Sabtu, 22 Juni 2013

MENINGOENCEPHALOCELE


I.                               PENDAHULUAN
Proses penutupan atau pembentukan tuba neural disebut neurulasi primer. Neurulasi merupakan bagian dari organogenesis yang dimulai pada hari ke-18. Neurulasi primer dimulai pada hari ke 22 sampai hari ke 27 setelah pembuahan. Neurulasi dimulai dari penutupan 1 daerah servikal yang meluas ke atas dan bawah. Penutupan 2 dari batas proensefalon-mesensefalon, penutupan 3 dimulai dari stomodeum (ujung kranial neural tube). Penutupan 4 dimulai dari rombensefalon berjalan ke arah kranial bertemu dengan penutupan 2.1
            Defek tuba neuralis menyebabkan anomali kongenital pada susunan sistem saraf akibat kegagalan tuba neuralis menutup secara spontan antara minggu ke-3 dan ke-4 dalam perkembangan uterus. Meskipun penyebab pasti dari defek tuba neuralis masih belum diketahui, terdapat bukti bahwa banyak faktor, termasuk radiasi, obat-obatan, malnutrisi, bahan kimia, dan determinan genetik, yang dapat mempengaruhi perkembangan abnormal pada susunan saraf. Defek tuba neuralis utama meliputi spina bifida okulta, meningokel, mielomeningokel, ensefalokel, anensefali, sinus dermal, siringomielia, diastematomiela, dan lipoma pada konus medularis. Meningoensefalokel (meningoencephalocele) atau disebut juga ensefalokel (encephalocele) adalah salah satu kelainan kongenital akibat defek tuba neuralis.2
Gejala klinis sangat bervariasi  tergantung malformasi serebral yang terjadi, termasuk hidrosefalus dan banyaknya jaringan otak yang mengalami displasia dan masuk ke dalam kantung meningoensefalokel.  Jika hanya mengandung meninges saja, prognosisnya lebih baik dan dapat berkembang normal.  Meningoensefalokel sering disertai dengan kelainan kranium fasial atau kelainan otak lainnya, seperti hidrochephalus atau kelainan kongenital lainnya (Syndrome Meckel, Syndrome Dandy-Walker). 2,3
Hampir semua meningoensefalokel memerlukan intervensi bedah saraf, kecuali massanya terlalu besar dan dijumpai mikrosefali yang jelas. Bila mungkin, tindakan bedah sedini mungkin untuk menghindari infeksi, apalagi bila ditemui kulit yang tidak utuh dan perlukaan di kepala. 3


II.                            TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Disrafisme Kranial (Kranium Bifidum)
Kranium  bifidum atau kranioskizis, seperti spina  bifida, adalah defek tabung neural disrafik. Anomali  ini lebih jarang dari spina bifida. Biasanya dapat ditindak dan karenanya menjadi malformasi yang penting  dibidang bedah  saraf. Hernia si dura dan jaringan otak melalui defek tulang digaris tengah (sefalokel) dijumpai  pada banyak kasus. Kranium bifidum terkadang bersamaan dengan spina bifida.2,3
             Insidens kranium bifidum seperlimabelas hingga sepersepuluh spina bifida: satu per 3.000 hingga  10.000 kelahiran. Sefalokel regio oksipital umum di Eropa  dan Amerika,  sedang  sefalokel frontal lebih  sering  dari sefalokel oksipital di Asia Tenggara. Dibeberapa daerah di Asia Tenggara meningoensefalokel lebih sering dari mielomeningokel. Jadi predisposisi geografis mungkin  berperan pada  kranium bifidum. Oksipital meningoensefalokel lebih  sering  pada wanita, sedang pria lebih sering  pada  yang lainnya. 3
             Kranium  bifidum diklasifikasikan kedalam dua  jenis:  kranium bifidum okultum dan kranium bifidum  sistikum.  Kranium bifidum okultum tidak berkaitan  dengan herniasi  dura, karenanya tak terdeteksi hingga  dewasa bila tak bergejala. 3,5
             Sinus dermal intrakranial adalah disrafisme kranial okulta berupa jaringan yang berasal dari kulit  yang persisten  terdapat diruang intrakranial,  yang  berhubungan  dengan kulit. Defek tulang kecil sering  tampak dibawah protuberansia oksipital eksterna, dan  beberapa rambut  sering tumbuh dari sinus. Lainnya, lokasi  yang kurang sering adalah nasion. Sista dermoid mungkin terdapat  pada  satu atau kedua ujung dari  sinus  dermal. 3,5
Sinus dermal diregio oksipital sering turun ke sambungan servikomedulari dan berakhir sebagai dermoid disisterna magna, ventrikel keempat dan hemisfer  serebeler. Tumor dermoid pada ujung sinus dermal mungkin menimbulkan  gejala  massa intrakranial. Sinus  dermal  mungkin tanpa  gejala. Banyak kasus berakibat meningitis  rekuren, dan reseksi tak lengkap sinus dermal juga bisa menimbulkan meningitis. 3,5
Kranium bifidum sistikum dapat dibagi menjadi lima subkelompok, sesuai isi dari sefalokel:
1.      Meningokel : hanya berisi CSS didalam sefalokel.
2.      Ensefalomeningokel  atau meningoensefalokel :  berisi baik CSS maupun jaringan otak didalam sefalokel.
3.      Ensefalokel : berisi hanya jaringan otak didalam sefalokel.
4.      Ensefalosistokel : penonjolan jaringan  otak  mengisi ruang yang berhubungan dengan ventrikel.
5.      Meningoensefalosistokel, atau  ensefalosistomeningokel : berisi 'ventrikel' dan jaringan otak plus dilatasi ruang CSS disefalokel.
            Eksensefali adalah protrusi otak yang tidak ditutupi kulit. Sefalokel  dapat diklasifikasikan menurut  lokasinya.  Meningoensefalokel dapat  diklasifikasikan kedalam dua kelompok: meningoensefalokel posterior atau  oksipital  dan meningoensefalokel anterior atau frontal, yang  menonjol  pada sambungan tulang frontal dan tulang  nasal atau kartilago nasal. 3,5,6

2.2 Meningoensefalokel
Meningoensefalokel (meningoencephalocele) atau disebut juga ensefalokel (encephalocele) adalah kelainan kongenital akibat defek tuba neuralis. Defek tuba neuralis ini di daerah kaudal akan menyebabkan spina bifida dan di daerah kranial akan menyebabkan defek tulang kranium disebut kranium bifidum. Hal ini dimulai pada masa embrio pada minggu ke III sampai dengan minggu ke IV; tidak menutupnya tuba neuralis pada ujung kranial dapat menimbulkan herniasi jaringan saraf pusat. Meningoensefalokel dapat terjadi di seluruh bagian tengkorak, tetapi yang paling sering terjadi di regio occipital, kecuali pada orang Asia, yang lebih sering terjadi pada regio frontal. 5,8,9
Herniasi atau benjolan ini dapat berisi meningen dan cairan serebrospinal saja disebut Meningokel Kranial, dapat juga berisi meningen, cairan serebrospinal dan jaringan/parenkhim otak disebut Meningoensefalokel. Secara umum herniasi melalui defek kranium disebut meningoensefalokel, walaupun sebenarnya berbeda patologi, pengobatan dan prognosisnya. Kira-kira 75% meningoensefalokel didapatkan di regio oksipital, dapat terlihat sebagai kantong kecil bertangkai atau struktur seperti kista besar, dapat lebih besar daripada kranium; tertutup oleh kulit seluruhnya; kadang-kadang di tempat-tempat tertentu hanya dilapisi oleh membran tipis seperti kertas perkamen. Sebanyak 15% dari ensefalokel terletak di frantal.  10,11

Isi meningoensefalokel dapat diketahui dengan transiluminasi dan USG. Pada pemeriksaan mikroskopis, biasanya akan didapatkan jaringan otak abnormal/displasia. Insiden meningoensefalokel 1-5 per 10000 bayi lahir hidup; paling kecil dari seluruh penyakit defek tuba neuralis (8% - 19%). Di Eropa dan Amerika hampir 80% - 90% meningoensefalokel terdapat di regio oksipital; meningoensefalokel di daerah anterior (frontal, nasofrontal, nasofaringeal) lebih sering di Asia Tenggara. 11

2.3 Etiologi
Meningoensefalokel disebabkan oleh kegagalan penutupan tabung saraf selama perkembangan janin. Kegagalan penutupan tabung saraf ini disebabkan oleh gangguan pembentukan tulang kranium saat dalam uterus seperti kurangnya asupan asam folat selama kehamilan, adanya infeksi pada saat kehamilan terutama infeksi TORCH, mutasi gen (terpapar bahan radiologi), obat – obatan yang mengandung bahan yang terotegenik. Meningoensefalokel juga disebabkan oleh defek tulang kepala, biasanya terjadi dibagian occipitalis, kadang – kadang juga dibagian nasal, frontal, atau parietal.5,11
Walaupun penyebab pasti defek tuba neuralis masih belum diketahui, beberapa faktor antara lain radiasi, obat-obatan, malnutrisi, bahan-bahan kimia dan faktor genetik terbukti mempengaruhi perkembangan susunan saraf pusat sejak konsepsi, Penulis lain berpendapat bahwa maternal hypertermia pada hamil muda juga merupakan fakor penyebab meningoensefalokel. Data terakhir menyebutkan bahwa suplementasi vitamin seperti folic acid saat sekitar konsepsi akan mencegah defek tuba neuralis. 8

2.4 Embriologi
            Pada embryogenesis, tuba neuralis menutup pada hari ke-27 atau ke-28 kehamilan. Ujung anterior dan posterior tuba neuralis menutup pada saat berbeda. Neuropore anterior yang terletak sama tinggi dengan foramen cecum menutup pada hari ke ke-24.
Teori mengenai terjadinya ensefalokel:
·         Kegagalan penutupan tuba neuralis sebelum hari ke 25 kehamilan.
·         Terbukanya kembali tuba neuralis setelah penutupan pada minggu ke-8 kehamilan karena adanya defek permeabilitas pada dasar ventrikel keempat.
·         Defek primer pada jaringan penyusunan mesensefalon yang menyebabkan terjadinya herniasi encephalon sehingga terbentuk ensefalokel oksipital.
Hidrosefalus dapat muncul menyertai ensefalokel karena adanya distorsi saluran cairan otak / CSF10.
Ensefalokel dapat muncul sebagai salah satu komponen utama sebuah sindrom. Sindrom dengan ensefalokel sebagai komponen utama yakni Chernke’s syndrome, Fraser syndrome, Knobloch’s syndrome, Meckel-Gruber’s syndrome, Robert’s syndrome, amniotic band syndrome, dwarfisme dissegmental, dan dysplasia frontonasal.
Condition
Pattern of Inheritance
Associated Findings
Chemke Syndrome


Cryptopthalmos Syndrome (Fraser)

Dyssegmental dwarfism


Frontonasal dysplasia
Knobioch syndrome

Meckel-Gruber syndrome


Amniotic band (rupture)


Roberts syndrome
Autosoma Recessive


Autosoma Recessive


Autosoma Recessive


Sporadic
Autosoma Recessive

Autosoma Recessive


Sporadic


Autosoma Recessive
Hydrocephalus, cerebellar dysgenesis, renital dysplasia, corneal opacities, cataracts
Skin of forhead cover one or both eyes; total/partial syndactyl of fingers or toes
Short tubular bones, bowing of extremitas, vertebral anomalies, small thorax, cleft palate, micrognathia
Ocular hypertelorism, median clift lip
Retinal detachment, myopia, normal intelegence
Polydactyl, policysty kidneys, oligohydramnion, other CNS abnormalities
Limb amputations, facial clefts,thoracoabdominal wall defects, skull malformation
Short or absent limbs, facial cleft, hypertelorism, heart and kidneys defect
Tabel 2. 1 Sindrom dengan Ensefalokel sebagai Komponen Utama

2.5 Klasifikasi 4
Berikut adalah klasifikasi meningoensefalokel menurut Suwanwela:
       I.       Ensefalomeningokel oksipital
    II.       Ensefalomeningokel lengkung tengkorak
A. Interfrontal
B. Fontanel anterior
C. Interparietal
D. Fontanel posterior
E. Temporal
 III.       Ensefalomeningokel fronto-ethmoidal
A. Nasofrontal
B. Naso-ethmoidal
C. Naso-orbital
 IV.       Ensefalomeningokel basal
A. Transethmoidal
B. Sfeno-ethmoidal
C. Transsfenoidal
D. Frontosfenoidal atau sfeno-orbital
    V.       Kranioskhisis
A. Kranial, fasial atas bercelah
B. Basal, fasial bawah bercelah
C. Oksipitoservikal bercelah
D. Akrania dan anensefali.

Meningoensefalokel oksipital merupakan 70 persen sefalokel (pada geografis). Dibagi ke dalam subkelompok sesuai hubungannya dengan protuberansia oksipital eksterna (EOP) : sefalokel oksipitalis superior, dimana terletak di atas  EOP, dan sefalokel  oksipitalis  inferior, yang  terletak dibawah EOP. Penonjolan lobus oksipital tampak di sefalokel superior, dimana serebelum  menonjol dalam sefalokel inferior. Bila defek tulang meluas  turun keforamen magnum, keadaan ini disebut sefalokel oksipitalis  magna. Hubungan sefalokel ini  dengan  spina bifida servikalis disebut sefalokel  oksipitoservikalis  (iniensefali).4
 Meningoensefalokel anterior lebih jarang terjadi dibandingkan meningoensefalokel posterior. Yang  pertama  biasanya dibagi  ke dalam dua kelompok : meningoensefalokel  sinsipital (tampak) dan meningoensefalokel basal (tak tampak). Mungkin juga  dibagi  kedalam empat kelompok: 
(1) meningoensefalokel frontal, 
(2) meningoensefalokel frontonasal,
(3) meningoensefalokel fronto-ethmoid, dan
(4) meningoensefalokel nasofaringeal. 4
Sambungan tulang frontal dan kartilago nasal adalah tempat tersering dari sefalokel; hubungan ini menjadi titik lemah karena pertumbuhan yang berbeda  tulang frontal dan kartilago nasal. Suwanwela menyebut sefalokel diregio ini sebagai meningoensefalokel fronto-ethmoid dan dikelompokkan kedalam tiga subkelompok:
1.      Jenis  nasofrontal: menonjol pada  sambungan  tulang frontal dan tulang nasal.
2.      Jenis  nasoethmoid: menonjol pada tulang nasal  atau kartilago nasal.
3.      Jenis  naso-orbital: menonjol dari bagian anterior tulang ethmoid dari bagian anterior orbit.
Meningoensefalokel basal dapat dibagi kedalam lima kelompok:
1.      Meningoensefalokel transethmoidal (intranasal) : herniasi ke dalam kavum nasal melalui lamina kribrosa.
2.      Meningoensefalokel sfeno-ethmoid (intranasal posterior) : herniasi ke bagian posterior kavum nasal melalui  tulang sfenoid.
3.      Meningoensefalokel transsfenoid (sfenofaringeal):  herniasi ke nasofaring melalui tulang sfenoid.
4.      Meningoensefalokel  sfeno-orbital: herniasi  keruang  orbit melalui fissura orbital superior.
5.      Meningoensefalokel sfenomaksillari: herniasi kerongga orbit melalui fissura pterigoid, kemudian kefossa pterigoid melalui fissura intra orbital.4


2.6 Gejala Klinis
Gejala klinis sangat bervariasi  tergantung malformasi serebral yang terjadi, termasuk hidrosefalus dan banyaknya jaringan otak yang mengalami displasia dan masuk ke dalam kantung meningoensefalokel.  Jika hanya mengandung meningen saja, prognosisnya lebih baik dan dapat berkembang normal. Gejala-gejala sehubungan dengan malformasi otak adalah mental retardasi, ataxia spastik, kejang, buta dan gangguan gerakan bola mata. Sebenarnya diagnosis perinatal dapat ditegakkan dengan pemeriksaan USG, alfa feto protein cairan amnion dan serum ibu.7
Ukuran dari meningoensefalokel mempengaruhi ukuran dari tengkoran dan otak tergantung dari besarnya protrusi pada tengkorak. Bila protrusi besar, maka tengkorak akan tampak seperti mikrosefali, karena banyak jaringan otak yang sudah keluar. Menigoensefalokel jarang berhubungan dengan malformasi serebri saja dan biasanya berhubungan  dengan abnormalitas dari hemisper serebri, serebelli dan otak tengah.10
Pada pemeriksaan neurologis umumnya didapatkan hasil normal, tetapi beberapa kelainan dapat terjadi meliputi deficit fungsi saraf cranial, gangguan penglihatan, dan kelemahan motorik fokal.
Meningoensefalokel  anterior sering bersamaan  dengan  anomali muka,  seperti bibir dan langit-langit bercelah.  Empat anomali yaitu meningoensefalokel oksipital, hidrosefalus,  deformitas  Klippel-Feil, dan langit-langit bercelah  sering terjadi sebagai tetrad. Kelainan jantung  kongenital dan ekstremitas yang displastik adalah anomali yang berhubungan yang terletak dibagian lain dari badan. 7
             Hidrosefalus mungkin terjadi sebelum diperbaikinya sefalokel, atau mungkin terbentuk setelah operasi. Insidens hidrosefalus yang menyertai pada meningoensefalokel oksipital adalah 25 persen pada meningokel dan 66  persen pada meningoensefalokel. Hidrosefalus yang bersamaan pada meningoensefalokel  anterior jarang. Seperti pada spina  bifida, insidens hidrosefalus lebih tinggi pada sefalokel  yang mengandung  jaringan otak. Insidens hidrosefalus yang menyertai pada meningoensefalokel oksipital adalah hampir sama dengan pada mielomeningokel. 7

Ensefalokel frontoethmoidal muncul dengan massa di wajah sedangkan Ensefalokel basal tidak tampak dari luar. Ensefalokel nasofrontal muncul di pangkal hidung di atas tulang hidung. Ensefalokel nasoethmoidal terletak di bawah tulang hidung dan naso-orbital ensefalokel menyebabkan, hipertelorisme, proptosis dan mendesak bola mata.

2.7 Patofisiologi
            Meningoensefalokel adalah suatu kelainan tabung saraf yang ditandai dengan adanya penonjolan meningens (selaput otak) dan otak yang berbentuk seperti kantung melalui suatu lubang pada tulang tengkorak. Meningoensefalokel disebabkan oleh kegagalan penutupan tabung saraf selama perkembangan janin.2
Ada dua bentuk disrafisme utama yang mempengaruhi tulang kranial, dan menghasilkan protrusi jaringan melalui defek linea mediana tulang yang disebut kranium bifidum. Mielomeningokel kranium terdiri dari kantong meninges yang terisi hanya cairan serebrospinal dan meningoensefalokel mengandung kantung dan korteks serebri, serebelum, atau bagian batang otak. Defek kranium paling lazim pada daerah oksipital pada atau di bawah sambungan, dan sebagian terjadi frontal atau nasofrontal. Kelainan ini adalah adalah sepersepuluh dari defek penutupan tuba neuralis yang melibatkan spina. Etiologi ini dianggap sama dengan etiologi anensefali dan mielomeningokel. 7
Bayi dengan meningoensefalokel kranium beresiko untuk terjadinya hirdosefalus karena stenosis akuaduktus, malformasi Chiari, atau sindrom Dandy-Walker. Pemeriksaan dapat menunjukkan kantung kecil dengan batang bertangkai atau struktur seperti kista besar yang dapat melebihi ukuran kranium. Lesi ini dapat tertutup total dengan kulit, namun daerah yang tidak berkulit (denuded skin) dapat terjadi dan memerlukan manajemen bedah segera. Transiluminasi kantung dapat menampakkan adanya jaringan saraf. 2

2.8 Diagnosis
Pemeriksaan radiologis dilakukan untuk menilai struktur patologis sefalokel: daerah defek tulang, ukuran  serta isi sefalokel, ada atau tidaknya anomali SSP, dan dinamika CSS.8
Lubang defek tulang pada meningoensefalokel oksipital mudah dikenal pada foto polos tengkorak. Sebagai tambahan terhadap  daerah defek tulang, perluasan defek dan  ada atau  tidaknya kraniolakunia dapat diketahui. Ada  atau tidaknya otak yang vital dikantung dapat ditentukan dengan ventrikulografi dan angiografi serebral, namun  CT scan memperlihatkan tidak hanya isi kantung namun  semua kelainan intrakranial yang bersamaan. 11
Meningoensefalokel  oksipital harus  didiferensiasi  dari kasus  garis tengah lainnya, seperti sinus  perikranii, dan  holoprosensefali.  Sinus perikranii  sangat lebih kompresibel dibanding meningoensefalokel. CT scan memperlihatkan  displasia serebral sebagai tambahan  atas  kantung dorsal pada holoprosensefali. Angiografi serebral mungkin perlu untuk membedakan meningoensefalokel oksipital dari kantung dorsal holoprosensefali; holoprosensefali didiagnosis oleh adanya arteria serebral anterior azigos. 8
          MRI kranial dapat memberi gambaran yang pasti dari kandungan dalam meningiensefalokel. Meskipun terletak pada garis tengah, isi dari protrusi biasanya dari salah satu hemisfer yang lebih kecil.8,9

Pemeriksaan penunjang paling bermanfaat dalam penegakan diagnosis prenatal ensefalokel adalah ultrasonografi / USG. USG yang dilakukan dapat terdiri dari USG 2 dimensi maupun 3 dimensi serta secara transabdominal maupun transvaginal. Pada USG yang dilakukan antenatal, tampak adanya defek pada cranium serta massa kistik, kombinasi massa kistik dan solid, maupun massa dominan solid tampak menempel di calvaria. Pada USG terutama USG 3 dimensi, ensefalokel dapat tampak kurangnya diameter biparietal, kecilnya lingkar kepala, serta gambaran unik berupa “cyst within a cyst” dan “target sign” appearance, banana sign, lemon sign. Pada USG 3 dimensi, defek cranial dapat tampak dengan jelas.
 
2.9 Komplikasi
Meningoensefalokel sering disertai dengan kelainan kranium fasial atau kelainan otak lainnya, seperti hidrochephalus atau kelainan kongenital lainnya (Syndrome Meckel, Syndrome Dandy-Walker). Kelainan kepala lainnya yang dapat dideteksi dengan USG adalah kista otak, miensefalus (fusi tulang occiput vertebrata sehingga janin dalam sikap hiperekstensi), huloprokensefalus (hanya berbentuk sebuah rongga ventrikel yang berdilatasi), hindranensefalus (destruksi total jaringan otak sehingga kepala hanya berisi cairan), kelainan bentuk kepala (dulikochephaluskh, branchi chpalusk) dan sebagainya.7,8
Berikut adalah beberapa komplikasi dari meningoensefalokel, yaitu:
a.       Kelumpuhan keempat anggota gerak (kuadri plegia spastik)
b.      Gangguan perkembangan
c.       Mikrosefalus
d.      Hidrosefalus
e.       Gangguan penglihatan
f.       Keterbelakangan mental dan pertumbuhan
g.      Ataksia
h.      Kejang.

2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan meningoensefalokel tergantung dari isi dan luas dari anomali. Pada meningokel oksipital, di mana kantung tidak mengandung jaringan saraf, hasil dari pembedahan hampir selalu baik. Tetapi pada meningoensefalokel yang berisi jaringan otak biasanya berakhir dengan kematian dari anak.9
Hampir semua meningoensefalokel memerlukan intervensi bedah saraf, kecuali massanya terlalu besar dan dijumpai mikrosefali yang jelas. Bila mungkin, tindakan bedah sedini mungkin untuk menghindari infeksi, apalagi bila ditemui kulit yang tidak utuh dan perlukaan di kepala. 7
Pada neonatus apabila dijumpai ulkus pada meningoensefalokel atau tidak terjadi kebocoran cairan serebrospinal, operasi segera dilakukan. Pada meningoensefalokel yang ditutupi kulit kepala yang baik, operasi dapat ditunda sampai keadaan anak stabil. Tujuan operasi adalah menutup defek (watertight dural closure), eksisi masa otak yang herniasi serta memelihara fungsi otak. 8

1. Penanganan Pra Bedah
Segera setelah lahir daerah lesi harus dikenakan kasa steril yang direndam salin yang ditutupi plastik, atau lesi yang terpapar harus ditutupi kasa steril yang tidak melekat untuk mencegah jaringan saraf yang terpapar menjadi kering.
Perawatan pra bedah neonatus rutin dengan penekanan khusus pada saat mempertahan suhu tubuh yang dapat menurun dengan cepat. Pada beberapa pusat tubuh bayi ditempatkan dalam kantong plastik untuk mencegah kehilangan panas yang dapat terjadi akibat permukaan lesi yang basah. Lingkaran occipito frontalis kepala diukur dan dibuat grafiknya. Diperlukan pemeriksaan X-Ray kepala Anteroposterior/Lateral dan diambil fotografi dari lesi.
2. Perawatan pasca bedah
Pemberian makan per oral dapat diberikan 4 jam setelah pembedahan.  Jika ada drain hisap maka harus diperiksa setiap jam untuk menjamin tidak adanya belitan atau tekukan pada saluran dan terjaganya tekanan negatif dan wadah.  Lingkar kepala diukur dan dibuat grafik sekali atau dua kali seminggu. Sering kali terdapat peningkatan awal dalam pengukuran setelah penutupan cacat spinal dan jika peningkatan ini berlanjut dan terjadi perkembangan hidrosefalus maka harus diberikan terapi yang sesuai.5,8,10

2.11 Prognosis
            Faktor penentu prognosis pada pasien ensefalokel meliputi ukuran ensefalokel, banyaknya jaringan otak yang mengalami herniasi, derajat ventrikulomegali, adanya mikrosefali dan hidrosefalus terkait, serta munculnya kelainan congenital lain. Ensefalokel berukuran besar memiliki prognosis yang buruk. Pasien ensefalokel tanpa hidrosefalus memiliki peluang mencapai intelektual normal sebesar 90% sedangkan ensefalokel dengan hidrosefalus memiliki peluang lebih rendah 30%.

III.             KESIMPULAN
1.           Defek tuba neuralis menyebabkan kebanyakan kongenital anomali pada susunan sistem saraf akibat kegagalan tuba neuralis menutup secara spontan antara minggu ke-3 dan ke-4 dalam perkembangan uterus.
2.           Meningoensefalokel (meningoencephalocele) atau disebut juga meningoensefalokel (encephalocele) adalah kelainan kongenital akibat defek tuba neuralis. Defek tuba neuralis ini di daerah kaudal akan menyebabkan spina bifida dan di daerah kranial akan menyebabkan defek tulang kranium disebut kranium bifidum.
3.           Meskipun penyebab yang tepat pada defek tuba neuralis masih belum diketahui, ada bukti bahwa banyak faktor, termasuk radiasi, obat-obatan, malnutrisi, bahan kimia, dan determinan genetik, yang dapat mempengaruhi perkembangan abnormal pada susunan saraf.
4.           Gejala klinis sangat bervariasi  tergantung malformasi serebral yang terjadi, termasuk hidrosefalus dan banyaknya jaringan otak yang mengalami displasia dan masuk ke dalam kantung meningoensefalokel.  
5.           Meningoensefalokel adalah suatu kelainan tabung saraf yang ditandai dengan adanya penonjolan meningens (selaput otak) dan otak yang berbentuk seperti kantung melalui suatu lubang pada tulang tengkorak.
6.           Hampir semua meningoensefalokel memerlukan intervensi bedah saraf, kecuali massanya terlalu besar dan dijumpai mikrosefali yang jelas. Bila mungkin, tindalan bedah sedini mungkin untuk menghindari infeksi, apalagi bila ditemui kulit yang tidak utuh dan perlukaan di kepala.



DAFTAR PUSTAKA

1.     Ashari, S. Disrafisme Sistem Saraf. Dalam : Sinopsis Ilmu Bedah Saraf 1st Edition. Sagung Seto Jakarta. 2011
2.      Nelson, B.; Arvin K. Buku Ilmu Kesehatan Anak. 15th edition. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2000.
3.      Hull, D.; Derek I.J. Dasar-Dasar Pediatri. 3rd edition. Penerbit Buku Kedokteran EGC; Jakarta; 2008.
4.      Saanin, S. Disrafisme Kranial. Dalam : Anomali Susunan Saraf Pusat; Ilmu Bedah Saraf; Ka. SMF Bedah Saraf RSUP. Dr. M. Djamil/FK-UNAND Padang; available at: http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Disrafisme.html; 2008.
5.      Ropper, Allan H, Brown, Robert H. Chapter 38 : Developmental Disease of the Nervous System. In Adams & Victors' Principles of Neurology, 8th Edition.McGraw-Hill. 2005.
6.      Dubey,D. Pande S., Dubey P, Sawhney P.A Case of Naso-Ethmoidal Meningoencephalocele. In  International Journal of Collaborative Research on Internal Medicine & Public Health Vol. 3 No. 8 (August 2011) available at : http://www.iomcworld.com/ijcrimph/files/v03-n08-08.pdf
7.      Fenichel, G.M. Clinical Pediatric Neurology 4th edition; Saunders Company; Philadelphia; 2001.
8.      Tsementzis, S.A. Differential Diagnosis of Neurology and Neurosurgery; Thieme Stuttgart; New York; 2000.
9.      Sjamsuhidajat, R. Wim d.J.; Buku Ajar Ilmu Bedah; Penerbit Buku Kedokteran EGC; Jakarta; 2005.
10.  Lubis, N.U. Encephalocele; in CKD – Cermin Dunia Kedokteran Magazine; Kalbe Farma; PT. Temprint; Jakarta; 2009.
11.  Christopher G. Goetz: Neural Tube Defect.In Textbook of Clinical Neurology, 3rd ed.Elsevier-Saunders.2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar