Selasa, 13 November 2012

THT : FESS (Functional Endoscopic Sinus Surgery)


FUNCTIONAL ENDOSCOPIC SINUS SURGERY
(FESS)


I.                   PENDAHULUAN
Bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) merupakan suatu prosedur yang invasif minimal, saat ini populer sebagai teknik operasi terkini dalam penatalaksanaan sinusitis kronik, polip hidung, tumor hidung dan sinus paranasal, dan kelainan lainnya. Jenis operasi ini menjadi pilihan karena lebih efektif dan fungsional. Sekitar 75-95% kasus rinosinusitis kronis telah dilakukan tindakan BSEF.1,2
BSEF dikembangkan pada tahun 1950-an yang merupakan endonskopi nasal yang telah direvolusi untuk  pembedahan sinus. Teknik bedah ini pertama kali diajukan oleh Messerklinger-Wigand pada akhir tahun 1970-an dan dipopulerkan oleh Stammberger dan Kennedy pada tahun 1985 dengan sebutan Functional Endoscopic Sinus Surgery. Tujuan utama BSEF adalah memulihkan aliran mukosilier dengan membuka kompleks ostiomeatal tergantung sinus. Gangguan drainase sinus dapat menimbulkan rasa nyeri wajah, nyeri kepala, gangguan penghidu, serta bisa menimbulkan sejumlah komplikasi lain yang dapat berbahaya.1,3,4,5
Dibandingkan dengan prosedur operasi sinus sebelumnya yang bersifat invasif radikal seperti operasi Caldwel-Luc, fronto-etmoidektomi eksternal dan lainnya. Sejak tahun 1990 sudah mulai diperkenalkan dan dikembangkan di Indonesia.1
Perkembangan yang pesat di bidang kedokteran juga membawa perubahan dalam penatalaksanan sinusitis. Tersedianya alat diagnostik CT scan telah membuat pencitraan sinus paranasal lebih jelas dan terinci, sedangkan dipopulerkannya pemakaian alat endoskop untuk operasi bedah sinus menciptakan tindakan pengobatan yang tidak radikal tetapi dapat lebih tuntas.1
BSEF saat ini merupakan teknik terbaik penatalaksanaan sinusitis kronik dan akut berulang. Dibandingkan dengan bedah sinus terdahulu yang pada umumnya radikal dengan morbiditas yang tinggi, maka BSEF lebih konservatif dengan morbiditas yang rendah.1
Keberhasilan pembedahan endoskopik sinus terjadi 85 sampai 95%. Sekitar 5-15% pasien gagal dan mengharuskan revisi bedah sinus. Gejala yang paling sering dicatatkan pada pasien yang gagal seperti sakit kepala dan infeksi berulang. Bagaimana pun juga Kennedy telah menunjukkan bahwa gejala tidak memiliki huhungan dengan resolusi penyakit, yang kemudian menjadi bahan evaluasipda pasien dengan hasil yang objektif. Tidak semua kegagalan membutuhkan revisi pembedahan. Revisi pembedahan terjadi dalam 5-15% pasien dengan keberhasilan rata-rata 63% atau lebih baik.6,7
 II.                ANATOMI
Kompleks ostiomeatal (KOM) terdiri dari sel-sel udara dari etmoid anterior dan ostiumnya, infundibulum etmoid, ostium sinus maksila, ostium sinus frontal dan meatus media.7,8
Struktur lain yang juga merupakan KOM adalah sel agger nasi, prosesus unsinatus, bula etmoid, hiatus semilunaris inferior dan konka media. Secara fungsional, KOM berperan sebagai jalur drainase dan ventilasi untuk sinus frontal, maksila dan etmoid anterior.7,8
Gambar 1. Anatomi Dinding Nasal Lateral (Diambil kepustakaan No.8)
Gambar 1. Kompleks Ostiomeatal (KOM), potongan koronal. (Diambil dari kepustakaan No.7)

III.             SISTEM TRANSPOR MUKOSILIAR
Transpor mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk membersihkan dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing seperti debu, bakteri, virus alergen, toksin dan lain-lain yang terperangkap pada palut lendir kearah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan lokal pada mukosa hidung. Transpor mukosiliar disebut juga clearance mukosiliar.9,10
Transpor mukosiliar terdiri dari dua sistem yang merupakan gabungan dari gerakan silia dan palut lendir yang bekerja secara simultan. Sistem ini tergantung dari gerakan aktif silia yang mendorong gumpalan mukus. Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase) dimana enzim ini dapat merusak beberapa bakteri. Enzim tersebut sangat mirip dengan imunoglobulin A (IgA) dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (IgG) dan interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpulan mukus kemudian menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang terperangkap didalamnya ke arah faring. Cairan perisilia dibawahnya akan dialirkan ke arah posterior oleh aktivitas silia. Transpor mukosiliar yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lendir akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit.9
Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakannya kearah posterior bersama materi asing yang terperangkap didalamnya kearah faring. Cairan perisilia dibawahnya akan dialirkan kearah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transpor mukosiliar yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lendir akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit. Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus media dan inferior maka gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15-20 mm/menit. Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di berbagai bagian hidung. Perbandingan durasi gerak silia kira-kira 3:1, sehingga gerakannya seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior sekitar 1-20mm/menit.9.10
Pada dinding lateral rongga hidung sekret sinus maksila akan bergabung dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan ethmoid anterior di dekat infundibulum ethmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan kearah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus ethmoid posterior dan sphenoid akan bergabung di resesus sfenoethmoid kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan.9



IV.             DEFINISI BSEF
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) adalah teknik operasi pada sinus paranasal dengan menggunakan endoskop yang bertujuan memulihkan “mucociliary clearance” dalam sinus. Prinsipnya adalah membuang jaringan yang menghambat komplek osteomeatal dan memfasilitasi drainase dengan tetap mempertahankan struktur anatomi normal.1,2
Gambar 2. Prinsip bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) : membuang jaringan yang menghambat KOM. (Diambil dari kepustakaan No.7)

BSEF merupakan operasi yang membutuhkan visualisasi yang baik dimana darah tidak menggenangi lapangan operasi dan darah tidak menutupi lensa endoskop mengingat sempitnya wilayah operasi. Perdarahan yang sedikit saat operasi merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan operasi serta menghindari komplikasi yang membahayakan.2
Dengan alat endoskop maka mukosa yang sakit dan polip-polip yang menyumbat diangkat sedangkan mukosa sehat tetap dipertahankan agar transportasi mukosilier tetap berfungsi dengan baik sehingga terjadi peningkatan drenase dan ventilasi melalui ostiumostium sinus. Teknik bedah BSEF sampai saat ini dianggap sebagai terapi terkini untuk sinusitis kroniks dan bervariasi dari yang ringan yaitu hanya membuka drainase dan ventilasi kearah sinus maksilaris (BSEF mini) sampai kepada pembedahan lebih luas membuka seluruh sinus (fronto-sfeno-etmoidektomi).1

V.                INDIKASI
Indikasi umumnya adalah untuk rinosinusitis kronik atau rinosinusitis akut berulang dan polip hidung yang tidak respon dengan  terapi medikamentosa yang optimal. Indikasi lain BSEF termasuk didalamnya adalah rinosinusitis dengan komplikasi dan perluasannya, mukokel, sinusitis alergi yang berkomplikasi atau sinusitis jamur yang invasif dan neoplasia.1,4,7
Bedah sinus endoskopi sudah meluas indikasinya antara lain untuk mengangkat tumor hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran liquor serebrospinal, tumor  hipofisa, tumor dasar otak sebelah anterior, media bahkan posterior, dakriosistorinostomi, dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus, kelainan kongenital (atresia koana) dan penanganan epistaksis termasuk ligasi arteri sfenoplatina, dan sebagainya.1,4,7

VI.             KONTRAINDIKASI1,4
1.      Osteitis atau osteomielitis tulang frontal yang disertai pembentukan sekuester.
2.      Pasca operasi radikal dengan rongga sinus yang mengecil (hipoplasi).
3.      Penderita yang disertai hipertensi maligna, diabetes mellitus, kelainan hemostasis yang tidak terkontrol oleh dokter spesialis yang sesuai.

VII.          PERSIAPAN PRA-OPERASI
Persiapan Kondisi Pasien. Pra-operasi kondisi pasien perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Jika ada inflamasi atau udem, harus dihilangkan dahulu, demikian pula jika ada polip, sebaiknya diterapi dengan steroid dahulu (polipektomi medikamentosa). Kondisi pasien yang hipertensi, memakai obat-obat antikoagulansia juga harus diperhatikan, demikian pula yang menderita asma dan lainnya.1
Naso-endoskopi prabedah untuk menilai anatomi dinding lateral hidung dan variasinya. Pada pemeriksaan ini operator dapat menilai kelainan rongga hidung, anatomi dan variasi dinding lateral misalnya meatus medius sempit karena deviasi septum, konka media bulosa, polip meatus medius, konka media paradoksikal dan lainnya. Sehingga operator bisa memprediksi dan mengantisipasi kesulitan dan kemungkinan timbulnya komplikasi saat operasi.1
CT Scan. Gambar CT scan sinus paranasal diperlukan untuk mengidentifikasi penyakit dan perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi anatomi organ sinus paranasal dan hubungannya dengan dasar otak dan orbita serta mempelajari daerah – daerah rawan tembus ke dalam orbita dan intra kranial. Konka-konka, meatus-meatus terutama meatus media beserta kompleks ostiomeatal dan variasi anatomi seperti kedalaman fossa olfaktorius, adanya sel Onodi, sel Haller dan lainnya perlu diketahui dan diidentifikasi, demikian pula lokasi a.etmoid anterior, n.optikus dan a.karotis interna penting diketahui.1
Gambar CT scan penting sebagai pemetaan yang akurat untuk panduan operator saat melakukan operasi. Berdasarkan gambar CT tersebut, operator dapat mengetahui daerah-daerah rawan tembus dan dapat menghindari daerah tersebut atau bekerja hati-hati sehingga tidak terjadi komplikasi operasi. Untuk menilai tingkat keparahan inflamasi dapat menggunakan beberapa sistem gradasi antaranya adalah staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT scan.1
Tabel 1. Lund-MacKay Radiologic Staging System1
Lokasi
Gradasi* Radiologik
*Gradasi radiologik dari 0-2 :
Gradasi 0 = Tidak ada Kelainan
Gradasi 1 = Opasifikasi parsial
Gradasi 2 = Opasifikasi Kompliet
Sinus Maksila

Etmoid Anterior

Etmoid Posterior

Sfenoid

Frontal

Kompl.Ostiomeatal
Gradasi 0 dan 2 saja


VIII.       INTRUMENT PEMBEDAHAN, PERSIAPAN DAN POSISI PASIEN
Diperlukan peralatan endoskopi berupa teleskop dan instrumen operasi yang sesuai. Instrumen yang minim digunakan untuk diseksi secara manual. Peralatan endoskopi yang digunakan adalah sebagai berikut :1,11

1.      Teleskop 4 mm 00
7. Teleskop 4 mm 700 (tambahan untuk melihat lebih luas ke arah frontal dan maksila)
2.      Teleskop 4 mm 300
8. Teleskop 2,7 mm 300 (tambahan untuk pasien anak)
3.      Light source (sumber cahaya)

4.      Cable light

5.      Sistem kamera + CCTV

6.      Monitor

Tabel 2. Peralatan Endoskopi
            Sementara itu instrumen operasi pada operasi BSEF adalah sebagai berikut:1,11
1.      Jarum panjang (FESS/Septum Needle, angular 0,8 mm, luer-lock)
2.      Pisau sabit (Sickle Knife 19 cm)
3.      Respatorium (Masing elevator, dbl-end, graduated, sharp/blunt 21,5 cm)
4.      Suction lurus
5.      Suction bengkok
6.      Cunam Blakesley lurus (Blakesley nasal forceps)
7.      Cunam Blakesley upturned (Blakesley-wilde nasal forceps)
8.      Cunam cutting-through lurus (Blakesley nasal forceps cutting straight)
9.      Cunam cutting-through upturned (Blakesley nasal forceps cutting upturned)
10.  Cunam Backbiting (“Backbiter” antrum punch)
11.  Ostium Seeker
12.  Trokar sinus maksila
13.  J Curette (antrum curette oval)
14.  Kuhn Curette ( Sinus Frontal Currete Oblong)
15.  Cunam Jerapah (Girrafe fcps dbl.act.jaws 3 mm)
16.  Cunam Jamur (Stammberger Punch)

 














Gambar 3.  Instrument minim yang disiapkan untuk ESS. A = Teleskop 30 derajat. B = Teleskop 70 Derajat (pilihan). C = Forceps backbiting 360 derajat. F= 3,5mm Forseps lurus. G = 4mm panjang suction curved. H = Suction lurus yang dikaleberasikan (Frazier). I = Elevator periosteal cottel. J = pembuka ostium atau probe bola, yang mana memiliki 1 sudut pada akhir dan curved disisi lainnya. (Diambil dari kepustkaan No.11)

            Untuk prosedur yang selanjutnya digunakan teleskop 70 derajat untuk visualisasi lateral atau superior dari frontal resesus, maksila, atau sinus sphenoid. Berbagai ukuran kuret digunakan untuk mengangkat tulang yang padat, khususnya disekitar ostium frontal atau rostrum sphenoid.11





 











Gambar  4. Instrument tambahan untuk tulang dan pengangkatan jaringan di sekitar ostium frontal atau area rostrum sphenoid. Instrument ini bisa digunakan ketika frontal akan diperluas atau sinusotomi sphenoid. A = forceps giraffe. B = Forceps kuret. C = frontal rasp. D = Kuret tulang cervical. (Diambil dari kepustkaan No.11)
Gambar 5. Instrument 45 derajat didesign untuk 30 derajat endoskop dan instrument 90 derajat didesign untuk 70 derajat endoskop.(Diambil dari kepustakaan No.12)
Ahli bedah harus duduk atau berdiri dengan nyaman di sisi pasien. Ahli bedah dengan tangan kanan harus berdiri pada sisi kanan pasien dan ahli bedah dengan tangan kiri berdiri pada sisi kiri pasien. Jika ahli bedah memilih untuk dudu, kemudian Mayo stand (dilengkapi dengan bantal), hal ini digunakan untuk mengistirahatkan lengan yang memegang teleskop pada kenyamanan di kepala pasien. Layar video dan gambaran intraoperasi lainnya diposisikan di atas meja yang sejajarkan dengan kepala dan wajah ahli bedah.11
Gambar 6. Posisi berdiri. (Diambil dari kepustakaan No.11)
Gambar 7. Posisi duduk, dengan mengistirahatkan elbow dalam Mayo stand. (Diambil dari kepustakaan No.11)

Gambar 8. Teleskop digenggam dengan nyaman dan instrument teleskop diperlihatkan bagian inferior pada hampir semua prosedur.(Diambil dari kepustakaan No.11)

IX.             TAHAPAN OPERASI
Jika dibandingkan dengan bedah sinus terdahulu yang secara radikal mengangkat jaringan patologik dan jaringan normal, maka BSEF jauh lebih konservatif dan morbiditasnya dengan sendirinya menjadi lebih rendah. Teknik operasi BSEF adalah secara bertahap, mulai dari yang paling ringan yaitu infundibulektomi, BSEF mini sampai frontosfenoidektomi total. Tahap operasi disesuaikan dengan luas penyakit, sehingga tiap individu berbeda jenis atau tahap
operasi. Karenanya tidak ada tindakan rutin seperti bedah sinus terdahulu. Berikut ini dijelaskan tahapan-tahapan operasi.1
Selama bedah endoskopik sinus, foto intraoperatif harus diambil sebelum pembedahan dimulai. Foto endoskopik sebagai rekaman patologi yang dilihat secara signifikan. Foto juga sebagai sesuatu yang dimasukkan pada kesimpulan dari prosedur yang dilakukan. Teknologi dengan sistem InstaTark mengambarkan lokasisasi triplanar, intraoperatif menunjukka lapangan operasi endoskopi, baik sebagai axial, coronal, dan sagittal pada gambaran CT Scan.6

VI.1. Infundibulektomi dan pembesaran ostium sinus maksila1
Pertama-tama perhatikan akses ke meatus medius, jika sempit akibat deviasi septum, konka bulosa atau polip, koreksi atau angkat polip terlebih dahulu. Tidak setiap deviasi septum harus dikoreksi, kecuali diduga sebagai penyebab penyakit atau dianggap akan mengganggu prosedur endoskopik. Sekali-kali jangan melakukan koreksi septum hanya agar instrumen besar bisa masuk.
Tahap awal operasi adalah membuka rongga infundibulum yang sempit dengan cara mengangkat prosesus uncinatus sehingga akses ke ostium sinus maksila terbuka. Selanjutnya ostium dinilai, apakah perlu diperlebar atau dibersihkan dari jaringan patologik. Dengan membuka ostium sinus maksila dan infundibulum maka drenase dan ventilasi sinus maksila pulih kembali dan penyakit di sinus maksila akan sembuh tanpa melakukan manipulasi di dalamnya. Jika kelainan hanya di sinus maksila, tahap awal operasi ini sudah cukup. Tahap operasi semacam ini disebut sebagai Mini FESS atau BSEF Mini.

VI.2. Eksenterasi sinus maksila1,3
Pengangkatan kelainan ekstensif di sinus maksila seperti polip difus atau kista besar dan jamur masif, dapat menggunakan cunam bengkok yang dimasukkan melalui ostium sinus maksila yang telah diperlebar. Dapat pula dipertimbangkan memasukkan cunam melalui meatus inferior jika cara diatas gagal. Jika tindakan ini sulit, lakukanlah bedah Caldwell-Luc, tetapi prinsip BSEF yang hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan normal agar tetap berfungsi dan melebarkan ostium asli di meatus medius dianjurkan untuk dilakukan disini.
Operasi Caldwell-luc yang dilakukan pada sinusitis kronik untuk memperbaiki drainase sinus maksila, salah satu cavum terletak di bawah mata. Untuk memasuki sinus maksila melalui rahang atas pada gigi molar kedua. “Jendela” ini dibuat untuk menghubungkan sinus maksila dengan hidung, kemudian memperbaiki drainase.

VI.3. Etmoidektomi retrograde1
Jika ada sinusitis etmoid, operasi dilanjutkan dengan etmoidektomi, sel-sel sinus dibersihkan termasuk daerah resesus frontal jika ada sumbatan di daerah ini dan jika disertai sinusitis frontal. Caranya adalah retrograde sebagai berikut. Setelah tahap awal tadi (BSEF Mini), sebaiknya mempergunakan teleskop 00, dinding anterior bula etmoid ditembus dan diangkat sampai tampak dinding belakangnya yaitu lamina basalis yang membatasi sel-sel etmoid anterior dan posterior. Jika ada sinus lateralis, maka lamina basalis akan berada dibalakang sinus lateralis ini. Lamina basalis berada tepat di depan endoskop 00 dan tampak tipis keabu-abuan, lamina ditembus di bagian infero-medialnya untuk membuka sinus etmoid posterior. Selanjutnya sel-sel etmoid posterior (umumnya selnya besar-besar) di observasi dan jika ada kelainan, sel-sel dibersihkan dan atap sinus etmoid posterior yang merupakan dasar otak diidentifikasi. Identifikasi dasar otak di sinus etmoid posterior sangat penting mencegah penetrasi dasar otak pada pengangkatan sel etmoid selanjutnya.
Dengan jejas dasar otak sebagai batas atas diseksi, maka diseksi dilanjutkan ke depan secara retrograde membersihkan partisi sel-sel etmoid anterior sambil memperhatikan batas superior diseksi adalah tulang keras dasar otak (fossa kranii anterior), batas lateral adalah lamina papirasea dan batas medial konka media. Disini mempergunakan teleskop 00 atau 300. Cara membersihkan sel etmoid anterior secara retrograde ini lebih aman dibandingkan cara lama yaitu dari anterior ke posterior dengan kemungkinan penetrasi intrakranial lebih besar. Keuntungan melakukan diseksi etmoid posterior terlebih dahulu adalah karena dasar otak yang merupakan atap sinus etmoid posterior lebih mudah ditemukan dan diidentifikasi sebagai tulang keras yang letaknya agak horisontal sehingga kemungkinan penetrasi lebih kecil dari pada di etmoid anterior dimana dasar otaknya lebih vertikal.
Arteri etmoid anterior. Identifikasi arteri sangat penting. Ia berada di atas
perlekatan bula etmoid pada dasar otak. Setelah diseksi, arteri akan tampak dalam kanal tulang di batas belakang atap resesus frontal. Hindari trauma pada arteri ini.
Sel Onodi. Sel Onodi tampak pada gambar CT dan menurut Sethi akan ditemukan 1: 2-3 pada spesimen Asia. Bahaya keberadaan sel Onodi adalah kemungkinan melekatnya n.optikus dan a.Karotis Interna pada dinding lateralnya. Saat diseksi di sinus etmoid posterior, harus ingat adanya sel Onodi. Jika ada sel etmoid posterior yang sangat berpneumatisasi, berbentuk piramid dengan dasarnya menghadap ke endoskop, ini adalah sel Onodi. Perhatikan apakah ada penonjolan n.optikus dan / atau a.karotis di sisi lateralnya. Hindari trauma pada organ penting ini, terutama trauma pada a.karotis interna dapat berakibat fatal bagi pasien.

VI.4. Sinus frontal1
Untuk memperbaiki drenase sinus frontal dan membuka ostium sinus frontal, resesus frontal harus dibersihkan terlebih dahulu. Diseksi disini menggunakan cunam Blakesley upturned dipandu endoskop 300. Setelah partisi sel-sel resesus frontal dibersihkan, ostium biasanya langsung tampak. Lokasi ostium dapat di identifikasi berdasar tempat perlekatan superior dari prosesus unsinatus. Jika perlekatan tersebut pada orbita, maka drenase dan lokasi ostium ada di sebelah medial perlekatan unsinatus. Jika unsinatus melekat pada dasar otak atau konka media, maka drenase dan ostium ada disebelah lateral perlekatan. Panduan ini terutama diperlukan jika ostium tersembunyi oleh polip, sel-sel frontal dan variasi anatomi. Hati-hati saat diseksi di sisi medial,terutama jika pada gambar CT scan ditemukan lamina lateralis kribriformis yang panjang (Keros tipe III), hindarkan ujung cunam menghadap daerah ini.
Gambar 9. Anatomi Resesus Frontal. (Diambil dari kepustkaan No.11)

Beberapa penyebab ostium sinus frontal tersembunyi adalah jaringan udem, polip/popipoid, sisa prosesus uncinatus di bagian superior, variasi anatomi seperti sel-sel agger nasi yang meluas ke posterior, bula etmoid meluas ke anterior, sel supra-orbital sangat cekung menyerupai kedalaman sinus frontal dan lainnya. Semua ini dibersihkan dengan cunam Blekesley upturned, cunam-cunam jerapah atau kuret J dipandu endoskop 30 dan atau 70, dengan memperhatikan luasnya sinus frontal pada gambar CT, serta mengingat lokasi drenase sinus frontal, kekeliruan membuka ostium sinus frontal dapat dihindari. Adanya gelembung udara atau turunnya sekret menunjukkan lokasi ostium yang sebenarnya.
Kista atau polip di sinus frontal dapat dibersihkan dengan menarik ujung polip yang dapat dicapai dengan cunam jerapah, biasanya seluruh polip ikut tertarik keluar. Cunam jerapah ini khusus dibuat untuk bekerja di atap resesus frontal. Polip yang berada di ujung lateral sinus frontal merupakan kontraindikasi tindakan BSEF karena tidak dapat dicapai dengan teknik ini, dalam hal ini harus dilakukan pendekatan ekstranasal. Jaringan parut masif yang menutup ostium juga merupakan kontraindikasi BSEF. Pada keadaan ini operasi trepanasi sinus frontal yang dikombinasi endoskopi merupakan pilihan. Setelah resesus frontal dan infudibulum dibersihkan, maka jalan ke sinus frontal dan maksila sudah terbuka, drenase dan ventilasi akan pulih dan kelainan patologik di kedua sinus tersebut akan sembuh sendiri dalam beberapa minggu tanpa dilakukan suatu tindakan didalamnya.
Ada beberapa teknik yang bisa dilakukan mencegah trauma a.etmoid anterior dan dasar otak antaranya Intact Bulla Technique dan Axillary Flap.

VI.5. Sfenoidektomi
Biasa yang dilakukan bukan sfenoidektomi tetapi sfenoidotomi, yaitu hanya membuka sinus sfenoid. Ini bukan prosedur rutin BSEF. Di dalam sinus ada kanal n.optikus dan a.karotis, sehingga manipulasi daerah ini dapat berakibat kebutaan,kebocoran likuor atau perdarahan hebat dengan kemungkinan fatal. Sfenoidektomi memerlukan perencanaan yang matang. Manipulasi di sinus sfenoid harus dilakukan secara hati-hati. Karena n.optikus dan a.karotis berada di daerah laterosuperior, maka sebaiknya diseksi di bagian medial dan inferior saja. Jika ingin mengangkat septum intersfenoid, harus yakin bahwa ujung septum tidak bertaut pada a.karotis interna atau n.optikus.1
Prinsip ini penting dalam menunjang hasil terapi. Kennedy mengemukakan bahwa dengan mempertahankan mukosa sedapat mungkin, penyembuhan terjadi lebih cepat dan lebih baik.1





 








Gambar 10. Preoperatif dan postoperatif setelah sphenoethmoidektomi. (Diambil dari kepustkaan No.13)

X.                PERAWATAN PASCA OPERASI
Secara teoritis, walaupun belum terbukti, pembersihan pasca operasi dilakukan untuk membersihkan sisa perdarahan, sekret, endapan fibrin, krusta, dan devitalisasi tulang yang bila tidak dilakukan dapat menimbulkan infeksi, jaringan fibrotik, sinekia, dan osteitis. Perawatan operasi sebaiknya dilaksanakan oleh operator karena operator yang mengetahui lokasi dan luas jaringan yang diangkat. Manipulasi agresif dihindari untuk mencegah terjadinya penyakit iatrogenik.1
Kunjungan pertama postoperatif biasanya dilakukan pada hari ke-5 atau ke-6 setelah pembedahan. Pada kunjungan tersebut, hidung disemprotkan dengan solusio boyette’s untuk dekongestan dan anestesi. (Solusio boyette’s berisi 4% lidokain, phenylephrine, dan sodium klorida, dengan menambahkan aquades sehingga menjadi 200 ml). Cavum nasi diperiksa dengan menggunakan Endoskop 00 panjang 4 mm, beberapa penghisap bentuk angulasi dan bengkok.6
Beberapa penulis menyebutkan prosedur pembersihan pasca operasi dilakukan seawal mungkin setelah operasi selesai yaitu pada hari ke-1 dan selanjutnya setiap 2 sampai 4 hari secara teratur.1
Pasien dibekali dengan resep dokter untuk menghilangkan nyeri, biasananya acetominofen dengan codein (Tylenol dengan codein) atau oksikodon HCl (Oksikontin). Antibiotik diberikan jika hanya ada infeksi yang ditemukan selama pembedahan. Antibiotik ini dimodifikasi  setelah beberapa hari postoperasi tergantung dari hasil kultur pada saat intraoperasi. Methylprednisolon diberikan pada pasien yang memiliki polip atau asma yang tidak terkontrol atau diberikan sebagai steroid preoperasi.6
Perlengkapan postoperatif untuk pasien diantaranya botol spray yang berisi salin nasal. Pasien mulai menyemprotkan pada hari berikutnya dan digunakan 4 hingga 5 kali dalam sehari. Aplikator kapas dimasukkan dalam hidrogen peroksida untuk mengangkat darah yang mengiring dalam hidung. Pasien juga diberitahukan untuk tidak membersihkan hidung hingga kunjungan pertama postoperatif karena hal ini mungkin merangsang perdarahan.6
            Selama minggu pertama, mengurangi aktivitas. Setelah itu pasien kembali melaksanakan aktivitas, termasuk aerobik dan berenang.6

XI.             KOMPLIKASI1,7
Semenjak diperkenalkan teknik BSEF sangat populer dan diadopsi dengan cepat oleh para ahli bedah THT di seluruh dunia. Seiring dengan kemajuannya, muncul berbagai komplikasi akibat operasi bahkan komplikasi yang berbahaya.
1.      Komplikasi Intranasal
Sinekia. Masalah yang sering timbul berkaitan dengan bedah sinus endoskopik adalah terjadinya sinekia yang disebabkan melekatnya dua permukaan luka yang saling berdekatan, umumnya permukaan konka media dan dinding lateral hidung. Disfungsi penciuman dapat terjadi bila celah olfaktori obstruksi akibat sinekia konka media dengan septum. Untuk mencegah ketidak stabilan konka media, maka perlekatan superior dan inferior dari konka media harus dipertahankan.
Stenosis ostium sinus maksila. Stenosis ostium sinus maksila pasca pembedahan terjadi sekitar 2 %. Pembukaan ostium sebesar diameter 3 mm diperkirakan sudah dapat menghasilkan drainase fisiologik. Metode terbaik memperlebar ostium adalah dengan membuka ke salah satu atau beberapa dari arah ini yaitu ke anterior, posterior, dan inferior. Bila stenosis terjadi bersamaan dengan timbulnya gejala maka revisi bedah mungkin diperlukan.
Kerusakan duktus nasolakriamalis. Komplikasi ini sangat jarang karena duksus nasolakrimalis berada di sepanjang kanal keras sakus lakrimalis dan bermuara di meatus inferior. Duktus ini dapat terluka saat pelebaran ostium maksila ke arah anterior. Rekomendasi untuk mencegah hal ini adalah melakukan pelebaran ostium sinus maksila terutama dari arah posterior dan / inferior.
2.      Komplikasi Periorbital/Orbital
Edema kelopak mata/ekimosis/emfisema. Edema kelopak mata, ekimosis, dan atau emfisema kelopak mata secara tidak langsung terjadi akibat trauma pada lamina papirasea. Proyeksi medial lamina papirasea pada rongga hidung dan struktur tulangnya yang lembut menyebabkan lamina papirasea mudah trauma selama prosedur bedah dilakukan. Pada umumnya akan sembuh sendiri dalam 5 hari tanpa diperlukan pengobatam khusus.
Perdarahan retrobulbar. Perdarahan retrobulbar merupakan komplikasi yang berbahaya. Tandanya adalah proptosis mendadak, bola mata keras disertai edema kelopak mata, perdarahan subkonjungtiva, nyeri, oftalmoplegi, dan proptosis. Seiring dengan meningkatnya tekanan intraokuler, iskemi retina terjadi dan menyebabkan kehilangan penglihatan, midriasis dan defek pupil. Karenanya saat prosedur pembedahan, mata pasien agar selalu tampak dalam pandangan operator.
Kerusakan nervus optikus. Meskipun sangat jarang, komplikasi ini pernah dilaporkan. Visualisasi yang kurang adekuat selama pembedahan, yang dapat pula disebabkan oleh adanya perdarahan, serta buruknya pemahaman mengenai anatomi bedah merupakan penyebab terjadinya trauma pada n.optikus yang dapat menyebabkan gangguan penglihatan.
Gangguan pergerakan otot mata. Pembedahan pada dinding medial dapat menyebabkan trauma atau putusnya otot rektus medialis atau otot oblikus superior mata serta kerusakan pada saraf yang menginervasinya.
3.      Komplikasi Intrakranial
Komplikasi intrakranial merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pemula. Cara diseksi etmoidektomi retrograde dan membaca daerah rawan tembus di CT scan preoperasi (tipe Keros) akan menghindarkan komplikasi ini. Kebocoran cairan serebrospinal selama prosedur bedah merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Jika terjadi saat operasi harus segera dilakukan penambalan menggunakan jaringan sekitarnya misalnya konka media dan septum. Jika terjadi pasca operasi dapat diobservasi karena 90% diharapkan dapat menutup sendiri.
4.      Komplikasi Sistemik
Walaupun jarang, infeksi dan sepsis mungkin terjadi pada setiap prosedur bedah. Masalah yang dapat terjadi berkaitan dengan komplikasi sistemik pada bedah sinus adalah pemakaian tampon hidung yang dapat menyebabkan toxic shock syndrome (TSS). Kondisi ini ditandai dengan adanya demam dengan suhu lebih tinggi dari 39,50 C, deskuamasi dan hipotensi ortostatik.

XII.          PENYULIT SELAMA PROSEDUR BEDAH BERLANGSUNG DAN PENANGANANNYA
Penyulit infundibulotomi. Penyulit yang dapat terjadi di tahap awal ini adalah kesulitan insisi infundibulotom jika letak unsinatus terlalu dislokasi ke lateral atau ada konka media yang paradoksikal. Insisi sulit dan ujung pisau dapat melukai orbita ini. Hal ini diatasi dengan meluksasi unsinatus ke medial menggunakan ujung bengkok ostium seeker, kemudian potong dengan backbiting. Cara ini terbukti menurunkan komplikasi ke orbita.1
Penyulit pelebaran ostium. Penyulit juga dapat terjadi jika pasca infundibulotomi, ostium tidak langsung tampak. Seringkali akibat infundibulotomi yang tidak sempurna, sehingga masih ada sisa unsinatus yang menutupi ostium. Keadaan ini diatasi dengan mengangkat sisa unsinatus dengan backbiting. Jika ostium tetap tidak dapat ditemukan meskipun tidak ada lagi sisa unsinatus, lakukan palpasi dengan kuret J di sepanjang pertautan tulang konka inferior. Palpasi jangan terlalu ke atas karena dapat menembus orbita. Adanya gelembung udara menunjukkan lokasi ostium yang dicari.1
Penyulit etmoidektomi. Penyulit pada tahap ini adalah saat identifikasi dan
menembus lamina basalis. Identifikasi sering sulit karena perubahan patologik atau variasi anatomi, misalnya adanya sinus lateralis diantara dinding belakang bula dan lamina basalis atau adanya sel etmoid anterior yang meluas ke belakang dan menekan dinding lamina basalis menjadi berbenjol-benjol. Seringkali atap etmoid diduga sebagai lamina basalis. Lamina basalis bagian superior dan anterior berdekatan dengan dasar otak, tetapi karena dinding lamina berjalan ke arah posterior dan inferior, maka makin ke belakang makin jauh jaraknya terhadap dasar otak. Karenanya menembus lamina basalis di sebelah medial bawah merupakan tempat paling aman.1
Mencegah penetrasi intrakranial. Penyulit utama saat diseksi retrograde adalah mencegah penetrasi intrakranial. Ketebalan tulang dasar otak tidak sama, bagian anteromedial paling tipis, hanya 1/10 bagian lateral sehingga paling rawan tembus. Karenanya dianjurkan untuk bekerja di sebelah lateral agar lebih aman. Daerah rawan lainnya adalah pertautan atap etmoid (fovea etmoidales) dengan lamina kribosa yang disebut lamina lateralis kribosa yang merupakan tulang tipis yang panjangnya bervariasi antara 3-16 mm. Berdasarkan bentuk dan panjang lamina lateralis ini, Kerose membaginya dalam 4 tipe. Daerah pertautan konka media pada dasar otak dan aspek antero-lateral dinding sel-sel etmoid juga merupakan daerah rawan tembus.1
Mencegah penetrasi orbita. Penyulit lainnya adalah mencegah penetrasi ke orbita. Ini dapat terjadi saat membersihkan partisi sel etmoid yang melekat ke orbita karena mungkin ada dehiscence sehingga mudah tertembus cunam. Saat bekerja disini, arahkan cunam ke vertikal. Kadang-kadang di lamina papirasea ada penonjolan orbita atau trochlea yang sering diduga sebagai sel etmoid. Jika diangkat maka terjadi penetrasi dan lemak orbita akan keluar. Tidak perlu berusaha memasukkan kembali karena akan menambah trauma orbita. Lemak ini akan masuk kembali tertekan oleh tampon hidung yang dipasang pascaoperasi. Yang penting adalah mengetahui bahwa jaringan yang diangkat adalah lemak orbita. Lemak orbita berwarna kekuningan berbentuk gelembung bulat-bulat kecil dan melayang di dalam air. Sedangkan jaringan polip atau jaringan rongga hidung lain akan tenggelam. Emfisema subkutis merupakan komplikasi penetrasi orbita. Untuk menghindari, jangan menggunakan insuflasi masker oksigen saat selesai anestesi dan pasien dilarang menyringsing ingus selama 1-2 minggu pascaoperasi.1
Perdarahan saat operasi. Perdarahan saat operasi adalah karena perdarahan mukosa. Perdarahan ini ringan namun dapat mengganggu kelancaran bahkan menggagalkan operasi bila operator tidak dapat melihat dengan jelas.
Jika ada perdarahan maka perlu kesabaran untuk berulang kali mengeringkan lapangan operasi dan membersihkan endoskop yang menjadi buram terkena darah.  Perdarahan yang cukup merepotkan biasanya terjadi pada daerah yang udem atau radang, polip luas atau pasien dengan tekanan darah tinggi. Perdarahan juga dapat terjadi pada pasien koagulopati, pasien dengan penggunaan jangka lama obatobat yang memanjangkan masa perdarahan seperti salisilat atau obat-obat antiinflamasi non steroid, persantin, dan lain-lain. Obat dihentikan sekurang-kurangnya 1 minggu sebelum operasi.1
Jika perdarahan berlanjut dan sulit diatasi, hentikan penggunaan endoskop dan lakukanlah operasi secara konvensional.1

XIII.       ANESTESI DAN ANALGESI
Teknik BSEF dapat dilakukan dalam anestesi lokal atau umum. Umumnya
anastesi lokal dilakukan jika prosedur ringan seperti BSEF mini atau lainnya. Pada anastesi lokal, manipulasi daerah lamina papirasea dan dasar otak akan menghasilkan rasa nyeri dan ini merupakan tanda untuk mencegah penetrasi, tetapi menurut kepustakaan, tidak terbukti anestesi lokal lebih aman dibanding anestesi umum dengan teknik hipotensi kendali pada operasi endoskopik.1
Diperlukan teknik anestesi lokal yang mampu memberikan vasokonstriksi yang baik. Maksimal dosis lidokain (tanpa injeksi intravaskuler) antara 2-4 mg/kg. Maksimal dosis dengan efinefrin idealnya 7 mg/kg. Anestesi topikal adalah dengan larutan lidokain/pantokain/xylokain 2% dicampur epinefrin 1:100.000 dalam konsentrasi 4:1. Kapas kecil bertali dibasahi larutan ini, diperas kuat-kuat, dimasukkan ke meatus medius dan agger nasi dengan panduan endoskop dan dibiarkan selama 10 menit. Tujuannya untuk mengurangi edema dan meningkatkan lapang pandang operasi saat evaluasi dan operasi. Dapat pula memakai analgesi-vasokonstriktor kuat seperti Co-phenylcaine Forte spray. Anestesi infiltrasi adalah dengan lidokain 2% dan epinefrin 1:80.000-100.000, disuntikkan dengan jarum panjang di atas perlekatan konka media, prosesus unsinatus dan foramen sfenopalatina.1,12
Saat ini anastesi umum dengan teknik hipotensi terkendali merupakan teknik anastesi yang paling populer baik di negara Barat maupun di Indonesia. Teknik kendali hipotensi akan mengurangi perdarahan sehingga lapang pandang operasi lebih jelas dan kemungkinan komplikasi terhindar, disamping pasien lebih nyaman demikian pula operator dapat bekerja lebih baik dan tenang.1
Berbagai teknik telah dikembangkan untuk mengupayakan teknik hipotensi terkendali yaitu mencapai tekanan arteri rata-rata atau Mean Atrial Pressure (MAP) dengan pengaturan posisi dan intervensi farmakologis. Teknik hipotensi diindikasikan pada operasi yang beresiko perdarahan yang banyak di daerah telinga, hidung, tenggorok, operasi kepala, leher, bedah syaraf, operasi mata, operasi pelvis dan ortopedi. Namun demikian hipotensi kendali ini memiliki risiko pada beberapa pasien misalnya pasien geriatri. Disamping itu penggunaan halotan bersama vasokonstriktor dapat menimbulkan risiko iritabilitas jantung.1,2


DAFTAR PUSTAKA


1.      PERHATI. Functional Endscopic Sinus Surgery di Indonesia. 2006. HTA Indonesia, Departemen Kesehatan, Jakarta P. 1-52
2.      Budiman Bestari J., Yurni. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Dengan Teknik Hipotensi Terkendali Pada Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronis. Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL, FK UNAND/RS.M.Djamil Padang.
3.      American Academy of Otolaryngology. Head and Neck Surgery : Fact Sheet : Sinus Surgery. 2012. [Cited 01 Nophember 2012]
4.      Patel Ankit, Meyers Arlen. Functional Endoscopic Sinus Surgery. 2011. [Cited 01 Nophember 2012]. Available : http://emedicine.medscape.com/article/863420-overview
5.      Rowe-Jnes Julian M., Medcalf Mark, Durham Stephen R., Richards David H., Mackay Ian S. Functional Endoscopic Sinus Surgery: 5 Year Follow up and results of a prospective, randomised, stratified, double-blind, placebo controlled study of postoperative fluticasone propionate aqueous nasal spray. Rhinology, 43, 2-10.
6.      Stankiewicz James A., Na Hanjo, Chow James M. Revision Endoscopic Sinus Surgery. In : Sinus Surgery Endoscopic and Microscopic Approaches. Thieme Medical Publishers, Inc. 2005,New York. P. 260-323.
7.      Rossy Rosalinda, Budiman Bestari J. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisi Pada Rinosinusitis Kronis. Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL, FK UNAND/RS.M.Djamil Padang.
8.      Balasubramanian T. Advanced Anatomy of Lateral Nasal Wall. 2006. [Cited 06 Nophember 2012]. Available : http://www.drtbalu.com/ana_latnose.html
9.      Irfandy Dolly. Transpor Mukosiliar Septum Deviasi. Bagian THT Bedah Kepala Leher FK Universitas Andalas/RSUP Djami Padang.
10.  Munir Delfitri. Waktu Bersihan Mukosiliar Pada Pasien Rinosinusitis Kronis. Departemen Kesehatan THT-KL FK Universitas Sumatera Utara. Maj Kedokt Indon, Volum : 60, Nomor 11, November 2010. P. 517-520
11.  Casiano Roy R. Surgical Instrumen, Setup, and Patient Positioning. In : Endoscopic Sinus Surgery Dissection Manual, A Stepwise, Anatomically Based Approach to Endoscopic Sinus Surgery. 2002. New York, The United State of America. P. 9-17.
12.  Kuhn Frederick A., Melroy Christopher T., Dubin Marc G., Ventrapragada Shridhar. Frontal Sinus Instrumentation. In : Rhinologic and Sleep Apnea Surgical Techniques. 2007. Springer,Verlag Berlin Heidelberg, Germany. P. 27-47.
13.  Simmen Daniel, Jones Nick. Why? Goals Of Surgery in Patients with Rhinosinusitis. In : Manual of Endoscopic Sinus Surgery and its Extended Applications. 2005. Thieme, New York. P. 40-49.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar