan darah, tanda pembayaran dan lain sebagainya yang ditemukan dalam dompet atau tas korban dapat menunjukkan identitas orang yang membawa dokumen tersebut, khususnya jika dokumen tersebut dibawa sendiri oleh pemiliknya dan tidak palsu.
5.      Identifikasi secara medis
Pemeriksaan medis dilakukan untuk mendapatkan data umum dan data khusus individu berdasarkan pemeriksaan atas fisik individu tersebut. Pada pengumpulan data umum dicari data yang umum diketahui dan dimiliki oleh setiap individu dan mudah dikonfirmasi kepada keluarga, seperti data ras, jenis kelamin, umur, berat badan, warna kulit, rambut, dan sebagainya. Data khusus adalah data yang belum tentu dimiliki oleh setiap individu atau data yang tidak dengan mudah dikonfirmasi kepada keluarganya, seperti data foto rontgen untuk mengetahui keadaan sutura; bekas patah tulang atau pen serta pasak yang dipakai pada perawatan penderita patah tulang, data laboratorium, adanya tatoo, bekas operasi atau jaringan parut, tehnik superimposisi, tehnik rekonstruksi wajah, dan sebagainya.
6.      Odontologi forensik
Pemeriksaan atas gigi geligi dan jaringan sekitarnya serta berbagai perubahan akibat perawatan gigi dapat membantu menunjukkan identitas individu yang bersangkutan.
7.      Serologi forensik
Pada awalnya yang termasuk dalam kategori pemeriksaan serologi adalah pemeriksaan terhadap polimorfisme protein yaitu pemeriksaan golongan darah dan golongan protein serum. Perkembangan ilmu kedokteran menyebabkan ruang lingkup serologi diperluas dengan pemeriksaan polimorfisme protein lain yaitu pemeriksaan terhadap enzim eritrosit serta pemeriksaan antigen Human Lymphocyte Antigen (HLA).
Pada saat ini dengan berkembangnya analisis polimorfisme DNA, bidang ini menjadi lebih luas lagi karena bahan pemeriksaan bukan lagi darah, melainkan hampir seluruh sel tubuh kita. Hal ini memberikan dampak kecenderungan penggantian istilah serologi dengan istilah hemereologi yang mencakup semua hal diatas.
8.      Sidik jari
Telah lama diketahui bahwa sidik jari setiap orang di dunia tidak ada yang sama sehingga pemeriksaan sidik jari dapat digunakan untuk identifikasi individu.
9.      Eksklusi
Dalam kecelakaan massal yang menyebabkan kematian sejumlah individu, yang nama-namanya ada dalam daftar individu (data penumpang, data pegawai dan sebagainya), maka jika (n-1) individu telah teridentifikasi, maka satu individu terakhir diputuskan tanpa pemeriksaan (per ekslusionam) sebagai individu yang tersisa menurut daftar tersebut.
            Khusus pada korban bencana massal, telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai yaitu :2,3,6
(a).   Primer/utama
1.      Catatan atau hasil pemeriksaan gigi geligi (Dental Records)
2.      sidik jari (Finger Prints)
3.      DNA
(b).  Sekunder/pendukung
1.      visual
2.      property (Barang kepemilikan)
3.      data medis (Medical)
Berikut ini akan di bahas metode-metode tersebut untuk identifikasi korban bencana secara massal :
1.      Dental Records
Bentuk gigi dan bentuk rahang merupakan ciri khusus seseorang, sedemikian khususnya sehingga dapat dikatakan tidak ada gigi atau rahang yang identik pada dua orang yang berbeda, menjadikan pemeriksaan gigi ini mempunyai nilai tinggi dalam hal penentuan jati diri seseorang. Gigi merupakan suatu cara identifikasi yang dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran. dimana dalam keadaan tersebut pemeriksaan sidik jari tidak dapat dilakukan, sehingga dapat dikatakan gigi merupakan pengganti dari sidik jari. Satu keterbatasan pemanfaatan gigi sebagai sarana identitas adalah belum meratanya sarana untuk pemeriksaan gigi, demikian pula pendataannya (dental record). Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi (Odontogram) dan rahang yang dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual, sinar-X dan pencetakan gigi dan rahang. Odontogram memuat data tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa gigi dan sebagainya. Seperti halnya dengan sidik jari, maka setiap individu memiliki susunan gigi yang khas. Dengan demikian dapat dilakukan identifikasi dengan cara membandingkan data temuan dengan data pembanding antemortem.6,11,12
Sebagai suatu metode identifikasi pemeriksaan gigi memiliki keunggulan sebagai berikut :5,6,13
a.       Gigi dan restorasinya merupakan jaringan keras yang resisten terhadap pembusukan dan pengaruh lingkungan yang ekstrem. Karena gigi komposisinya sebagian besar terdiri dari bahan anorganik sehingga tidak mudah rusak, sedangkan bahan organik dan airnya sedikit sekali.
b.      Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi geligi dan restorasi gigi menyebabkan dimungkinkannya identifikasi dengan ketepatan yang tinggi. (1: 1050).
Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai:
a. umur
b. jenis kelamin
c. ras
d. golongan darah
e. bentuk wajah
f. DNA
c.       Kemungkinan tersedianya data ante mortem gigi dalam bentuk catatan medis gigi (dental record) dan data radiologis.
2.      Pemeriksaan Sidik Jari
Metode ini membandingkan gambaran sidik jari jenazah dengan sidik jari antemortem. Sampai saat ini, pemeriksaan sidik jari merupakan pemeriksaan yang diakui paling tinggi ketepatannya untuk menentukan identitas seseorang. Sifat yang dimiliki oleh sidik jari antara lain :12,14
a.       Perennial nature, yaitu guratan-guratan pada sidik jari yang melekat pada kulit manusia seumur hidup.
b.      Immutability, yaitu sidik jari seseorang tidak pernah berubah, kecuali mendapatkan kecelakaan yang serius.
c.       Individuality, pola sidik jari adalah unik dan berbeda untuk setiap orang.
Dapat dikatakan bahwa tidak ada dua orang yang sama mempunyai sidik jari yang sama, walaupun kedua orang tersebut kembar monozigot. Atas dasar ini, sidik jari merupakan sarana yang penting khususnya bagi kepolisian didalam mengetahui jati diri seseorang, oleh karena selain kekhususannya, juga mudah dilakukan secara masal dan murah pembiayaannya. Walaupun pemeriksaan sidik jari tidak dilakukan dokter, dokter masih punya kewajiban yaitu untuk mengambil (mencetak) sidik jari, khususnya sidik jari pada korban yang tewas dan keadaan mayatnya telah membusuk. Teknik pengembangan sidik jari pada jari telah keriput, serta mencopot kulit ujung jari yang telah mengelupas dan memasangnya pada jari pemeriksa, baru kemudian dilakukan pengambilan sidik jari, merupakan prodedur yang harus diketahui oleh dokter.11
Menurut Francis Galton (1822-1916) mengatakan bahwa tidak ada dua sidik jari yang sama, artinya setiap sidik jari dimiliki seseorang adalah unik. Berdasarkan klasifikasi, pola sidik jari dapat dinyatakan secara umum ke dalam tiga bentuk yaitu :14

1.      Tipe Arch, Pada patern ini kerutan sidik jari muncul dari ujung, kemudian mulai naik di tengah, dan berakhir di ujung yang lain.15
2.      Tipe Loop, Pada patern ini kerutan muncul dari sisi jari, kemudian membentuk sebuah kurva, dan menuju keluar dari sisi yang sama ketika kerutan itu muncul.15
3.        Tipe Whorl, Pada patern ini kerutan berbentuk sirkuler yang mengelilingi sebuah titik pusat dari jari. 15
3.      Pemeriksaan DNA
DNA atau DeoxyriboNucleic Acid merupakan asam nukleat yang menyimpan semua informasi tentang genetika. DNA inilah yang menentukan jenis rambut, warna kulit dan sifat-sifat khusus dari manusia. DNA ini akan menjadi cetak biru (blue print) ciri khas manusia yang dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya. Sehingga dalam tubuh seorang anak komposisi DNA nya sama dengan tipe DNA yang diturunkan dari orang tuanya. Sedangkan tes DNA adalah metode untuk mengidentifikasi fragmen-fragmen dari DNA itu sendiri. Atau secara sederhananya adalah metode untuk mengidentifikasi, menghimpun dan menginventarisir file-file khas karakter tubuh.16
Tes DNA umumnya digunakan untuk 2 tujuan yaitu (1) tujuan pribadi seperti penentuan perwalian anak atau penentuan orang tua dari anak dan (2) tujuan hukum, yang meliputi masalah forensik seperti identifikasi korban yang telah hancur, sehingga untuk mengenali identitasnya diperlukan pencocokan antara DNA korban dengan terduga keluarga korban ataupun untuk pembuktian kejahatan semisal dalam kasus pemerkosaan atau pembunuhan. Hampir semua sampel biologis tubuh dapat digunakan untuk sampel tes DNA, tetapi yang sering digunakan adalah darah, rambut, usapan mulut pada pipi bagian dalam (buccal swab), dan kuku. Untuk kasus-kasus forensik, sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel biologis apa saja yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) dapat dijadikan sampel tes DNA.16
DNA yang biasa digunakan dalam tes ada dua yaitu DNA mitokondria dan DNA inti sel. Perbedaan kedua DNA ini hanyalah terletak pada lokasi DNA tersebut berada dalam sel, yang satu dalam inti sel sehingga disebut DNA inti sel, sedangkan yang satu terdapat di mitokondria dan disebut DNA mitokondria. Untuk tes DNA, sebenarnya sampel DNA yang paling akurat digunakan dalam tes adalah DNA inti sel karena inti sel tidak bisa berubah. DNA dalam mitokondria dapat berubah karena berasal dari garis keturunan ibu yang dapat berubah seiring dengan perkawinan keturunannya. Sebagai contoh untuk sampel sperma dan rambut. Yang paling penting diperiksa adalah kepala spermatozoanya karena didalamnya terdapat DNA inti, sedangkan untuk potongan rambut yang paling penting diperiksa adalah akar rambutnya. Tetapi karena keunikan dari pola pewarisan DNA mitokondria menyebabkan DNA mitokondria dapat dijadikan sebagai marka (penanda) untuk tes DNA dalam upaya mengidentifikasi hubungan kekerabatan secara maternal.16
Untuk akurasi kebenaran dari tes DNA hampir mencapai 100% akurat. Adanya kesalahan bahwa kemiripan pola DNA bisa terjadi secara random (kebetulan) sangat kecil kemungkinannya, mungkin satu diantara satu juta. Jikapun terdapat kesalahan itu disebabkan oleh faktor human error terutama pada kesalahan interprestasi fragmen-fragmen DNA oleh operator (manusia). Tetapi dengan menerapkan standard of procedur yang tepat kesalahan human error dapat diminimalisir atau bahkan ditiadakan.16
Metode tes DNA yang umumnya digunakan di dunia ini masih menggunakan metode konvensional yaitu elektroforesis DNA. Sedangkan metode tes DNA yang terbaru adalah dengan menggunakan kemampuan partikel emas berukuran nano untuk berikatan dengan DNA. Prinsip metode ini adalah mempergunakan untai pendek DNA yang disebut Probe yang telah diberi zat pendar. Probe ini dirancang spesifik untuk gen sampel tertentu dan hanya akan menempel/berhibridisasi dengan DNA sampel tersebut. Partikel emas berukuran nano dalam metode ini berperan dalam mengikat Probeyang tidak terhibridasi. Pendeteksian dilakukan dengan penyinaran pada panjang gelombang tertentu. Keberadaan DNA yang sesuai dengan DNA Probe dapat dilihat dari pendaran sampel tersebut. Jumlah DNA target tersebut kira-kira berbanding lurus terhadap intensitas pendaran sinar yang dihasilkan.16
Keunggulan metode ini dibandingkan dengan metode konvensional adalah pada kecepatan dan harganya yang jauh lebih cepat dan murah dibandingkan metode elektroforesis DNA.16
4.      Identifikasi Medik
Metode ini menggunakan data umum dan data khusus. Data umum meliputi tinggi badan, berat badan, rambut, mata, hidung, gigi dan sejenisnya. Data khusus meliputi tattoo, tahi lalat, jaringan parut, cacat kongenital, patah tulang dan sejenisnya. Metode ini mempunyai nilai tinggi karena selain dilakukan oleh seorang ahli dengan menggunakan berbagai cara atau modifikasi (termasuk pemeriksaan dengan sinar-X) sehingga ketepatannya cukup tinggi. Bahkan pada tengkorak/kerangka pun masih dapat dilakukan metode identifikasi ini. Melalui metode ini diperoleh data tentang jenis kelamin, ras, perkiraan umur, tinggi badan, kelainan pada tulang dan sebagainya.11,12
Upaya identifikasi pada kerangka bertujuan membuktikan bahwa kerangka tersebut adalah kerangka manusia, ras, jenis kelamin, perkiraan umur, tinggi badan, ciri-ciri khusus, deformitas, dan bila memungkinkan dapat dilakukan rekonstruksi wajah. Dicari pula tanda kekerasan pada tulang. Perkiraan saat kematian dilakukan dengan memperhatikan keadaan kekeringan tulang.12
Bila terdapat dugaan berasal dari seseorang tertentu, maka dilakukan identifikasi dengan membandingkannya dengan data ante mortem. Bila terdapat foto terakhir wajah orang tersebut semasa hidup, dapat dilaksanakan metode superimposisi, yaitu dengan jalan menumpukkan foto rontgen tulang tengkorak di atas foto wajah yang dibuat berukuran sama dan diambil dari sudut pemotretan yang sama. Dengan demikian dapat dicari adanya titik-titik persamaan.12
Penentuan ras mungkin dilakukan dengan pemeriksaan antropologik pada tengkorak, gigi geligi dan tulang panggul atau tulang lainnya. Arcus zygomaticus dan gigi insicivus atas pertama yang berbentuk seperti sekop memberi petunjuk ke arah ras Mongoloid.12
Jenis kelamin ditentukan berdasarkan pemeriksaan tulang panggul, tulang tengkorak, sternum, tulang panjang serta scapula dan metacarpal. Pada panggul, indeks iso-pubis (panjang pubis dikali 100 dibagi panjang ischium) merupakan ukuran yang paling sering digunakan.12
a)      Identifikasi jenis kelamin pada kerangka
Penentuan ini didasarkan pada ciri-ciri yang mudah dikenali pada tulang-tulang, seperti : tulang panggul, tengkorak, tulang-tulang panjang, tulang dada, dimana yang mempunyai nilai tinggi di dalam hal penentuan jenis kelamin adalah tunggal panggul baru kemudian tengkorak. Secara umum dapat dikatakan bahwa rangka wanita mempunyai bentuk dan tekstur yang lebih halus bila dibandingkan dengan rangka seorang pria.11
v  Panggul
Pemeriksaan panggul secara tersendiri tanpa pemeriksaan lain, jenis kelamin sudah dapat ditentukan pada sekitar 90% kasus. Bentuk dari “Greater schiatic notch” mempunyai nilai tinggi dalam penentuan jenis kelamin dari tulang panggul, 75% kasus dapat ditentukan hanya dari pemeriksaan tersebut.11
v  Tengkorak
Untuk dapat menentukan jenis kelamin dari tulang tengkorak, diperlukan penilaian dari berbagai ciri-ciri yang terdapat pada tengkorak tersebut. Ciri-ciri ini akan tampak jelas setelah usia 14-16 tahun. Ketepatan penentuan jenis kelamin atas dasar pemeriksaan tengkorak dewasa adalah 90%.11
v  Tulang dada
Ratio panjang dari manubrium sterni dan corpus sterni menentukan jenis kelamin. Pada wanita manubrium sterni melebihi separuh panjang corpus sterni, dan ini mempunyai ketepatan sekitar 80%.11
v  Tulang panjang
Pria pada umumnya memiliki tulang yang lebih besar panjang, lebih berat dan lebih kasar, serta impresinya lebih banyak. Tulang paha (os.femur) merupakan tulang panjang yang dapat diandalkan dalam penentuan jenis kelamin ketepatannya pada orang dewasa sekitar 80%. Konfigurasi, ketebalan, ukuran dan caput femoris serta bentukan dari otot dan ligament serta perangai radiologis perlu diperhatikan.11
b)      Penentuan Umur pada kerangka
Untuk kepentingan menghadapi kasus – kasus forensik, maka penentuan atau lebih tepatnya perkiraan umur, dibagi dalam tiga fase, yaitu : bayi yang baru dilahirkan; anak – anak yang dan dewasa sampai umur 30 tahun dan dewasa diatas 30 tahun.11
v  Bayi yang baru dilahirkan
Perkiraan umur bayi sangat penting bila dikaitkan dengan kasus pembunuhan anak dalam hal ini penentuan umur kehamilan (maturitas), dan viabilitas. Kriteria yang umum dipakai adalah : berat badan, tinggi badan, dan pusat-pusat penulangan. Tinggi badan mempunyai nilai yang lebih bila dibandingkan dengan berat badan di dalam hal perkiraan umur.11
Tinggi badan diukur dari puncak kepala sampai ke tumit (crown heel),dapat digunakan untuk perkiraan umur dan menurut rumus dari HAASE. Cara pengukuran lain yaitu dari puncak kepala ke tulang ekor (crown-rup), dipergunakan oleh STREETER.11
v  Anak – anak dan dewasa di bawah 30 tahun
Saat terjadinya unifikasi dari dyaphises memberi hasil dalam bentuk perkiraan. Persambungan speno-occipital terjadi dalam umur 17-25 tahun. Pada wanita, saat persambungan tersebut antara 17-20 tahun. Tulang selangka merupakan tulang panjang yang terakhir mengalami unifikasi. Unifikasi dimulai pada umur 18-25 tahun, dan mungkin tidak lengkap sampai 25-30 tahun. Dalam usia 31 tahun ke atas unifikasi menjadi lengkap. Tulang belakang (ossis vertebrae),sebelum 30 tahun akan menunjukkan alur – alur yang dalam yang berjalan radier pada bagian permukaan atas dan bawah dalam hal ini corpus vertebranya.11
v  Dewasa di atas 30 tahun
Perkiraan umur dilakukan dengan memeriksa tengkorak, yaitu sutura – suturanya. Penutupan pada bagian tubula interna biasanya mendahului tabula externa. Sutura sagittalis, coronarius, dan sutura lambdoideus mulai menutup pada umur 20 -30 tahun. Lima tahun berikutnya terjadi penutupan sutura parieto-mastoid dan sutura squamosa, tetapi dapat juga tetap terbuka atau menutup sebagian pada umur 60 tahun. Sutura spheno-parietal umumnya tidak akan menutup hingga usia 70 tahun.11
c)      Penentuan Tinggi badan pada kerangka
Penentuan tinggi badan menjadi penting pada keadaan dimana yang harus diperiksa adalah tubuh yang sudah terpotong-potong atau yang didapatkan rangka, atau sebagian dari tulang saja. Pada umumnya perkiraan tinggi badan dapat dipermudah dengan pengertian bahwa tubuh yang diperiksa itu pendek, sedang atau jangkung. Perkiraan tinggi badan dapat diketahui dari pengukuran tulang-tulang panjang, yaitu :11
v  Tulang paha (femur), menunjukkan 27 persen dari tinggi badan,
v  Tulang kering (tibia), 22 persen dari tinggi badan,
v  Tulang lengan atas (humerus), 35 persen dari tinggi badan
v  Tulang belakang, 35 persen dari tinggi badan
Yang perlu diperhatikan di dalam pengukuran tulang:11
v  Pengukuran dengan osteometric board,
v  Tulang harus dalam keadaan kering (dry bone)
v  Formula yang dapat dipergunakan untuk pengukuran tinggi badan adalah :
                                                                      i.            Formula Stevenson
                                                                    ii.            Formula Trotter dan Gleser
Formula Trotter dan Gleser dan Stevenson merupakan formula untuk manusia ras mongoloid.
5.      Identifikasi Visual
Metode ini dilakukan dengan cara memperlihatkan jenazah pada orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarga atau temannnya. Walaupun metode ini sederhana, untuk mendapatkan hasil yang diharapkan perlu diketahui bahwa metode ini baru dapat dilakukan bila keadaan tubuh dan terutama wajah korban masih dalam keadaan baik dan belum terjadi pembusukan lanjut. Selain itu perlu diperhatikan faktor psikologis, emosi serta latar belakang pendidikan, mengingat adanay kemungkinan faktor-faktor tersebut turut berperan untuk membenarkan atau sebaliknya menyangkal identitas jenazah tersebut.11,12
6.      Pemeriksaan Barang Kepemilikan (Property)
a.      Dokumen. Dokumen seperti kartu identitas (KTP, SIM, paspor, kartu golongan darah, tanda pembayaran, dsb) dan sejenisnya yang kebetulan ditemukan dalam saku pakaian yang dikenakan akan sangat membantu mengenali jenazah tersebut. Perlu diingat pada kecelakaan masal, dokumen yang terdapat dalam tas atau dompet yang berada dekat jenazah belum tentu adalah milik jenazah yang bersangkutan karena ada kebiasaan seseorang di dalam menaruh dompet atau tasnya. Pada pria dompet biasanya terdapat dalam saku baju atau celana, sedangkan pada wanita tas biasanya dipegang; sehingga pada kecelakaan masal tas seseorang dapat terlempar sampai pada orang lain yang bukan pemiliknya, jika hal ini tidak diperhatikan kekeliruan identitas dapat terjadi, khususnya bila kondisi korban sudah busuk atau rusak.11,12
b.      Pakaian dan Perhiasan. Pencatatan yang diteliti atas pakaian, bahan yang dipakai, mode serta adanya tulisan-tulisan, seperti: merek pakaian, penjahit, laundry atau initial nama, dapat memberikan informasi yang berharga, milik siapakah pakaian tersebut. Bagi korban yang tidak dikenal, menyimpan pakaian secara keseluruhan atau potongan-potongan dengan ukuran 10 cm x 10 cm, adalah merupakan tindakan yang sangat tepat agar korban masih dapat dikenali walaupun tubuhnya telah dikubur. Perhiasan seperti anting-anting, kalung, gelang, serta cincin yang ada pada tubuh korban, khususnya bila pada perhiasan itu terdapat initial nama seseorang yang biasanya terdapat pada bagian dalam gelang atau cincin; akan membantu dokter atau pihak penyidik di dalam menentukan identitas korban. Mengingat kepentingan tersebut maka penyimpanan dari perhiasan haruslah dilakukan dengan baik. Khusus anggota ABRI, identifikasi dipermudah oleh adanya nama, serta NRP yang tertera pada kalung logam yang dipakainya.11,12
IV. KESIMPULAN
            DVI adalah suatu prosedur yang telah ditentukan untuk Mengidentifikasi korban mati secara ilmiah dalam sebuah insiden atau bencana masal berdasarkan Protokol INTERPOL. Bencana massal yang dimaksud seperti gunung api meletus, banjir, tanah longsor, gempa bumi dan sebagainya, kecelakaan lalu lintas, pesawat udara, kapal laut, kebakaran, gedung runtuh serta peledakan bom oleh teroris. Bagi korban kejadian tertentu dan korban massal memerlukan proses identifikasi.
            Adapun proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan lainnya, yang terdiri dari  Fase TKP-‘The Scene’, Fase Pengumpulan data jenazah-‘The Mortuary’ atau Post Mortem, Fase Pengumpulan data jenazah sewaktu hidup-‘Ante Mortem Information Retrieval’, Fase Pembandingan-‘Reconciliation’ and Fase analisa dan evaluasi-‘Debriefing’
            Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan tehnik identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol menentukan Primary Indentifiers yang terdiri dari Fingerprints-sidik jari, Dental Records-hasil pemeriksaan gigi geligi dan DNA serta Secondary Indentifiers yang terdiri dari Medical-data medis, Property-barang kepemilikan dan Photography.

DAFTAR PUSTAKA

1.      DVI BIDDOKKES POLDA SULSEL. DVI (Disaster Victim Identification). [Online] 2009 [Cited on 2011 Agustus 31]: [1-4].Available from : URL : http://dvibiddokkespoldasulsel.blogspot.com/2009/01/dvi-disaster-victim-identification.html
2.      POLDA SULUT. DVI (Disaster Victim Identification) FASE I. [Online] 2010 [Cited on 2011 Agustus 31] : [1-2]. Available from : URL : http://www.sulut.polri.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=67&Itemid=63
3.      DVI Indonesia. DVI INDONESIA. [Online] 2011. [Cited on 2011 Agustus 31]: [1-2]. Available from : URL: http://www.dvi-indonesia.com/index.php?id=7
4.      Suwandono Adji. Identifikasi Korban Bencana Massal. [Online] 2010 [Cited on 2011 Agustus 31]: [1-2]. Available from : URL : http://adjisuwandono.staff.uns.ac.id/2010/07/22/identifikasi-korban-bencana-massal/
5.      AtmadjaDS, dr.SpF, SH, PhD, DFM. PERANAN ODONTOLOGI FORENSIK DALAM PENYIDIKAN. [Online] 2004. [Cited on 2011 Agustus 31]: [1-7]. Available from : URL : http://odontologiforensikinvestigasi.blogspot.com/
6.      Singh Surjit. Penatalaksanaan Identifikasi Korban. Dalam : Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 No.4. Desember 2008. FK USU, Medan.
7.      Sugiharto Pradini. Disaster Victim Investigation (DVI). [Online] 2011. [ Cited on 2011 Agustus 31]: [1-4]. Available from : URL : http://puradini.wordpress.com/2011/02/19/disaster-victim-investigation-dvi/
8.      Interpol. Disaster Victim Identification. [Online] 2009. [Cited on 2011 August 31]: [1-18/24]. Available from : URL: http://disastervictimidentificatio-guide/chapitre4.asp,htm
9.      DVI BIDDOKKES POLDA SULSEL. Ante Mortem.[Online] 2009 [Cited on 2011 Agustus 31]: [1].Available from : URL : http://dvibiddokkespoldasulsel.blogspot.com/2009/01/form-ini-adalah-yellow-ante-mortem-form.html
10.  DVI BIDDOKKES POLDA SULSEL. Post Mortem.[Online] 2009 [Cited on 2011 Agustus 31]: [1].Available from : URL : http://dvibiddokkespoldasulsel.blogspot.com/2009/01/blog-post_15.html
11.  Mun’im A. Identifikasi. Dalam: Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi 1. Jakarta: Binarupa Aksara. 1997. Hal 32-50.
12.  Gani, M.Husni dr.DSF, Reichs KJ, Krogman WM dan Iscan MY, Launtz LL. Identifikasi Forensik. [Online] 2008. [Cited on 2011 Agustus 31]: [1-3]. Available from : URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Identifikasi_forensik. 
13.  PDGI. Pentingnya Dokter Gigi Identifikasi Korban Bencana Massal. [Online] 2011. [Cited on 2011 Agustus 31] : [1-3]. Available from : URL : http://www.pdgi-online.com/v2/index.php?option=com_content&task=view&id=755&Itemid=1
14.  Elvayandri. Sistem Keamanan Akses Menggunakan Pola Sidik Jari Berbasis Jaringan Saraf Tiruan. [Online] 2002 [Cited on 2011 Agustus 31]: [1/5]. Available From : URL : http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi/matematika/pengenalan-pola-sidik-jari-manusia-dengan-metode-probabilistic-neural-network-pnn
15.  Winanti W. Aplikasi Algoritme Pencocokan String KPM dalam Pengenalan Sidik Jari. [Online] 2007 [Cited on 2011 September 02]; [1-5]. Available from :  URL: 2007/Makalah_2007/MakalahSTMIK2007-017.pdf
16.  Putra Evan Sinly. Di Balik Teknologi Tes DNA. [Online] 2008. [Cited on 2011 September 02] : [1-6]. Available from : URL : http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/biokimia/di-balik-teknologi-tes-dna/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar