DIURETIK
Diuretik
merupakan salah satu diantara obat-obatan yang sering diresepkan, dengan respon farmakologik klasik berupa diuresis.
Obat ini dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi kerjanya pada tubulus ginjal
dan mekanisme bagaimana mereka mempengaruhi ekskresi larutan (Tabel 25-1 dan 25-2 dan
Gambar 25-1). (Merin dan Bastron, 1986).
Semua
diuretik dapat menyebabkan hipovolemia dan azotemia namun efek samping ini
paling sering terjadi pada loop diuretics
(Tabel 25-3). Alkalosis hipokalemik, hiperglikemia dan hiperurisemia (“gout
klinis”) merupakan komplikasi yang bergantung-dosis baik pada tiazid maupun
loop diuretik.
Tiazid menurunkan ekskresi klasium dan menyebabkan
hiperkalsemia pada pasien dengan kondisi dasar (sarkoidosis) yang memudahkan absorpsi kalsium di traktus
gastrointestinal. Tiazid paling sering menyebabkan hiponatremia terutama pada
pasien yang memiliki kebiasaan minum dalam jumlah banyak. Pasien memiliki resiko
berkembang menjadi hiperkalemia pada pemberian diuretik hemat potassium yang
menerima obat angiotensin-converting
enzyme (ACE) inhibitors atau
angiotensin II dan pada pasien dengan gagal ginjal akut.
DIURETIK
TIAZID
Diuretik tiazid merupakan obat yang paling
sering diberikan untuk pengobatan pemeliharaan pada hipertensi esensial dimana diuresis,
natriuresis dan vasodilatasi dalam keadaan sinergis (Gambar 25-2) (lihat Bab 15). Jika dikombinasi dengan diuretik taizid, dosis obat antihipertensi yang
lebih poten dapat diturunkan 25% hingga 50%, sehingga meminimalisir efek
samping karena obat. Diuretik tiazid dapat dimanfaatkan untuk mengurangi cairan
edema yang berkaitan dengan disfungsi renal, hepar dan jantung. Diuretik jarang
digunakan pada diabetes insipidus dan hiperkalsemia. Diuretik tiazid dengan
mudah diabsorbsi di traktus gastrointestinal dan diekskresikan oleh ginjal.
Mekanisme
Kerja
Diuretik
tiazid menghasilkan efek diuresis dengan menghambat reabsorbsi ion sodium dan klorida, terutama
pada bagian korteks dari loops of Henle
asendens, hingga ke daerah
yang lebih rendah, pada tubulus renal proksimal dan tubulus renal distal (lihat
Tabel 25-2) (Merin dan Bastron, 1986). Hasilnya ditandai dengan peningkatan ekskresi urines dari ion sodium, klorida dan
bikarbonat (Tabel 25-4) (Tonnesen, 1983).
Peningkatan ekskresi
yang menyertai ion potassium ke tubulus renalis terjadi kapan saja ketika
hantaran distal sodium dan air meningkat. Hal ini menegaskan bahwa pendorong
normal ekskresi
potassium oleh tubulus renalis distal yaitu perbedaan potensial eletrik
transtubulus yang diakibatkan oleh reabsorbsi sodium. Diuretik tiazid, dengan menginhibisi reabsorbsi sodium menyebabkan hantaran
konsentrasi sodium yang lebih tinggi pada tubulus renalis distal dan kemudian
meningkatkan sekresi potassium ke dalam
tubulus renalis. Efek diuresis dari diuretik tiazid tidak tergantung pada
keseimbangan asam-basa.
Efek
Antihipertensi
Efek
antihipertensi diuretik
tiazid diawali dengan menurunkan volume cairan ekstraseluler kemudian dengan
menurunkan curah jantung. Efek
antihipertensi lanjut diuretik
tazid yaitu dengan vasodilatasi perifer, yang membutuhkan waktu beberapa minggu
untuk berkembang. Vasodilatasi perifer ini menunjukkan adanya efek kecil
aktivitas sistem saraf simpatik pada otot polos vaskuler perifer, yang
berhubungan dengan penurunan cadangan sodium total tubuh. Induksi diuretik yang
menurunkan resistensi vaskuler sistemik setidaknya disertai koreksi parsial
penurunan volume cairan
ekstravaskuler. Pentingnya ekskresi sodium yang diindukasi diuretik ditunjukkan oleh hilangnya efek antihipertensif ketika
diuretik
tiazid diberikan pada hewan anephric.
Efek
samping
Efek
samping yang biasa diinduksi oleh diuretik tiazid yaitu hipokalemia, dan alkalosis
metabolik, ketika obat diberikan dalam jangka panjang untuk terapi pemeliharaan
hipertensi esensial (lihat Tabel 25). Deplesi ion sodium dan magnesium dapat
menyertai kaliuresis. Disritmia
jantung dapat terjadi sebagai akibat dari hipokalemia atau hipomagnesia yang
diinduksi diuretik.
Efek samping penting lainnya dari hipokalemia yang dapat terjadi yaitu (a)
kelemahan otot skeletal, (b) ileus gastrointestinal, (c) neuropati yang
ditandai dengan poliuria dan azotemia,
(d) peningkatan kemungkinan berkembangnya toksisitas
digitalis, dan (e) potensiasi dari obat-obatan nondepolarizing neuromuscular-blocking.
Tabel
25-1.
KLASIFIKASI
DIURETIK
|
|
Penggunaan
Klinis
|
|
Diuretik
tiazid
|
|
Klorotiazid
|
Hipertensi
esensial, edema akibat gagal jantung
kongestif, gagal ginjal, gagal hepar
|
Hidroklorotiazid
|
Sama
dengan klorotiazid
|
Bendroflumethiazid
|
Sama
dengan klorotiazid
|
Hidroflumetiazid
|
Sama
dengan klorotiazid
|
Metilclotiazid
|
Sama
dengan klorotiazid
|
Politiazid
|
Sama
dengan klorotiazid
|
Triklormetiazid
|
Sama
dengan klorotiazid
|
Indapamind
|
Sama
dengan klorotiazid
|
Diuretik Kuat
|
|
Furosemid
|
Hipertensi
esensial berat, edema akibat gagal jantung kongestif, gagal hinjal, gagal
hepar
|
Asam
ethacrynic
|
|
Bumetanid
|
Sama
dengan furosemid
|
Torsemid
|
Sama
dengan furosemid
|
Diuretik
osmotik
|
|
Manitol
|
Hipertensi
intrakranial,
profilaksis melawan pengobatan fase
oligourik pada gagal ginjal akut
|
Urea
|
|
Diuretik potassium-sparing
|
|
Triamteren
|
Edema
yang berkaitan dengan gagal jantung kongestif, gagal ginjal, gagal hepar
|
Amilorid
|
Hipertensi
essensial,
atau edema akibat gagal jantung kongestif, sering dikombinasikan dengan
diuretik tiazid atau loop diuretics
|
Antagonis
aldosteron
|
|
Spironolakton
|
Edema
yang berkaitan dengan gagal jantung kongestif, gagal ginjal, gagal hepar
|
Inhibitor
anhidrase karbonik
|
|
Asetazolamid
|
Glaukoma,
alkalosis metabolik persisten
|
Agonis
reseptor dopamin
|
|
Dopamin
|
Tidak
direkomendasikan sebagai profilaksis melawan fase oliguri
pada gagal ginjal akut
|
Fenoldopam
|
Keadaan
volume cairan intravaskuler harus dipertimbangkan pada semua pasien yang
mendapat pengobatan diuretik tiazid dan dijadwalkan untuk operasi. Adanya
hipotensi ortostatik pada pasien ini harusnya menimbulkan kecurigaan bahwa volume
cairan intravaskuler berkurang. Bukti laboratorium dari hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit dan peningkatan konsentrasi nitrogen urea darah) dan
penururnan tekanan pengisian atrium kiri atau kanan merupakan bukti lanjut dari
adanya hipovolemia.
Diuretik
tiazid dapat menyebabkan hiperglikemia dan memperburuk diabetes mellitus.
Mekanisme terjadinya hiperglikemia belum diketahui pasti namun dapat
menunjukkan adanya inhibisi pelepasan insulin dari pankreas dan penghambatan penggunaan glukosa
di perifer yang diinduksi oleh obat.
Inhibisi
sekresi urat di tubular renalis oleh diuretik tiazid dapat menyebabkan
hiperurisemia. Retensi asam urat yang diinduksi tiazid ini dapat mengeksaserbasi arthritis gout, bahkan pada pasien
yang diobati dengan probenecid.
Batasan
fungsi ginjal atau hepar mungkin akan memburuk sepanjang pengobatan dengan
diuretik
tiazid, yang nampaknya menunjukkan adanya penurunan aliran darah pada organ ini
akibat induksi obat. Ruam makulopapular terjadi pada 1% atau lebih pasien yang
diobati dengan klorotiazid.
Tabel 25-2
LOKASI KERJA
DIURETIK
|
||||||
Diuretik Tiazid
|
Diuretik Kuat
|
Diuretik
Osmotik
|
Diuretik
potassium-sparing
|
Antagonis
Aldosteron
|
Anhidrase Karbonik
|
|
Awal tubulus
konvolusi proksimal
|
+
|
+
|
||||
Tubulus
konvolusi proksimal
|
+
|
+
|
+++
|
|||
Daerah meduler
loop of Henle asenden
|
+++
|
+++
|
||||
Daerah korteks
loop of Henle asenden
|
+++
|
+
|
+
|
|||
Tubulus
konvolusi distal
|
+
|
+
|
+
|
+++
|
||
Duktus
kolektikus
|
+++
|
+, lokasi kerja minor; +++,
lokasi kerja utama/mayor
Sumber : diadaptasi dari Mergin
RG, Bastron RD. Diuretics. Dalam : Smith NT, Miller RD, Carbascio AND, eds. Drug interaction in anesthesia. Philadelphia; Lea & Febiger, 1986 :
206-224; dengan izin.
LOOP
DIURETIK (DIURETIK KUAT)
Asam
ethacrynic,
bumetanid dan furosemid merupakan
diuretik
yang menghambat reabsorbsi sodium (obat-obatan saliuretik paling poten yang
tersedia) dan klorida terutama pada daerah meduler loop of Henle asendens (Gambar 25-3, lihat Tabel 25-2) (Merin dan
Bastron, 1986). Tempat kerja ini menjadikan obat-obat ini sebagai loop diuretics. Pemberian secara
intravena (IV) baik asam athacrynic atau furosemid menghasilkan
respon diuretik dalam 2 hingga 10 menit yang tidak tergantung pada perubahan
asam-basa (lihat Tabel 25-3) (Tonnesen, 1983). Memang, respon terhadap
furosemid langsung berhubungan dengan laju filtrasi glomerulus. Furosemid juga
memicu produksi prostaglandin ginjal yang menyebabkan vasodilatasi ginjal dan
meningkatkan aliran darah ginjal. Efek renovaskuler furosemid ini menghasilkan
redistribusi aliran darah ginjal dari bagian dalam hingga luar korteks dan berkontribusi
terhadap efek diuretik
obat ini. Furosemid yang menginduksi peningkatan aliran darah ginjal dapat
diinhibisi oleh obat-obatan anti-inflamasi non-steroid dan melemahkan efek
antidiuretik.
Farmakokinetik
Asam Ethacrynic
Asam
ethacrynic efektif jika diberikan per oral (0.75 hingga 3.00 mg/kg) atau secara
IV (0.5 hingga 1.0 mg/kg). Insidens tinggi
reaksi gastrontestinal
mengikuti pemberian oral diuretik
ini. Obat ini berikatan luas dengan protein. Asam ethacrynic diekskresikan oleh
ginjal dalam bentuk yang tidak berubah dan metabolisme yang tidak stabil.
Furosemid
Furosemid
efektif jika diberikan per oral (0.75 hingga 3.00 mg/kg) atau dengan IV (0.1
hingga 1.0 mg/kg). Berikatan secara luas dengan protein albumin, mencapai 90%
dari jumlah obat. Filtrasi glomerulus dan sekresi tubular renal mencapai 50%
dari eksresi furosemid. Hampir sepertiga dosis furosemid dimetobolisme atau
diekskresikan dalam bentuk yag tidak berubah di empedu. Waktu paruh eliminasi
yaitu < 1 jam,
menyebabkan durasi pendek dari kerja furosemid.
Penggunaan
klinis
Secara
klinis, furosemid lebih banyak digunakan dibanding dengan asam ethacrynic. Loop diuretics seharusnya hanya
diberikan pada pasien dengan volume cairan intravaskuler yang normal atau
meningkat. Hipovolemia akut dapat timbul akibat pemberian loop diuretics pada pasien hipovolemik dan menyebabkan hipotensi
yang selanjutnya mengeksaserbasi cedera iskemik ginjal dan menimbun nefrotoksin
pada tubulus ginjal.
Penggunaan
klinis umum furosemid termasuk (a) mobilisasi cairan edema akibat disfungsi
ginjal, hepar dan jantung, (b) pengobatan peninggian tekanan intrakranial, dan (c) menginhibisi penyerapan
kalsium seluler pada penanganan hiperkalsemia, dan (d) pengobatan diagnosis
banding pada oliguria akut. Efek antihipertensif furosemid berasal dari
kemampuannya untuk menurunkan volume cairan intravaskuler, yang timbul dalam
waktu yang cepat, yang menimbulkan peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik
dengan mediasi refleks baroreseptor. Percepatan ekskresi obat-obatan lain,
seperti obat non-depolarizing
neuromuscular-blocking kerja panjang, oleh diuresis yang induksi furosemid, terbatas karena diuretik ini tidak meningkatkan laju filtrasi
glomerulus atau sekresi tubular ginjal.
Tabel 25-3
EFEK SAMPING
DIURETIK
|
|||||
Hipokemia,
hiperkloremia, alkalosis metabolik
|
Hiperkalemia
|
Hiperglikemia
|
Hiperurisemia
|
Hiponatremia
|
|
Diuretik
Tiazid
|
Ya
|
Tidak
|
Ya
|
Ya
|
Ya
|
Loop Diuretics
|
Ya
|
Tidak
|
Minimal
|
Minimal
|
Ya
|
Potassium-Sparring
|
Tidak
|
Ya
|
Minimal
|
___
|
Minimal
|
Aldosteron
|
Tidak
|
Ya
|
Tidak
|
Ya
|
Tidak
|
Mobilisasi cairan edema
Furosemid,
0.1 hingga 1 mg/kg IV, menghasilkan dorongan diuresis cairan edema yang
terakumulasi akibat disfungsi ginjal, hepar dan jantung. Vasodilatasi perifer
mendahului
onset diuresis, dan berkaitan dengan penurunan aliran balik vena yang sejalan
dengan manfaat efek furosemid dalam penanganan edema pulmoner akut. Furosemid
juga dapat meningkatkan alian limfe melalui duktus thorasikus.
Penanganan peningkatan
tekanan intrakranial
Furosemid
menurunkan tekanan intrakranial
dengan menginduksi diuresis sistemik, menurunkan produksi cairan serebrospinal
dengan mengganggu transport ion sodium pada jaringan glial, dan menghilangkan
edema serebral melalui peningkatan transport cairan seluler. Penurunan tekanan
intrakranial oleh
diuretik
ini tidak disertai perubahan aliran darah serebral atau osmolaritas plasma.
Furosemid dapat diberikan melalui terapi tunggal (0.5 hingga 1 mg/kg IV) atau
dosis yang lebih rendah (0.1 hingga 0.3 mg/kg IV) dengan kombinasi bersama mannitol. Furosemid tidak sama efektifnya
dengan mannitol dalam menurunkan tekanan intrakranial. Perubahan pada blood-brain barrier tidak mempengaruhi
kecepatan dan efek lanjutan furosemid pada tekanan intrakranial. Karakteristik ini berbeda dengan
mannitol, yang dapat mengakibatkan hipertensi intrakranial balik jika blood-brain barrier yang rusak memungkinkan mannitol masuk kedalam
sistem saaf pusat. Kombinasi furosemid dan mannitol lebih efektif dalam menurunkan
tekanan intrakranial
dibanding jika diberikan tunggal, namun dehidrasi berat dan ketidakseimbangan
elektrolit juga dapat timbul.
Tabel 25-4
EFEK DIURETIK
TERHADAP KOMPOSISI URIN
|
||||||
Volume
(ml/menit)
|
pH
|
Sodium (mEq/L)
|
Potassium
(mEq/L)
|
Klorida
(mEq/L)
|
Bikarbonat
|
|
Tanpa
Obat
|
1
|
6.4
|
50
|
15
|
60
|
1
|
Diuretic
Tiazid
|
13
|
7.4
|
150
|
25
|
150
|
25
|
Loop Diuretics
|
8
|
6.0
|
140
|
25
|
155
|
1
|
Diuretik
Osmotik
|
10
|
6.5
|
90
|
15
|
110
|
4
|
Diuretic
Potassium-Sparing
|
3
|
7.2
|
130
|
10
|
120
|
15
|
Inhibitor
Anhidrase
Karbonik
|
3
|
8.2
|
70
|
60
|
15
|
Sumber : Diadaptasi dari Tonnesen AS. Clinical pharmacology and use of diuretics.
Dalam : Herhey SG, Bamforth BJ, Zaude H, eds. Review courage in anesthesiology. Philadelphia; Lippincott, 1983 :
217-226; dengan izin
Diagnosis
banding oliguria akut
Furosemid
yang diberikan dalam dosis kecil (0.1 mg/kg IV) akan menstimulasi diuresis pada
keadaan adanya efek hormon vasopressin arginin (hormon antidiuretik) yang berlebih.
Obat ini tidak dapt digunakan untuk menangani oliguria akut akibat penurunan
volume cairan intravaskuler,
karena diuresis yang diinduksi furosemid selanjutnya akan memperberat
hipovolemia dan memperburuk perubahan iskemik ginjal yang diakibatkan oleh buruknya
aliran darah ginjal. Selain itu, output
urin setelah pemberian furosemid tidak dapat dijadikan bukti untuk menentukan
adekuatnya volume cairan intravaskuler, curah jantung dan aliran darah ginjal.
Penggunaan
furosemid untuk pengobatan gagal ginjal akut masih kontroversial. Usaha untuk mengubah gagal
ginjal oligurik menjadi bentuk
nonoligurik, yang berkaitan dengan angka mortalitas yang lebih rendah, tidak
terbukti bermanfaat jika dibandingkan dengan kontrol yang tidak diobati ( Byrick dan Rose, 1990). Konversi gagal
ginjal oligurik menjadi nonoligurik tidak mengubah hasil sekali dialisis menjadi perlu. Namun demikian, pada
pasien ini, peningkatan aliran urin mempermudah manajemen cairan dan dukungan
nutrisi serta cenderung memperlambat perkembangan hiperkalemia dan asidosis
metabolik.
Efek
Samping
Efek
samping dari loop diuretics paling
sering bermanifestasi pada abnormalitas cairan dan keseimbangan elektrolit.
Kehilangan potassium dan klorida tampak menonjol, dan hipokalemia merupakan ancaman
tetap pada pasien yang ditangani dengan furosemid (lihat Tabel 25-3). Evaluasi preoperatif
pada pasien yang diobati furosemid dalam jangka waktu panjang, dapat berupa
penilaian laboratorium untuk menilai alkalosis metabolik hipokalemia,
hiponatremia dan hipomagnesemik.
Pengobatan
akut atau kronik pada pasien dengan diuretik, termasuk loop diuretics, dapat mengakibatkan toleransi akut (“braking phenomenom”). Toleransi akut
diduga mencerminkan retensi sodium dan air (aktivasi sistem renin-angiotensin)
pada kontraksi volume
cairan ekstraseluler (Brater, 1994). Penanganan toleransi akut ini yaitu dengan
replesi volume ekstraseluler. Pada penggunaan diuretik yang lama, terdapat bukti bahwa terjadi
hipertrofi kompensasi pada daerah tubulus ginjal (terutama pada tubulus distal) yang bertanggung
jawab atas retensi sodium. Ketika hal ini terjadi pada pasien yang diobati
dengan furosemid dalam waktu lama, maka memungkinkan memperbaiki efek diuretik dengan pemberian diuretik tiazid.
Pada
hewan, loop diuretics menghabiskan
cadangan potassium miokard dan meningkatkan kemungkinan terjadinya toksisitas
digitalis. Hipokalemi dikaitkan dengan peningkatan efek obat-obatan nondepolarizing neuromuscular blocking.
Bersama dengan diuretik
tiazid, loop diuretics dapat menyebabkan
hiperurisemia,
namun hal ini jarang secara
klinis. Demikian juga pada hiperglikemia, meskipun mungkin terjadi namun lebih
jarang timbul dibandingkan dengan diuretik
tiazid.
Furosemid
meningkatkan konsentrasi aminoglikosid pada jaringan ginjal dan meningkatkan
kemungkinan efek nefrotoksik dari
antibiotik ini, nefrotoksisitas
sefalosforin juga dapat meningkat oleh furosemid. Furosemid juga dikaitkan
dengan alergi nefritis interstitial yang serupa dengan yang disebabkan oleh
penisilin. Sensitivitas silang dapat timbul ketika pasien yang alergi terhadap
sulfonamid lain diberikan furosemid.
Klirens ginjal dari litium menurun akibat penurunan reabsorbsi sodium akibat diuresis yang diinduksi diuretik. Oleh karena itu, konsentrasi
plasma litium dapat
ditingkatkan secara akut dengan pemberian intravena furosemid pada masa perioperatif
(Havdala et al, 1979).
Pada keadaan hiperkalsemia simptomatik, furosemid dapat menurunkan konsentrasi
plasma kalsium dengan menstimulasi output
urin.
Berkembangnya
ketulian, baik transient maupun permanen, merupakan komplikasi tergantung-dosis yang diakibatkan oleh furosemid dan
asam ethacrynic. Efek samping ini biasanya terjadi dengan peningkatan berlanjut
konsentrasi plasma obat ini bersama dengan obat ototoksik lainnya. Perubahan
komposisi eletkrolit pada endolimfe yang diinduksi oleh obat merupakan mekanisme yang
mungkin terjadi. Pasien
yang alergi terhadap obat-obatan yang mengandung nukleus sulfonamide (beberapa antibiotik, diuretik tiazid) akan meningkatkan resiko
terjadinya reaksi alergi ketika diobati dengan furosemid (Hansbroughe et al,
1987). Sensitivitas silang serupa pada asam ethacrynic lebih jarang terjadi
karena diuretik
ini kurang mengandung nukleus
sulfonamide (lihat Gambar
25-2 dan 25-3)
DIURETIK
OSMOTIK
Diuretik osmotik seperti manitol dan urea (a) bebas
terfiltrasi pada glomerulus, (b) mengalami reabsorbsi yang terbatas dari
tubulus renalis, (c) melawan metabolisme,
dan (d) secara farmakologik tidak dapat bereaksi. Karakteristik ini memungkinkan
pemberian diuretik
osmotik untuk diberikan dalam jumlah besar guna mengubah osmolaritas plasma, filtrasi glomerulus, dan
cairan tubulus renalis, dan menghasilkan diuresis osmotik. Daerah tubulus renalis (tubulus
renalis proksimal, loops of Henle)
memiliki permeabilitas tinggi terhadap adanya cairan menjadi lokasi utama kerja
diuretik
osmotik.
Manitol
Manitol
merupakan osmotik
diuretik
yang paling sering digunakan. Secara struktur, mannitol adalah glukosa
enam-karbon yang tidak mengalami metabolisme (Gambar 25-4). Senyawa ini tidak
diabsorbsi dari traktus gastrointestinal, yang mengharuskan penggunaannya melalui injeksi intravena untuk
memberikan efek diuretik.
Mannitol tidak memasuki sel, dan hanya dibersihkan dari plasma melalui filtrasi
glomerulus.
Gambar 25-4. Manitol
Mekanisme kerja
Setelah
pemberian, manitol
secara lengkap difiltrasi pada glomerulus, dan tidak sedikitpun obat ini diabsorbsi
lanjut pada tubulus renalis (lihat Tabel 25-2) (Merin dan Bastron, 1986).
Sebagai hasilnya, manitol meningkatkan osmolaritas cairan tubulus renalis dan
mencegah reabsorbsi air. Sodium terlarut pada cairan yang tertahan ini pada
tubulus renalis, menyebabkan kurangnya reabsorbsi dari ion ini. Sebagai akibat
dari efek osmotik
ini terhadap cairan tubulus renalis, terdapat efek diuretik osmotik terhadap ekskresi air, ion sodium, klorida dan
magnesium (lihat Tabel 25-4) (Tonnesen, 1983). pH urin tidak berubah oleh diuresis osmotik yang diinduksi oleh manitol (lihat Tabel 25-4) (Tonnesen, 1983).
Sebagai
tambahan untuk
menimbulkan efek tubulus renalis, pemberian intravena manitol juga meningkatkan
osmolaritas plasma,
yang membawa cairan intraseluler ke ruang ekstraseluler. Peningkatan
osmolaritas plasma ini dapat mengakibatkan
ekspansi akut volume cairan intraseluler. Redistribusi cairan dari intraseluler
menurunkan ukuran otak dan secara khusus dapat meningkatkan aliran darah ginjal
hingga ke medulla. Demikian juga, peningkatan akut volume cairan intravaskuler
dapat menimbulkan efek yang merugikan pada pasien dengan fungsi miokard yang
buruk. Manitol merupakan pembersih radikal oksigen bebas, yang mencegah edema seluler dan
mengurangi obstruksi tubular renalis.
Penggunaan klinis
Manitol
diberikan untuk (a) profilaksis gagal ginjal akut, (b) diagnosis banding
oliguria akut, (c) pengobatan peningkatan tekanan intrakranial, dan (d) menurunkan tekanan
intraokuler.
Profilaksis gagal ginjal akut
Manitol
digunakan sebagai profilaksis (“protokol
proteksi ginjal”) melawan gagal ginjal akut, yang dapat timbul setelah (b)
pembedahan jantung,
(b) operasi transplantasi), (c) trauma berat, (d) pembedahan pada penyakit ikterus, dan (e) kondisi nefrotoksik (reaksi hemolitik
transfusi).
Pemberian
profilaksis manitol dan dopamin dosis rendah serta setelah klem silang
infrarenal aorta abdominal untuk mencegah kemunduran fungsi ginjal pada pasien
dengan stabilititas hemodinamik yang terpelihara. Meskipun terdapat persepsi
klinis bahwa diuresis merupakan indikasi
terpeliharanya fungsi ginjal, namun terdapat data bahwa output urin saja tidak
memprediksi dengan akurat fungsi ginjal pada periode post operasi. Selanjutnya,
konsentrasi kreatinin serum dan creatinin
clereance tidak membaik setelah pemberian manitol pada pasien yang
menjalani pembedahan aorta abdominal. Manfaat utama diuresis yan diinduksi oleh manitol lebih terlihat pada pasien
yang memiliki respon
terhadap pemberian cairan dan darah (Byrick
dan Rose, 1990).
Efek
protektif manitol digunakan untuk mencegah gagal ginjal akut setelah reaksi
transfusi
tidak membaik. Pembedahan
tranplantasi ginjal merupakan contoh efek proteksi ginjal dari manitol. Insiden gagal
ginjal akut lebih sedikit pada pasien yang menerima manitol sebelum revaskularisasi transplantasi ginjal (Vanvalenberg
et al, 1984).
Diagnosis
banding olguria akut
Manitol,
0.25 g/kg IV, sangat berguna pada diagnosis banding oliguria akut. Sebagai contoh, urin yang keluar akan meningkat dengan
pemberian manitol pada olguria akut yang disebabkan oleh penurunan volume
cairan intravaskuler. Sebaliknya, ketika fungsi glomerulus atau tubulus renal
terganggu manitol tidak
akan dapat meningkatkan aliran urin.
Penanganan
peningkatan tekanan intrakranial
Manitol
0.25 hingga 1.00 g/kg IV, menurunkan tekanan intrakranial dengan meningkatkan osmolaritas plasma, yang menarik aliran dari jaringan, termasuk otak,
sepanjang perbedaan gradient. Sebagai tambahan, manitol dapat memfasilitasi
penurunan volume cairan serebrospinalis dengan menurunkan laju pembentukan
cairan ini (Gambar 25-5)
(Donato et al, 1994).
Manitol
mulai menimbulkan efek dalam 10 hingga 15 menit dan efektif selama sekitar 2
jam. Hanya terdapat sedikit
perbedaan efek antara dosis pada tekanan intrakranial jika dosis yang diberikan lebih besar maka dapat bertahan lebih lama (Marsh et al, 1997). Selanjutnya, jika dosis
yang lebih besar dan pemberian berulang dapat menyebabkan gangguan metabolik. Yang penting, manitol
tidak disertai dengan peningkatan balik tekanan intrakranial. Blood-brain barrier yang intak penting untuk mencegah masuknya manitol ke
dalam SSP. Jika blood-brain brarrier
tidak intak, manitol dapat memasuki otak, menarik cairan bersamanya dan
menyebabkan edema serebral balik. Tanpa disadari, otak akhirnya beradaptasi
dengan peningkatan osmolaritas plasma berlanjut seperti pada pemberian manitol
jangka panjang sehingga menjadi kurang
efektif lagi
dalam menurunkan tekanan intrakranial.
Manitol
dapat menyebabkan vasodilatasi otot polos vaskuler, yang tergantung pada dosis
dan kecepatan pemberian. Vasodilatasi yang diinduksi oleh manitol mempengaruhi
pembuluh darah intrakranial
dan ekstrakranial serta secara transient dapat meningkatkan volume darah
serebral dan tekanan intrakranial
ketika secara bersamaan akan
menurunkan tekanan darah sistemik
(Cottrell et al, 1997 ; Domalngue dan Nye, 19850. Karena manitol
pada awalnya dapat meningkatakan
tekanan intrakranial,
maka direkomendasikan untuk memberikan dosis yang dipilih dalam waktu sekitar
10 menit dan dirangkaikan dengan pengobatan yang dapat menurunkan volume intrakranial (kortikostreoid, hiperventilasi
paru-paru)
Reduksi
tekanan intraokuler
Manitol,
gliserin dan isosorbid kadang-kadang digunakan untuk reduksi tekanan intraokuler jangka pendek pada pasien yang menjalani operasi
optalmologik. Dengan meningkatkan osmolaritas plasma, cairan meninggalkan ruang
intraokuler sebesar gradient osmotik.
Gliserin dan isosorbid diberikan per oral
dan dapat berkontribusi pada peningkatan volume cairan lambung pada saat induksi anestesi.
Reduksi maksimal tekanan intraokuler dan volume vitreus hampir 1 jam setelah pemberian gliserin secara oral, dan kembali ke
tingkat sebelum operasi mencapai 5 jam setelahnya. Metabolisme gliserin menjadi glukosa dapat
menyebabkan hiperglikemia dan glikosuria, sehingga perlu berhati-hati untuk memberikan senyawa ini pada
pasien diabetes mellitus. Karena senyawa ini dimetabolisme dengan cepat, gliserin menghasilkan diuresisi yang
minimal, dan katerisasi urin rutin pada pembedahan tidak diperlukan. Isosorbid
tidak memberikan efek yang merugikan bagi
peningkatan glukosa darah sehingga
lebih
dipilih untuk diberikan
pasien diabete mellitus.
Efek samping
Pada
pasien dengan oliguria sekunder akibat gagal jantung, induksi manitol akut
dapat meningkatkan volume cairan intravaskuler yang akan memicu edema pulmo.
Untuk alasan ini, furosemid
lebih dipilih untuk penanganan
peningkatan
tekanan intrakranial pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri. Penggunaan
manitol yang
berkepanjangan dapat menyebabkan hipovolemia, gangguan elektrolit dan
hiperosmolaritas plasma akibat ekskresi air dan sodium yang berlebihan. Nefrotoksin dan iskemia
renal yang
lanjut dapat merusak epitel tubulus renal sehingga tubulus renalis tidak lagi
berespon terhadap manitol sehingga efek osmotik diuretiknya menghilang.
Diuresis
sekunder pada manitol tidak mempengaruhi laju eliminasi obat-obatan non depolarizing
neuromuscular-blocking. Ini diduga karena
obat neuromuscular-blocking
tergantung pada filtrasi glomerulus, yang tidak dipengaruhi oleh manitol. Trombosis
vena jarang terjadi setelah pemberian manitol intravena, karena jaringan nekrosis tidak timbul
jika terjadi ekstravasasi.
Urea
Urea,
1.0 hingga 1.5 g/kg IV, merupakan
diureti osmoti yang efektif, namun tidak seperti mannitol, ukuran molekulnya
yang kecil menyebabkan
reabsorbsi urea yang terfiltrasi
pada glomerulus lebih dari 60% (Gambar 25-6). Obat ini akhirnya masuk ke sel dan menyeberangi blood-brain barrier, menyebabkan derajat peningkatan tekanan intrakranial balik yang lebih tinggi dibanding
yang terjadi setelah pemberian manitol. Kerugian lain dari urea yaitu berkaitan dengan trombosis vena
dan kemungkinan terjadinya nekrosis jaringan jika terjadi ekstravasasi cairan
yang mengandung urea. Peningkatan konsentrasi nitrogen urea darah setelah
pemberian urea harus dibedakan dari gagal ginjal akut.
DIURETIK
POTASSIUM-SPARING
Diuretik potassium-sparing
seperti
triamteren dan amilorid bekerja langsung pada mekanisme transport tubulus
renalis di
distal tubulus bebas dari aldosteron untuk menghasilkan diuresis (Gambar 25-7,
lihat Tabel 25-2) (Merin dan Bastron, 1986). Diuretik ini ditandai dengan peningkatan ekskresi urin dari sodium, klorida dan ion bikarbonat, serta
peningkatan pH
urin (lihat Tabel 25-4) (Tonnesen,
1983).
Diuresis disertai dengan tidak meningkat atau menurunnya ekskresi potassium pada urin (lihat tabel 25-4) (Tonnesen, 1983). Kurangnya ekskresi potassium yang diinduksi oleh diuretik akibat dari inhibisi sekresi
potassium kedalam tubulus
renalis distal.
Farmakokinetik
Triamteren
dengan mudah diabsorbsi di traktus gastrointestinal sedangkan amiloid tidak diabsorbsi secara sempurna. Amilorid lebih poten
dibandingkan dengan triamteren dan senyawa ini tidak dimetabolisme (Saggar-Malik dan Cappuccio, 1993).
Triamteren merupakan pteridin dengan struktur yang menyerupai asam folat (lihat Gambar 25-7).
Triamteren dimetabolisme dengan luas dan beberapa dari metabolitnya memiliki
aktivitas diuretik.
Waktu paruh eliminasi untuk triamteren yaitu 3 hingga 5 jam dan untuk amilorid
sekitar 18 jam. Perubahan farmakokinetik triamteren terjadi pada pasien dengan
penyakit ginjal, sehingga
obat ini harus hati-hati digunakan pada pasien yang demikian.
Penggunaan
klinis
Diuretik potassium-sparing
paling sering digunakan bersama dengan loop
diuretics atau dengan diuretik
tiazid untuk menambah diuresis dan membatasi hilangnya potassium ginjal. Obat
ini tidak tersedia dalam bentuk parenteral dan jarang diberikan pada pasien
perioperatif atau pasien dengan penyakit kritis. Karena amilorid dan triamteren
bekerja di nefron bagian
daripada tiazid, obat ini pada dasarnya kurang efektif. kombinasi tiazid dan
diuretik
potassium-sparing
memaksimalkan efisiensi
diuresis dari kedua tipe obat dengan saling mengimbangi efek ekskresi potassiumnya. Amilorid aerosol
diberikan pada pasien dengan
fibrosis kistik guna
memperbaiki viskositas sputum, nampaknya dengan menghambat absorbsi berlebihan sodium yang melewati epitel
jalan napas (Knowles et al.,
1990).
Efek
samping
Hiperkalemia
merupakan efek samping utama dari
diuretik
potassium-sparing
(lihat Tabel 25-4). Tidak sama dengan diuretik lain, obat ini tidak menyebabkan
hiperurisemia.
Pasien dengan resiko gagal ginjal akut juga beresiko mengalami hiperkalemia
jika pengobatan
dengan diuretik
potassium-sparing ini dilanjutkan. Hiperkalemia juga beresiko
pada pasien yang mendapat pengobatan senyawa ini bersama dengan obat-obatan
lain yang meningkatkan
konsentrasi potassium plasma (anti inflamasi
non steroid, inhibitor angiotensin-converting enzyme, beta-bloker).
ANTAGONIS
ALDOSTERON
Spironolakton
merupakan steroid sintetik analog yang bekerja sebagai diuretik potassium-sparing.
Obat ini mengandung struktur yang menyerupai aldosteron (Gambar 25-8, lihat
Tabel 25-2) (Merin dan
Bastron, 1986).
Mekanisme
kerja
Spironolakton
berikatan dengan reseptor mineral kortikoid
sistoplasmik pada duktus kolektikus dan bekerja sebagai kompetitor antagonis
terhadap aldosteron. Spironolakton hanya efektif jika terdapat aldosteron.
Normalnya, aldosteron menambah reabsorbsi tubular renalis terhadap ion sodium
dan klorida serta meningkatkan ekskresi ion potassium. Spironolakton menghambat
efek tubulus renalis aldosteron ini, dengan menghambat reabsorbsi sodium dan klorida.
Ikatan spironolakton dengan
kompleks reseptor mencegah kompleks
reseptor-aldosteron dari translokasi ke nukleus sel (menghambat ekspresi gen). Hal ini sejalan dengan pengamatan bahwa
obat ini membutuhkan
2 hingga 4 hari untuk memberikan efek.
Selanjutnya, efek spironolakton terhadap
aldosteron bertahan dalam 48 hingga 72 jam. Spironolakton beresiko menyebabkan
hiperkalemia, asidosis hiperkloremik pada pasien yang mendapat pengobatan ini dan memiliki gagal ginjal akut.
Farmakokinetik
Absorbsi oral spironolakton mencapai 70% dari dosis yang diberikan.
Spironolakton mengalami metabolisme
hepar yang ekstensif. Ikatan terhadap protein plasma lebih luas, dan tidak terdapat perubahan
bentuk pada urin. Kanrenon
merupakan metabolit utama dari spironolakton, yang dapat dimetabolisme menjadi
canrenoate. Cenrenone merupakan antagonis aldosteron aktf, sedangkan canrenoate
tidak memiliki aktivitas farmakologik (Saggar-Malik dan Cappuccio, 1993).
Penggunaan
klinis
Spironolakton
sering diberikan untuk pengobatan edema refraktori akibat gagal jantung
kongestif dan sirosis hepar dengan anggapan
bahwa penurunan fungsi hepar dan metabolisme menyebabkan peningkatan konsentrasi
plasma aldosteron. Efek antihipertensi diuretik ini serupa dengan diuretik tiazid namun efek sampingnya berbeda.
Kombinasi spironolakton dengan diuretik
tiazid memaksimalkan efisiensi diuresis dari kedua tipe obat dengan saling
mengimbangi efek ekskresi
potassiumnya.
Efek
samping
Hiperkalemia,
terutama pada keadaan disfungsi renal, merupakan efek samping paling serius dari
pengobatan dengan spironolakton (lihat Tabel 25-3). Berbeda dengan diuretik tiazid, spironolakton tidak menyebabkan
hipokalemia, hiperglikemia atau hiperurisemia
(lihat Tabel 25-3).
INHIBITOR
ANHIDRASE KARBONIK
Asetazolamid
merupakan prototipe
dari golongan obat-obatan sulfonamide yang berikatan dengan enzim anhidrase
karbonik,
menyebabkan inhibisi non-kompetitif terhadap aktivitas enzim, terutama pada
tubulus renalis proksimal (gambar 25-9, lihat Tabel 25-2) (Merin dan Bastron, 1986). Sebagai akibat
dari inhibisi enzim, ekskresi
ion hidrogen dikurangi
dan hilangnya ion bikarbonat
akan
ditingkatkan
(lihat Tabel 25-3) (Tonnesen,
1983).
Klorida dipertahankan
oleh ginjal untuk menyeimbangi kehilangan bikarbonat dan kemudian memelihara
keseimbangan ion. Penurunan ketersediaan
ion hidrogen
pada tubulus renalis distal menyebabkan ekskresi potassium
bertukar dengan sodium. Efek akhir dari semua pertukaran ekskresi ini akan
menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik. Efek diuretik acetazolamid tidak dipengaruhi oleh
asidosis metabolik ataupun respirasi. Setelah pemberian oral, asetazolamid diekskresikan tanpa perubahan bentuk oleh
ginjal dalam 24 jam.
Penggunaan
klinis
Asetazolamid,
250 hingga 500 mg per oral, diberikan untuk mengobati penyakit berat dan untuk
menurunkan tekanan intraokuler dalam penanganan glaukoma. Penurunan tekanan
intraokuler menunjukkan adanya konsentrasi tinggi enzim anhidrasi karbonik pada
struktur intraokuler dan menyebabkan penurunan pembentukan humor aquos ketika
aktivitas enzim dihambat oleh asetazolamid. Pembentukan cairan serebrospinal
juga dihambat oleh asetazolamid. Asetazolamid menginhibisi aktivitas kejang, dengan cara menghasilkan asidosis metabolik.
Keuntungan
efek asetazolamid dalam penanganan paralisis periodik familial menunjukkan adanya asidosis metabolik
yang diinduksi oleh obat, yang meningkatkan konsentrasi lokal dari potassium di
otot skeletal. Asetazolamid, dapat menyebabkan
asidosis
metabolik,
yang dapat menstimulasi pasien yang hipoventilasi sebagai respon kompensasi
terhadap alkalosis metabolik.
ANGONIS
RESEPTOR DOPAMIN
Contoh
obat yang menambah fungsi renal dan efek diuretik melalui kerja reseptor dopamin yaitu dopamin dan fenoldopam (lihat Gambar
25-1). Sebagai tambahan terhadap kerja dopamin, obat ini juga meningkatkan efek
reseptor alfa dan beta (lihat Tabel 25-5) (Garwood dan Hines, 1998).
Reseptor
dopamin dibagi menjadi subtipe
dopamin-1 dan dopamin-2. Reseptor dopamin-1, tapi tidak reseptor dopamin-2,
menstimulasi siklase adenil dan fosfolipase serta pembentukan siklik adenosin
monofosfat. Pada vaskularisasi ginjal, reseptor dopamin memediasi vasodilatasi dan meningkatkan aliran darah ginjal serta laju
filtrasi lomerulus. Pada tubulus renalis, stimulasi reseptor dopamin-1 menghambat
reabsorbsi sodium dan mendukung natriuresis. Reseptor dopamin-2 pada pembuluh darah ginjal menghambat pelepasan norepinefrin
dari ujung saraf simpatik post ganglionik tapi aliran darah ginjal dan laju
filtrasi glomerulus tidak meningkat.
Dopamin
Dopamin
merupakan campuran reseptor dopamin-1 dan dopamin-2 pada dosis rendah (1 hingga
3 µg/kg IV per menit) dan agonis beta1 dengan dosis yang lebih
tinggi mendukung efek dopamin dalam meningkatkan curah jantung, tekanan perfusi
ginjal dan aliran darah
ginjal. Stimulasi reseptor dopamin-1 pada
tubulus renalis menstimulasi natriuresis. Dopamin dapat memberikan efek
renoprotektif
dengan menghambat pompa sodium dan
menurunkan konsumsi oksigen tubulus ginjal. Dopamin sering dimasukkan dalam
protokol pemeliharaan
fungsi ginjal. Namun, data menunjukkan efek proflaksis protektif renal pada
dosis rendah dopamin rendah dan penggunaan dopamin rutin dengan tujuan ini
tidak direkomendasikan (Perdue et
al., 1998; Galley, 2000). Ketika pasien dengan keadaan disfungsi
ginjal menjalani angiografi menerima
profilaksis dopamin, konsentrasi kreatinin serum meningkat
dibanding pasien
yang menerima cairan (Gare et al., 1999). Selanjutnya, efek
farmakologik dopamin tidak dapat
diprediksi karena
variabilitas individu pada farmakokinetiknya, misalnya dosis rendah dopamin
dapat meningkatkan konsentrasi plasma tergantung pada rentan aginis alfa pada
beberapa pasien (MacGregot et al.,
2000) .
Dopamin
juga disintesis endogen pada sel tubulus renalis dari L-dopa menyebabkan
inhibisi pompa ATP-ase
sodium/potassium (Holtback et al.,
2000).
Fenoldopam
Fenoldopam
merupakan agonis dopamin-1 postsinaps selektif dengan akitivitas lemah dari
agonis reseptor 5-5 hiroksitriptamin-2
dan dopamin-2 non-signifikan, efek agonis alfa dan beta. Infus fenoldopam
(0.1 hingga 0.5 µg/kg/menit) menghasilkan vasodilatasi renal dan meningkatkan
alirah darah ginjal tanpa mengubah tekanan darah sistemik. Dosis fenoldopam
yang lebih tinggi dapat menurunkan tekanan darah sistemik, namun tidak sama
dengan sodium nitropusid, fenoldopam ini menginduksi penurunan tekanan darah
namun tidak menurunkan tekanan
darah ginjal. Prinsip penggunaan
fenoldopam yaitu sebagai obat antihipertensi intravena. Efek renoprotektif
fenoldopam tidak dapat dinilai.
Infus
fenoldopam jangka pendek (0.1 µg/kg/menit) yang dikombinasi dengan norepinefrin
dan dobutamin meningkatkan perfusi mukosa gaster pada pasien dengan syok septik (Morelli et al., 2004). Mukosa
intestinal diindetifikasi sebagai target cedera selama syok septik. Perubahan aliran dalan dinding intestinal (iskemia)
menjadi faktor kontributif pada cedera mukosa dan disfungsi organ multipel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar