FUNCTIONAL ENDOSCOPIC SINUS SURGERY
(FESS)
I.
PENDAHULUAN
Bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF)
atau Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) merupakan suatu prosedur
yang invasif minimal, saat ini populer sebagai teknik operasi terkini
dalam penatalaksanaan sinusitis kronik, polip hidung, tumor hidung dan
sinus paranasal, dan kelainan lainnya. Jenis operasi ini menjadi pilihan karena
lebih efektif dan fungsional. Sekitar 75-95% kasus rinosinusitis kronis telah
dilakukan tindakan BSEF.1,2
BSEF dikembangkan pada tahun 1950-an
yang merupakan endonskopi nasal yang telah direvolusi untuk pembedahan sinus. Teknik bedah ini pertama
kali diajukan oleh Messerklinger-Wigand pada akhir tahun 1970-an dan
dipopulerkan oleh Stammberger dan Kennedy pada tahun 1985 dengan sebutan
Functional Endoscopic Sinus Surgery. Tujuan utama BSEF adalah memulihkan
aliran mukosilier dengan membuka kompleks ostiomeatal tergantung sinus. Gangguan
drainase sinus dapat menimbulkan rasa nyeri wajah, nyeri kepala,
gangguan penghidu, serta bisa menimbulkan sejumlah komplikasi lain yang dapat
berbahaya.1,3,4,5
Dibandingkan dengan prosedur operasi
sinus sebelumnya yang bersifat invasif radikal seperti operasi
Caldwel-Luc, fronto-etmoidektomi eksternal dan lainnya. Sejak tahun 1990 sudah
mulai diperkenalkan dan dikembangkan di Indonesia.1
Perkembangan yang pesat di bidang
kedokteran juga membawa perubahan dalam penatalaksanan sinusitis. Tersedianya
alat diagnostik CT scan telah membuat pencitraan sinus paranasal lebih
jelas dan terinci, sedangkan dipopulerkannya pemakaian alat endoskop untuk
operasi bedah sinus menciptakan tindakan pengobatan yang tidak radikal tetapi
dapat lebih tuntas.1
BSEF saat ini merupakan teknik terbaik
penatalaksanaan sinusitis kronik dan akut berulang. Dibandingkan dengan bedah
sinus terdahulu yang pada umumnya radikal dengan morbiditas yang tinggi, maka
BSEF lebih konservatif dengan morbiditas yang rendah.1
Keberhasilan pembedahan endoskopik sinus
terjadi 85 sampai 95%. Sekitar 5-15% pasien gagal dan mengharuskan revisi bedah
sinus. Gejala yang paling sering dicatatkan pada pasien yang gagal seperti
sakit kepala dan infeksi berulang. Bagaimana pun juga Kennedy telah menunjukkan
bahwa gejala tidak memiliki huhungan dengan resolusi penyakit, yang kemudian menjadi
bahan evaluasipda pasien dengan hasil yang objektif. Tidak semua kegagalan
membutuhkan revisi pembedahan. Revisi pembedahan terjadi dalam 5-15% pasien
dengan keberhasilan rata-rata 63% atau lebih baik.6,7
Kompleks ostiomeatal (KOM) terdiri dari sel-sel
udara dari etmoid anterior dan ostiumnya, infundibulum etmoid, ostium sinus
maksila, ostium sinus frontal dan meatus media.7,8
Struktur lain yang juga merupakan KOM adalah sel
agger nasi, prosesus unsinatus, bula etmoid, hiatus semilunaris inferior dan
konka media. Secara fungsional, KOM berperan sebagai jalur drainase dan
ventilasi untuk sinus frontal, maksila dan etmoid anterior.7,8
Gambar 1. Anatomi Dinding Nasal Lateral (Diambil kepustakaan No.8)
Gambar 1. Kompleks Ostiomeatal (KOM), potongan koronal. (Diambil dari
kepustakaan No.7)
III.
SISTEM TRANSPOR
MUKOSILIAR
Transpor
mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk membersihkan
dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing seperti debu, bakteri, virus
alergen, toksin dan lain-lain yang terperangkap pada palut lendir kearah
nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan lokal pada mukosa hidung. Transpor
mukosiliar disebut juga clearance mukosiliar.9,10
Transpor
mukosiliar terdiri dari dua sistem yang merupakan gabungan dari gerakan silia
dan palut lendir yang bekerja secara simultan. Sistem ini tergantung dari
gerakan aktif silia yang mendorong gumpalan mukus. Lapisan mukosa mengandung
enzim lisozim (muramidase) dimana enzim ini dapat merusak beberapa bakteri.
Enzim tersebut sangat mirip dengan imunoglobulin A (IgA) dengan ditambah
beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (IgG)
dan interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut
infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus
gumpulan mukus kemudian menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing
yang terperangkap didalamnya ke arah faring. Cairan perisilia dibawahnya akan
dialirkan ke arah posterior oleh aktivitas silia. Transpor mukosiliar yang
bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini
tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lendir
akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit.9
Ujung silia
tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian
menggerakannya kearah posterior bersama materi asing yang terperangkap
didalamnya kearah faring. Cairan perisilia dibawahnya akan dialirkan kearah
posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara
pasti. Transpor mukosiliar yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk
kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang
terperangkap oleh palut lendir akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit. Karena
pergerakan silia lebih aktif pada meatus media dan inferior maka gerakan mukus
dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus
dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada
sinus seperti spiral dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan
gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium dan pada daerah
ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15-20 mm/menit. Kecepatan
gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di berbagai bagian hidung. Perbandingan
durasi gerak silia kira-kira 3:1, sehingga gerakannya seolah-olah menyerupai
ayunan tangan seorang perenang. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan
silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior sekitar 1-20mm/menit.9.10
Pada dinding lateral rongga hidung
sekret sinus maksila akan bergabung dengan sekret yang berasal dari sinus
frontal dan ethmoid anterior di dekat infundibulum ethmoid, kemudian melalui
anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan kearah nasofaring.
Sekret yang berasal dari sinus ethmoid posterior dan sphenoid akan bergabung di
resesus sfenoethmoid kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius
menuju nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan
menelan.9
IV.
DEFINISI BSEF
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF)
atau Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) adalah teknik operasi
pada sinus paranasal dengan menggunakan endoskop yang bertujuan
memulihkan “mucociliary clearance” dalam sinus. Prinsipnya adalah
membuang jaringan yang menghambat komplek osteomeatal dan memfasilitasi
drainase dengan tetap mempertahankan struktur anatomi normal.1,2
Gambar 2.
Prinsip bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) : membuang jaringan yang
menghambat KOM. (Diambil dari kepustakaan No.7)
BSEF merupakan operasi yang membutuhkan
visualisasi yang baik dimana darah tidak menggenangi lapangan operasi dan darah
tidak menutupi lensa endoskop mengingat sempitnya wilayah operasi. Perdarahan yang
sedikit saat operasi merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan
operasi serta menghindari komplikasi yang membahayakan.2
Dengan alat endoskop maka mukosa yang
sakit dan polip-polip yang menyumbat diangkat sedangkan mukosa sehat
tetap dipertahankan agar transportasi mukosilier tetap berfungsi dengan
baik sehingga terjadi peningkatan drenase dan ventilasi melalui ostiumostium
sinus. Teknik bedah BSEF sampai saat ini dianggap sebagai terapi terkini
untuk sinusitis kroniks dan bervariasi dari yang ringan yaitu hanya
membuka drainase dan ventilasi kearah sinus maksilaris (BSEF mini)
sampai kepada pembedahan lebih luas membuka seluruh sinus
(fronto-sfeno-etmoidektomi).1
V.
INDIKASI
Indikasi umumnya adalah untuk
rinosinusitis kronik atau rinosinusitis akut berulang dan polip hidung
yang tidak respon dengan terapi
medikamentosa yang optimal. Indikasi lain BSEF termasuk didalamnya
adalah rinosinusitis dengan komplikasi dan perluasannya, mukokel,
sinusitis alergi yang berkomplikasi atau sinusitis jamur yang invasif dan
neoplasia.1,4,7
Bedah sinus endoskopi sudah meluas
indikasinya antara lain untuk mengangkat tumor hidung dan sinus paranasal,
menambal kebocoran liquor serebrospinal, tumor hipofisa, tumor dasar otak sebelah anterior,
media bahkan posterior, dakriosistorinostomi, dekompresi orbita, dekompresi
nervus optikus, kelainan kongenital (atresia koana) dan penanganan epistaksis
termasuk ligasi arteri sfenoplatina, dan sebagainya.1,4,7
VI.
KONTRAINDIKASI1,4
1. Osteitis
atau osteomielitis tulang frontal yang disertai pembentukan sekuester.
2. Pasca
operasi radikal dengan rongga sinus yang mengecil (hipoplasi).
3. Penderita
yang disertai hipertensi maligna, diabetes mellitus, kelainan hemostasis yang
tidak terkontrol oleh dokter spesialis yang sesuai.
VII.
PERSIAPAN PRA-OPERASI
Persiapan Kondisi Pasien. Pra-operasi
kondisi pasien perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Jika ada inflamasi
atau udem, harus dihilangkan dahulu, demikian pula jika ada polip, sebaiknya
diterapi dengan steroid dahulu (polipektomi medikamentosa). Kondisi pasien yang
hipertensi, memakai obat-obat antikoagulansia juga harus diperhatikan, demikian
pula yang menderita asma dan lainnya.1
Naso-endoskopi prabedah untuk menilai
anatomi dinding lateral hidung dan variasinya. Pada
pemeriksaan ini operator dapat menilai kelainan rongga hidung, anatomi dan
variasi dinding lateral misalnya meatus medius sempit karena deviasi septum,
konka media bulosa, polip meatus medius, konka media paradoksikal dan lainnya.
Sehingga operator bisa memprediksi dan mengantisipasi kesulitan dan kemungkinan
timbulnya komplikasi saat operasi.1
CT Scan. Gambar
CT scan sinus paranasal diperlukan untuk mengidentifikasi penyakit dan
perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi anatomi organ sinus paranasal
dan hubungannya dengan dasar otak dan orbita serta mempelajari daerah – daerah rawan
tembus ke dalam orbita dan intra kranial. Konka-konka, meatus-meatus terutama
meatus media beserta kompleks ostiomeatal dan variasi anatomi seperti kedalaman
fossa olfaktorius, adanya sel Onodi, sel Haller dan lainnya perlu diketahui dan
diidentifikasi, demikian pula lokasi a.etmoid anterior, n.optikus dan a.karotis
interna penting diketahui.1
Gambar CT scan penting sebagai pemetaan
yang akurat untuk panduan operator saat melakukan operasi. Berdasarkan gambar
CT tersebut, operator dapat mengetahui daerah-daerah rawan tembus dan dapat
menghindari daerah tersebut atau bekerja hati-hati sehingga tidak terjadi
komplikasi operasi. Untuk menilai tingkat keparahan inflamasi dapat menggunakan
beberapa sistem gradasi antaranya adalah staging Lund-Mackay. Sistem ini
sangat sederhana untuk digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka
hasil gambaran CT scan.1
Tabel
1. Lund-MacKay Radiologic Staging System1
Lokasi
|
Gradasi* Radiologik
|
*Gradasi
radiologik dari 0-2 :
Gradasi
0 = Tidak ada Kelainan
Gradasi
1 = Opasifikasi parsial
Gradasi
2 = Opasifikasi Kompliet
|
Sinus
Maksila
|
|
|
Etmoid
Anterior
|
|
|
Etmoid
Posterior
|
|
|
Sfenoid
|
|
|
Frontal
|
|
|
Kompl.Ostiomeatal
|
Gradasi
0 dan 2 saja
|
VIII. INTRUMENT
PEMBEDAHAN, PERSIAPAN DAN POSISI PASIEN
Diperlukan peralatan endoskopi berupa teleskop dan
instrumen operasi yang sesuai. Instrumen yang minim digunakan untuk diseksi
secara manual. Peralatan endoskopi yang digunakan adalah sebagai berikut :1,11
1.
Teleskop 4
mm 00
|
7. Teleskop 4 mm 700 (tambahan untuk
melihat lebih luas ke arah frontal dan maksila)
|
2.
Teleskop 4
mm 300
|
8. Teleskop 2,7 mm 300 (tambahan untuk
pasien anak)
|
3.
Light source (sumber cahaya)
|
|
4.
Cable light
|
|
5.
Sistem
kamera + CCTV
|
|
6.
Monitor
|
|
Tabel 2.
Peralatan Endoskopi
Sementara
itu instrumen operasi pada operasi BSEF adalah sebagai berikut:1,11
1.
Jarum panjang (FESS/Septum Needle, angular 0,8 mm, luer-lock)
2.
Pisau sabit (Sickle Knife 19 cm)
3.
Respatorium (Masing elevator, dbl-end, graduated, sharp/blunt 21,5 cm)
4.
Suction lurus
5.
Suction bengkok
6.
Cunam Blakesley lurus (Blakesley nasal forceps)
7.
Cunam Blakesley upturned
(Blakesley-wilde nasal forceps)
8.
Cunam cutting-through lurus
(Blakesley nasal forceps cutting straight)
9.
Cunam cutting-through upturned
(Blakesley nasal forceps cutting upturned)
10. Cunam Backbiting
(“Backbiter” antrum punch)
11. Ostium Seeker
12. Trokar sinus maksila
13. J Curette (antrum curette oval)
14. Kuhn Curette ( Sinus Frontal Currete Oblong)
15. Cunam Jerapah (Girrafe fcps dbl.act.jaws 3 mm)
16. Cunam Jamur (Stammberger Punch)
Gambar 3. Instrument minim yang
disiapkan untuk ESS. A = Teleskop 30 derajat. B = Teleskop 70 Derajat
(pilihan). C = Forceps backbiting 360 derajat. F= 3,5mm Forseps lurus. G = 4mm
panjang suction curved. H = Suction lurus yang dikaleberasikan (Frazier). I =
Elevator periosteal cottel. J = pembuka ostium atau probe bola, yang mana
memiliki 1 sudut pada akhir dan curved disisi lainnya. (Diambil dari kepustkaan
No.11)
Untuk
prosedur yang selanjutnya digunakan teleskop 70 derajat untuk visualisasi
lateral atau superior dari frontal resesus, maksila, atau sinus sphenoid.
Berbagai ukuran kuret digunakan untuk mengangkat tulang yang padat, khususnya
disekitar ostium frontal atau rostrum sphenoid.11
Gambar 4. Instrument tambahan
untuk tulang dan pengangkatan jaringan di sekitar ostium frontal atau area
rostrum sphenoid. Instrument ini bisa digunakan ketika frontal akan diperluas
atau sinusotomi sphenoid. A = forceps giraffe. B = Forceps kuret. C = frontal
rasp. D = Kuret tulang cervical. (Diambil dari kepustkaan No.11)
Gambar 5. Instrument 45 derajat didesign untuk 30 derajat endoskop dan
instrument 90 derajat didesign untuk 70 derajat endoskop.(Diambil dari
kepustakaan No.12)
Ahli bedah
harus duduk atau berdiri dengan nyaman di sisi pasien. Ahli bedah dengan tangan
kanan harus berdiri pada sisi kanan pasien dan ahli bedah dengan tangan kiri
berdiri pada sisi kiri pasien. Jika ahli bedah memilih untuk dudu, kemudian Mayo stand (dilengkapi dengan bantal),
hal ini digunakan untuk mengistirahatkan lengan yang memegang teleskop pada
kenyamanan di kepala pasien. Layar video dan gambaran intraoperasi lainnya
diposisikan di atas meja yang sejajarkan dengan kepala dan wajah ahli bedah.11
Gambar 6. Posisi berdiri. (Diambil dari kepustakaan No.11)
Gambar 7. Posisi duduk, dengan mengistirahatkan elbow dalam Mayo stand.
(Diambil dari kepustakaan No.11)
Gambar 8. Teleskop digenggam dengan nyaman dan instrument teleskop
diperlihatkan bagian inferior pada hampir semua prosedur.(Diambil dari
kepustakaan No.11)
IX.
TAHAPAN OPERASI
Jika dibandingkan dengan bedah sinus
terdahulu yang secara radikal mengangkat jaringan patologik dan jaringan normal,
maka BSEF jauh lebih konservatif dan morbiditasnya dengan sendirinya menjadi lebih
rendah. Teknik operasi BSEF adalah secara bertahap, mulai dari yang paling
ringan yaitu infundibulektomi, BSEF mini sampai frontosfenoidektomi total.
Tahap operasi disesuaikan dengan luas penyakit, sehingga tiap individu berbeda
jenis atau tahap
operasi.
Karenanya tidak ada tindakan rutin seperti bedah sinus terdahulu. Berikut ini dijelaskan
tahapan-tahapan operasi.1
Selama bedah endoskopik sinus, foto
intraoperatif harus diambil sebelum pembedahan dimulai. Foto endoskopik sebagai
rekaman patologi yang dilihat secara signifikan. Foto juga sebagai sesuatu yang
dimasukkan pada kesimpulan dari prosedur yang dilakukan. Teknologi dengan
sistem InstaTark mengambarkan lokasisasi triplanar, intraoperatif menunjukka lapangan
operasi endoskopi, baik sebagai axial, coronal, dan sagittal pada gambaran CT
Scan.6
VI.1.
Infundibulektomi dan pembesaran ostium sinus maksila1
Pertama-tama perhatikan akses ke meatus
medius, jika sempit akibat deviasi septum, konka bulosa atau polip, koreksi atau
angkat polip terlebih dahulu. Tidak setiap deviasi septum harus dikoreksi,
kecuali diduga sebagai penyebab penyakit atau dianggap akan mengganggu prosedur
endoskopik. Sekali-kali jangan melakukan koreksi septum hanya agar instrumen
besar bisa masuk.
Tahap awal operasi adalah membuka rongga
infundibulum yang sempit dengan cara mengangkat prosesus uncinatus sehingga
akses ke ostium sinus maksila terbuka. Selanjutnya ostium dinilai, apakah perlu
diperlebar atau dibersihkan dari jaringan patologik. Dengan membuka ostium
sinus maksila dan infundibulum maka drenase dan ventilasi sinus maksila pulih
kembali dan penyakit di sinus maksila akan sembuh tanpa melakukan manipulasi di
dalamnya. Jika kelainan hanya di sinus maksila, tahap awal operasi ini sudah
cukup. Tahap operasi semacam ini disebut sebagai Mini FESS atau BSEF
Mini.
VI.2.
Eksenterasi sinus maksila1,3
Pengangkatan kelainan ekstensif di sinus
maksila seperti polip difus atau kista besar dan jamur masif, dapat menggunakan
cunam bengkok yang dimasukkan melalui ostium sinus maksila yang telah
diperlebar. Dapat pula dipertimbangkan memasukkan cunam melalui meatus inferior
jika cara diatas gagal. Jika tindakan ini sulit, lakukanlah bedah Caldwell-Luc,
tetapi prinsip BSEF yang hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan
jaringan normal agar tetap berfungsi dan melebarkan ostium asli di meatus medius
dianjurkan untuk dilakukan disini.
Operasi Caldwell-luc yang dilakukan pada
sinusitis kronik untuk memperbaiki drainase sinus maksila, salah satu cavum
terletak di bawah mata. Untuk memasuki sinus maksila melalui rahang atas pada
gigi molar kedua. “Jendela” ini dibuat untuk menghubungkan sinus maksila dengan
hidung, kemudian memperbaiki drainase.
VI.3.
Etmoidektomi retrograde1
Jika ada sinusitis etmoid, operasi
dilanjutkan dengan etmoidektomi, sel-sel sinus dibersihkan termasuk daerah
resesus frontal jika ada sumbatan di daerah ini dan jika disertai sinusitis
frontal. Caranya adalah retrograde sebagai berikut. Setelah tahap awal tadi
(BSEF Mini), sebaiknya mempergunakan teleskop 00, dinding anterior
bula etmoid ditembus dan diangkat sampai tampak dinding belakangnya yaitu
lamina basalis yang membatasi sel-sel etmoid anterior dan posterior. Jika ada
sinus lateralis, maka lamina basalis akan berada dibalakang sinus lateralis
ini. Lamina basalis berada tepat di depan endoskop 00 dan tampak
tipis keabu-abuan, lamina ditembus di bagian infero-medialnya untuk membuka
sinus etmoid posterior. Selanjutnya sel-sel etmoid posterior (umumnya selnya
besar-besar) di observasi dan jika ada kelainan, sel-sel dibersihkan dan atap
sinus etmoid posterior yang merupakan dasar otak diidentifikasi. Identifikasi
dasar otak di sinus etmoid posterior sangat penting mencegah penetrasi dasar
otak pada pengangkatan sel etmoid selanjutnya.
Dengan jejas dasar otak sebagai batas
atas diseksi, maka diseksi dilanjutkan ke depan secara retrograde membersihkan
partisi sel-sel etmoid anterior sambil memperhatikan batas superior diseksi
adalah tulang keras dasar otak (fossa kranii anterior), batas lateral adalah
lamina papirasea dan batas medial konka media. Disini mempergunakan teleskop 00
atau 300. Cara membersihkan sel etmoid anterior secara retrograde
ini lebih aman dibandingkan cara lama yaitu dari anterior ke posterior dengan kemungkinan
penetrasi intrakranial lebih besar. Keuntungan melakukan diseksi etmoid
posterior terlebih dahulu adalah karena dasar otak yang merupakan atap sinus
etmoid posterior lebih mudah ditemukan dan diidentifikasi sebagai tulang keras
yang letaknya agak horisontal sehingga kemungkinan penetrasi lebih kecil dari
pada di etmoid anterior dimana dasar otaknya lebih vertikal.
Arteri etmoid anterior.
Identifikasi arteri sangat penting. Ia berada di atas
perlekatan
bula etmoid pada dasar otak. Setelah diseksi, arteri akan tampak dalam kanal tulang
di batas belakang atap resesus frontal. Hindari trauma pada arteri ini.
Sel Onodi.
Sel Onodi tampak pada gambar CT dan menurut Sethi akan ditemukan 1: 2-3 pada
spesimen Asia. Bahaya keberadaan sel Onodi adalah kemungkinan melekatnya
n.optikus dan a.Karotis Interna pada dinding lateralnya. Saat diseksi di sinus etmoid
posterior, harus ingat adanya sel Onodi. Jika ada sel etmoid posterior yang
sangat berpneumatisasi, berbentuk piramid dengan dasarnya menghadap ke
endoskop, ini adalah sel Onodi. Perhatikan apakah ada penonjolan n.optikus dan
/ atau a.karotis di sisi lateralnya. Hindari trauma pada organ penting ini,
terutama trauma pada a.karotis interna dapat berakibat fatal bagi pasien.
VI.4.
Sinus frontal1
Untuk memperbaiki drenase sinus frontal
dan membuka ostium sinus frontal, resesus frontal harus dibersihkan terlebih
dahulu. Diseksi disini menggunakan cunam Blakesley upturned dipandu
endoskop 300. Setelah partisi sel-sel resesus frontal dibersihkan,
ostium biasanya langsung tampak. Lokasi ostium dapat di identifikasi berdasar
tempat perlekatan superior dari prosesus unsinatus. Jika perlekatan tersebut
pada orbita, maka drenase dan lokasi ostium ada di sebelah medial perlekatan
unsinatus. Jika unsinatus melekat pada dasar otak atau konka media, maka
drenase dan ostium ada disebelah lateral perlekatan. Panduan ini terutama
diperlukan jika ostium tersembunyi oleh polip, sel-sel frontal dan variasi
anatomi. Hati-hati saat diseksi di sisi medial,terutama jika pada gambar CT
scan ditemukan lamina lateralis kribriformis yang panjang (Keros tipe III),
hindarkan ujung cunam menghadap daerah ini.
Gambar 9.
Anatomi Resesus Frontal. (Diambil dari kepustkaan No.11)
Beberapa penyebab ostium sinus frontal
tersembunyi adalah jaringan udem, polip/popipoid, sisa prosesus uncinatus di
bagian superior, variasi anatomi seperti sel-sel agger nasi yang meluas ke
posterior, bula etmoid meluas ke anterior, sel supra-orbital sangat cekung
menyerupai kedalaman sinus frontal dan lainnya. Semua ini dibersihkan dengan
cunam Blekesley upturned, cunam-cunam jerapah atau kuret J dipandu
endoskop 30 dan atau 70, dengan memperhatikan luasnya sinus frontal pada gambar
CT, serta mengingat lokasi drenase sinus frontal, kekeliruan membuka ostium
sinus frontal dapat dihindari. Adanya gelembung udara atau turunnya sekret
menunjukkan lokasi ostium yang sebenarnya.
Kista atau polip di sinus frontal dapat
dibersihkan dengan menarik ujung polip yang dapat dicapai dengan cunam jerapah,
biasanya seluruh polip ikut tertarik keluar. Cunam jerapah ini khusus dibuat
untuk bekerja di atap resesus frontal. Polip yang berada di ujung lateral sinus
frontal merupakan kontraindikasi tindakan BSEF karena tidak dapat dicapai
dengan teknik ini, dalam hal ini harus dilakukan pendekatan ekstranasal.
Jaringan parut masif yang menutup ostium juga merupakan kontraindikasi BSEF.
Pada keadaan ini operasi trepanasi sinus frontal yang dikombinasi endoskopi
merupakan pilihan. Setelah resesus frontal dan infudibulum dibersihkan, maka
jalan ke sinus frontal dan maksila sudah terbuka, drenase dan ventilasi akan
pulih dan kelainan patologik di kedua sinus tersebut akan sembuh sendiri dalam
beberapa minggu tanpa dilakukan suatu tindakan didalamnya.
Ada beberapa teknik yang bisa dilakukan
mencegah trauma a.etmoid anterior dan dasar otak antaranya Intact Bulla
Technique dan Axillary Flap.
VI.5.
Sfenoidektomi
Biasa yang dilakukan bukan sfenoidektomi
tetapi sfenoidotomi, yaitu hanya membuka sinus sfenoid. Ini bukan prosedur
rutin BSEF. Di dalam sinus ada kanal n.optikus dan a.karotis, sehingga
manipulasi daerah ini dapat berakibat kebutaan,kebocoran likuor atau perdarahan
hebat dengan kemungkinan fatal. Sfenoidektomi memerlukan perencanaan yang
matang. Manipulasi di sinus sfenoid harus dilakukan secara hati-hati. Karena
n.optikus dan a.karotis berada di daerah laterosuperior, maka sebaiknya diseksi
di bagian medial dan inferior saja. Jika ingin mengangkat septum intersfenoid,
harus yakin bahwa ujung septum tidak bertaut pada a.karotis interna atau
n.optikus.1
Prinsip ini penting dalam menunjang
hasil terapi. Kennedy mengemukakan bahwa dengan mempertahankan mukosa sedapat
mungkin, penyembuhan terjadi lebih cepat dan lebih baik.1
Gambar
10. Preoperatif dan postoperatif setelah sphenoethmoidektomi. (Diambil dari
kepustkaan No.13)
X.
PERAWATAN PASCA OPERASI
Secara teoritis, walaupun belum
terbukti, pembersihan pasca operasi dilakukan untuk membersihkan sisa
perdarahan, sekret, endapan fibrin, krusta, dan devitalisasi tulang yang bila
tidak dilakukan dapat menimbulkan infeksi, jaringan fibrotik, sinekia, dan
osteitis. Perawatan operasi sebaiknya dilaksanakan oleh operator karena
operator yang mengetahui lokasi dan luas jaringan yang diangkat. Manipulasi
agresif dihindari untuk mencegah terjadinya penyakit iatrogenik.1
Kunjungan pertama postoperatif biasanya
dilakukan pada hari ke-5 atau ke-6 setelah pembedahan. Pada kunjungan tersebut,
hidung disemprotkan dengan solusio boyette’s untuk dekongestan dan anestesi.
(Solusio boyette’s berisi 4% lidokain, phenylephrine, dan sodium klorida,
dengan menambahkan aquades sehingga menjadi 200 ml). Cavum nasi diperiksa
dengan menggunakan Endoskop 00 panjang 4 mm, beberapa penghisap bentuk
angulasi dan bengkok.6
Beberapa penulis menyebutkan prosedur
pembersihan pasca operasi dilakukan seawal mungkin setelah operasi selesai
yaitu pada hari ke-1 dan selanjutnya setiap 2 sampai 4 hari secara teratur.1
Pasien dibekali dengan resep dokter untuk
menghilangkan nyeri, biasananya acetominofen dengan codein (Tylenol dengan
codein) atau oksikodon HCl (Oksikontin). Antibiotik diberikan jika hanya ada
infeksi yang ditemukan selama pembedahan. Antibiotik ini dimodifikasi setelah beberapa hari postoperasi tergantung
dari hasil kultur pada saat intraoperasi. Methylprednisolon diberikan pada
pasien yang memiliki polip atau asma yang tidak terkontrol atau diberikan
sebagai steroid preoperasi.6
Perlengkapan
postoperatif untuk pasien diantaranya botol spray yang berisi salin nasal.
Pasien mulai menyemprotkan pada hari berikutnya dan digunakan 4 hingga 5 kali
dalam sehari. Aplikator kapas dimasukkan dalam hidrogen peroksida untuk
mengangkat darah yang mengiring dalam hidung. Pasien juga diberitahukan untuk
tidak membersihkan hidung hingga kunjungan pertama postoperatif karena hal ini
mungkin merangsang perdarahan.6
Selama
minggu pertama, mengurangi aktivitas. Setelah itu pasien kembali melaksanakan
aktivitas, termasuk aerobik dan berenang.6
XI.
KOMPLIKASI1,7
Semenjak diperkenalkan teknik BSEF
sangat populer dan diadopsi dengan cepat oleh para ahli bedah THT di seluruh
dunia. Seiring dengan kemajuannya, muncul berbagai komplikasi akibat operasi
bahkan komplikasi yang berbahaya.
1. Komplikasi
Intranasal
Sinekia.
Masalah yang sering timbul berkaitan dengan bedah sinus endoskopik adalah
terjadinya sinekia yang disebabkan melekatnya dua permukaan luka yang saling berdekatan,
umumnya permukaan konka media dan dinding lateral hidung. Disfungsi penciuman
dapat terjadi bila celah olfaktori obstruksi akibat sinekia konka media dengan
septum. Untuk mencegah ketidak stabilan konka media, maka perlekatan superior
dan inferior dari konka media harus dipertahankan.
Stenosis ostium sinus maksila. Stenosis
ostium sinus maksila pasca pembedahan terjadi sekitar 2 %. Pembukaan ostium
sebesar diameter 3 mm diperkirakan sudah dapat menghasilkan drainase
fisiologik. Metode terbaik memperlebar ostium adalah dengan membuka ke salah
satu atau beberapa dari arah ini yaitu ke anterior, posterior, dan inferior.
Bila stenosis terjadi bersamaan dengan timbulnya gejala maka revisi bedah
mungkin diperlukan.
Kerusakan duktus nasolakriamalis. Komplikasi
ini sangat jarang karena duksus nasolakrimalis berada di sepanjang kanal keras
sakus lakrimalis dan bermuara di meatus inferior. Duktus ini dapat terluka saat
pelebaran ostium maksila ke arah anterior. Rekomendasi untuk mencegah hal ini
adalah melakukan pelebaran ostium sinus maksila terutama dari arah posterior
dan / inferior.
2. Komplikasi
Periorbital/Orbital
Edema kelopak
mata/ekimosis/emfisema. Edema kelopak mata,
ekimosis, dan atau emfisema kelopak mata secara tidak langsung terjadi akibat
trauma pada lamina papirasea. Proyeksi medial lamina papirasea pada rongga
hidung dan struktur tulangnya yang lembut menyebabkan lamina papirasea mudah
trauma selama prosedur bedah dilakukan. Pada umumnya akan sembuh sendiri dalam
5 hari tanpa diperlukan pengobatam khusus.
Perdarahan retrobulbar. Perdarahan
retrobulbar merupakan komplikasi yang berbahaya. Tandanya adalah proptosis
mendadak, bola mata keras disertai edema kelopak mata, perdarahan
subkonjungtiva, nyeri, oftalmoplegi, dan proptosis. Seiring dengan meningkatnya
tekanan intraokuler, iskemi retina terjadi dan menyebabkan kehilangan penglihatan,
midriasis dan defek pupil. Karenanya saat prosedur pembedahan, mata pasien agar
selalu tampak dalam pandangan operator.
Kerusakan nervus optikus.
Meskipun sangat jarang, komplikasi ini pernah dilaporkan. Visualisasi yang
kurang adekuat selama pembedahan, yang dapat pula disebabkan oleh adanya
perdarahan, serta buruknya pemahaman mengenai anatomi bedah merupakan penyebab
terjadinya trauma pada n.optikus yang dapat menyebabkan gangguan penglihatan.
Gangguan pergerakan otot mata.
Pembedahan pada dinding medial dapat menyebabkan trauma atau putusnya otot
rektus medialis atau otot oblikus superior mata serta kerusakan pada saraf yang
menginervasinya.
3. Komplikasi
Intrakranial
Komplikasi intrakranial merupakan
komplikasi yang sering terjadi pada pemula. Cara diseksi etmoidektomi
retrograde dan membaca daerah rawan tembus di CT scan preoperasi (tipe Keros)
akan menghindarkan komplikasi ini. Kebocoran cairan serebrospinal selama
prosedur bedah merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Jika terjadi saat
operasi harus segera dilakukan penambalan menggunakan jaringan sekitarnya
misalnya konka media dan septum. Jika terjadi pasca operasi dapat diobservasi
karena 90% diharapkan dapat menutup sendiri.
4. Komplikasi
Sistemik
Walaupun jarang, infeksi dan sepsis
mungkin terjadi pada setiap prosedur bedah. Masalah yang dapat terjadi
berkaitan dengan komplikasi sistemik pada bedah sinus adalah pemakaian tampon
hidung yang dapat menyebabkan toxic shock syndrome (TSS). Kondisi ini
ditandai dengan adanya demam dengan suhu lebih tinggi dari 39,50 C, deskuamasi
dan hipotensi ortostatik.
XII.
PENYULIT SELAMA
PROSEDUR BEDAH BERLANGSUNG DAN PENANGANANNYA
Penyulit infundibulotomi.
Penyulit yang dapat terjadi di tahap awal ini adalah
kesulitan insisi infundibulotom jika letak unsinatus terlalu dislokasi ke lateral
atau ada konka media yang paradoksikal. Insisi sulit dan ujung pisau dapat
melukai orbita ini. Hal ini diatasi dengan meluksasi unsinatus ke medial
menggunakan ujung bengkok ostium seeker, kemudian potong dengan backbiting.
Cara ini terbukti menurunkan komplikasi ke orbita.1
Penyulit pelebaran ostium.
Penyulit juga dapat terjadi jika pasca infundibulotomi,
ostium tidak langsung tampak. Seringkali akibat infundibulotomi yang tidak
sempurna, sehingga masih ada sisa unsinatus yang menutupi ostium. Keadaan ini diatasi
dengan mengangkat sisa unsinatus dengan backbiting. Jika ostium tetap
tidak dapat ditemukan meskipun tidak ada lagi sisa unsinatus, lakukan palpasi
dengan kuret J di sepanjang pertautan tulang konka inferior. Palpasi jangan
terlalu ke atas karena dapat menembus orbita. Adanya gelembung udara
menunjukkan lokasi ostium yang dicari.1
Penyulit etmoidektomi.
Penyulit pada tahap ini adalah saat identifikasi dan
menembus
lamina basalis. Identifikasi sering sulit karena perubahan patologik atau variasi
anatomi, misalnya adanya sinus lateralis diantara dinding belakang bula dan lamina
basalis atau adanya sel etmoid anterior yang meluas ke belakang dan menekan dinding
lamina basalis menjadi berbenjol-benjol. Seringkali atap etmoid diduga sebagai lamina
basalis. Lamina basalis bagian superior dan anterior berdekatan dengan dasar
otak, tetapi karena dinding lamina berjalan ke arah posterior dan inferior,
maka makin ke belakang makin jauh jaraknya terhadap dasar otak. Karenanya
menembus lamina basalis di sebelah medial bawah merupakan tempat paling aman.1
Mencegah penetrasi intrakranial.
Penyulit utama saat diseksi retrograde adalah mencegah penetrasi intrakranial.
Ketebalan tulang dasar otak tidak sama, bagian anteromedial paling tipis, hanya
1/10 bagian lateral sehingga paling rawan tembus. Karenanya dianjurkan untuk
bekerja di sebelah lateral agar lebih aman. Daerah rawan lainnya adalah pertautan
atap etmoid (fovea etmoidales) dengan lamina kribosa yang disebut lamina lateralis
kribosa yang merupakan tulang tipis yang panjangnya bervariasi antara 3-16 mm.
Berdasarkan bentuk dan panjang lamina lateralis ini, Kerose membaginya dalam 4 tipe.
Daerah pertautan konka media pada dasar otak dan aspek antero-lateral dinding
sel-sel etmoid juga merupakan daerah rawan tembus.1
Mencegah penetrasi orbita.
Penyulit lainnya adalah mencegah penetrasi ke orbita. Ini dapat terjadi saat
membersihkan partisi sel etmoid yang melekat ke orbita karena mungkin ada dehiscence
sehingga mudah tertembus cunam. Saat bekerja disini, arahkan cunam ke
vertikal. Kadang-kadang di lamina papirasea ada penonjolan orbita atau trochlea
yang sering diduga sebagai sel etmoid. Jika diangkat maka terjadi penetrasi dan
lemak orbita akan keluar. Tidak perlu berusaha memasukkan kembali karena akan menambah
trauma orbita. Lemak ini akan masuk kembali tertekan oleh tampon hidung yang
dipasang pascaoperasi. Yang penting adalah mengetahui bahwa jaringan yang diangkat
adalah lemak orbita. Lemak orbita berwarna kekuningan berbentuk gelembung bulat-bulat
kecil dan melayang di dalam air. Sedangkan jaringan polip atau jaringan rongga
hidung lain akan tenggelam. Emfisema subkutis merupakan komplikasi penetrasi
orbita. Untuk menghindari, jangan menggunakan insuflasi masker oksigen saat
selesai anestesi dan pasien dilarang menyringsing ingus selama 1-2 minggu
pascaoperasi.1
Perdarahan saat operasi.
Perdarahan saat operasi adalah karena perdarahan mukosa.
Perdarahan ini ringan namun dapat mengganggu kelancaran bahkan menggagalkan
operasi bila operator tidak dapat melihat dengan jelas.
Jika ada perdarahan maka perlu kesabaran
untuk berulang kali mengeringkan lapangan operasi dan membersihkan endoskop
yang menjadi buram terkena darah.
Perdarahan yang cukup merepotkan biasanya terjadi pada daerah yang udem
atau radang, polip luas atau pasien dengan tekanan darah tinggi. Perdarahan
juga dapat terjadi pada pasien koagulopati, pasien dengan penggunaan jangka
lama obatobat yang memanjangkan masa perdarahan seperti salisilat atau
obat-obat antiinflamasi non steroid, persantin, dan lain-lain. Obat dihentikan
sekurang-kurangnya 1 minggu sebelum operasi.1
Jika perdarahan berlanjut dan sulit
diatasi, hentikan penggunaan endoskop dan lakukanlah operasi secara
konvensional.1
XIII. ANESTESI
DAN ANALGESI
Teknik BSEF dapat dilakukan dalam
anestesi lokal atau umum. Umumnya
anastesi
lokal dilakukan jika prosedur ringan seperti BSEF mini atau lainnya. Pada
anastesi lokal, manipulasi daerah lamina papirasea dan dasar otak akan menghasilkan
rasa nyeri dan ini merupakan tanda untuk mencegah penetrasi, tetapi menurut
kepustakaan, tidak terbukti anestesi lokal lebih aman dibanding anestesi umum dengan
teknik hipotensi kendali pada operasi endoskopik.1
Diperlukan teknik anestesi lokal yang
mampu memberikan vasokonstriksi yang baik. Maksimal dosis lidokain (tanpa
injeksi intravaskuler) antara 2-4 mg/kg. Maksimal dosis dengan efinefrin
idealnya 7 mg/kg. Anestesi topikal adalah dengan larutan
lidokain/pantokain/xylokain 2% dicampur epinefrin 1:100.000 dalam konsentrasi
4:1. Kapas kecil bertali dibasahi larutan ini, diperas kuat-kuat, dimasukkan ke
meatus medius dan agger nasi dengan panduan endoskop dan dibiarkan selama 10
menit. Tujuannya untuk mengurangi edema dan meningkatkan lapang pandang operasi
saat evaluasi dan operasi. Dapat pula memakai analgesi-vasokonstriktor kuat
seperti Co-phenylcaine Forte spray. Anestesi infiltrasi adalah dengan lidokain
2% dan epinefrin 1:80.000-100.000, disuntikkan dengan jarum panjang di atas
perlekatan konka media, prosesus unsinatus dan foramen sfenopalatina.1,12
Saat ini anastesi umum dengan teknik
hipotensi terkendali merupakan teknik anastesi yang paling populer baik di negara
Barat maupun di Indonesia. Teknik kendali hipotensi akan mengurangi perdarahan
sehingga lapang pandang operasi lebih jelas dan kemungkinan komplikasi
terhindar, disamping pasien lebih nyaman demikian pula operator dapat bekerja
lebih baik dan tenang.1
Berbagai teknik telah dikembangkan untuk
mengupayakan teknik hipotensi terkendali yaitu mencapai tekanan arteri
rata-rata atau Mean Atrial Pressure
(MAP) dengan pengaturan posisi dan intervensi farmakologis. Teknik hipotensi
diindikasikan pada operasi yang beresiko perdarahan yang banyak di daerah
telinga, hidung, tenggorok, operasi kepala, leher, bedah syaraf, operasi mata,
operasi pelvis dan ortopedi. Namun demikian hipotensi kendali ini memiliki
risiko pada beberapa pasien misalnya pasien geriatri. Disamping itu penggunaan
halotan bersama vasokonstriktor dapat menimbulkan risiko iritabilitas jantung.1,2
DAFTAR
PUSTAKA
1. PERHATI.
Functional Endscopic Sinus Surgery di
Indonesia. 2006. HTA Indonesia, Departemen Kesehatan, Jakarta P. 1-52
2.
Budiman Bestari J.,
Yurni. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
Dengan Teknik Hipotensi Terkendali Pada Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronis.
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL, FK UNAND/RS.M.Djamil Padang.
3.
American Academy of
Otolaryngology. Head and Neck Surgery :
Fact Sheet : Sinus Surgery. 2012. [Cited 01 Nophember 2012]
4.
Patel Ankit, Meyers
Arlen. Functional Endoscopic Sinus Surgery.
2011. [Cited 01 Nophember 2012]. Available : http://emedicine.medscape.com/article/863420-overview
5.
Rowe-Jnes Julian M.,
Medcalf Mark, Durham Stephen R., Richards David H., Mackay Ian S. Functional Endoscopic Sinus Surgery: 5 Year
Follow up and results of a prospective, randomised, stratified, double-blind,
placebo controlled study of postoperative fluticasone propionate aqueous nasal
spray. Rhinology, 43, 2-10.
6.
Stankiewicz James A.,
Na Hanjo, Chow James M. Revision
Endoscopic Sinus Surgery. In : Sinus Surgery Endoscopic and Microscopic
Approaches. Thieme Medical Publishers, Inc. 2005,New York. P. 260-323.
7.
Rossy Rosalinda,
Budiman Bestari J. Bedah Sinus Endoskopi
Fungsional Revisi Pada Rinosinusitis Kronis. Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL,
FK UNAND/RS.M.Djamil Padang.
8.
Balasubramanian T.
Advanced Anatomy of Lateral Nasal Wall. 2006. [Cited 06 Nophember 2012].
Available : http://www.drtbalu.com/ana_latnose.html
9.
Irfandy Dolly. Transpor Mukosiliar Septum Deviasi.
Bagian THT Bedah Kepala Leher FK Universitas Andalas/RSUP Djami Padang.
10.
Munir Delfitri. Waktu Bersihan Mukosiliar Pada Pasien
Rinosinusitis Kronis. Departemen Kesehatan THT-KL FK Universitas Sumatera
Utara. Maj Kedokt Indon, Volum : 60, Nomor 11, November 2010. P. 517-520
11.
Casiano Roy R. Surgical Instrumen, Setup, and Patient
Positioning. In : Endoscopic Sinus Surgery Dissection Manual, A Stepwise,
Anatomically Based Approach to Endoscopic Sinus Surgery. 2002. New York, The
United State of America. P. 9-17.
12.
Kuhn Frederick A.,
Melroy Christopher T., Dubin Marc G., Ventrapragada Shridhar. Frontal Sinus Instrumentation. In :
Rhinologic and Sleep Apnea Surgical Techniques. 2007. Springer,Verlag Berlin
Heidelberg, Germany. P. 27-47.
13. Simmen
Daniel, Jones Nick. Why? Goals Of Surgery
in Patients with Rhinosinusitis. In : Manual of Endoscopic Sinus Surgery
and its Extended Applications. 2005. Thieme, New York. P. 40-49.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar