Selasa, 13 November 2012

Anestesi : DIURETIK

-->
DIURETIK

Diuretik merupakan salah satu diantara obat-obatan yang sering diresepkan, dengan respon farmakologik klasik berupa diuresis. Obat ini dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi kerjanya pada tubulus ginjal dan mekanisme bagaimana mereka mempengaruhi ekskresi larutan (Tabel 25-1 dan 25-2 dan Gambar 25-1). (Merin dan Bastron, 1986).
Semua diuretik dapat menyebabkan hipovolemia dan azotemia namun efek samping ini paling sering terjadi pada loop diuretics (Tabel 25-3). Alkalosis hipokalemik, hiperglikemia dan hiperurisemia (“gout klinis”) merupakan komplikasi yang bergantung-dosis baik pada tiazid maupun loop diuretik. Tiazid menurunkan ekskresi klasium dan menyebabkan hiperkalsemia pada pasien dengan kondisi dasar (sarkoidosis) yang  memudahkan absorpsi kalsium di traktus gastrointestinal. Tiazid paling sering menyebabkan hiponatremia terutama pada pasien yang memiliki kebiasaan minum dalam jumlah banyak. Pasien memiliki resiko berkembang menjadi hiperkalemia pada pemberian diuretik hemat potassium yang menerima obat angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors atau angiotensin II dan pada pasien dengan gagal ginjal akut.
DIURETIK TIAZID
Diuretik tiazid merupakan obat yang paling sering diberikan untuk pengobatan pemeliharaan pada hipertensi esensial dimana diuresis, natriuresis dan vasodilatasi dalam keadaan sinergis (Gambar 25-2) (lihat Bab 15). Jika dikombinasi dengan diuretik taizid, dosis obat antihipertensi yang lebih poten dapat diturunkan 25% hingga 50%, sehingga meminimalisir efek samping karena obat. Diuretik tiazid dapat dimanfaatkan untuk mengurangi cairan edema yang berkaitan dengan disfungsi renal, hepar dan jantung. Diuretik jarang digunakan pada diabetes insipidus dan hiperkalsemia. Diuretik tiazid dengan mudah diabsorbsi di traktus gastrointestinal dan diekskresikan oleh ginjal.
Mekanisme Kerja
Diuretik tiazid menghasilkan efek diuresis dengan menghambat reabsorbsi ion sodium dan klorida, terutama pada bagian korteks dari loops of Henle asendens, hingga ke daerah yang lebih rendah, pada tubulus renal proksimal dan tubulus renal distal (lihat Tabel 25-2) (Merin dan Bastron, 1986). Hasilnya ditandai dengan peningkatan ekskresi urines dari ion sodium, klorida dan bikarbonat (Tabel 25-4) (Tonnesen, 1983). Peningkatan ekskresi yang menyertai ion potassium ke tubulus renalis terjadi kapan saja ketika hantaran distal sodium dan air meningkat. Hal ini menegaskan bahwa pendorong normal ekskresi potassium oleh tubulus renalis distal yaitu perbedaan potensial eletrik transtubulus yang diakibatkan oleh reabsorbsi sodium. Diuretik tiazid, dengan menginhibisi reabsorbsi sodium menyebabkan hantaran konsentrasi sodium yang lebih tinggi pada tubulus renalis distal dan kemudian meningkatkan sekresi potassium ke dalam tubulus renalis. Efek diuresis dari diuretik tiazid tidak tergantung pada keseimbangan asam-basa.
Efek Antihipertensi
Efek antihipertensi diuretik tiazid diawali dengan menurunkan volume cairan ekstraseluler kemudian dengan menurunkan curah jantung.  Efek antihipertensi lanjut diuretik tazid yaitu dengan vasodilatasi perifer, yang membutuhkan waktu beberapa minggu untuk berkembang. Vasodilatasi perifer ini menunjukkan adanya efek kecil aktivitas sistem saraf simpatik pada otot polos vaskuler perifer, yang berhubungan dengan penurunan cadangan sodium total tubuh. Induksi diuretik yang menurunkan resistensi vaskuler sistemik setidaknya disertai koreksi parsial penurunan volume cairan ekstravaskuler. Pentingnya ekskresi sodium yang diindukasi diuretik ditunjukkan oleh hilangnya efek antihipertensif ketika diuretik tiazid diberikan pada hewan anephric.
Efek samping
Efek samping  yang biasa diinduksi oleh diuretik tiazid yaitu hipokalemia, dan alkalosis metabolik, ketika obat diberikan dalam jangka panjang untuk terapi pemeliharaan hipertensi esensial (lihat Tabel 25). Deplesi ion sodium dan magnesium dapat menyertai kaliuresis. Disritmia jantung dapat terjadi sebagai akibat dari hipokalemia atau hipomagnesia yang diinduksi diuretik. Efek samping penting lainnya dari hipokalemia yang dapat terjadi yaitu (a) kelemahan otot skeletal, (b) ileus gastrointestinal, (c) neuropati yang ditandai dengan poliuria dan azotemia, (d) peningkatan kemungkinan berkembangnya toksisitas digitalis, dan (e) potensiasi dari obat-obatan nondepolarizing neuromuscular-blocking.
Tabel 25-1.
KLASIFIKASI DIURETIK

Penggunaan Klinis
Diuretik tiazid

Klorotiazid
Hipertensi esensial, edema akibat gagal jantung kongestif, gagal ginjal, gagal hepar
Hidroklorotiazid
Sama dengan klorotiazid
Bendroflumethiazid
Sama dengan klorotiazid
Hidroflumetiazid
Sama dengan klorotiazid
Metilclotiazid
Sama dengan klorotiazid
Politiazid
Sama dengan klorotiazid
Triklormetiazid
Sama dengan klorotiazid
Indapamind
Sama dengan klorotiazid
Diuretik Kuat

Furosemid
Hipertensi esensial berat, edema akibat gagal jantung kongestif, gagal hinjal, gagal hepar
Asam ethacrynic

Bumetanid
Sama dengan furosemid
Torsemid
Sama dengan furosemid
Diuretik osmotik

Manitol
Hipertensi intrakranial, profilaksis melawan  pengobatan fase oligourik pada gagal ginjal akut
Urea

Diuretik potassium-sparing

Triamteren
Edema yang berkaitan dengan gagal jantung kongestif, gagal ginjal, gagal hepar
Amilorid
Hipertensi essensial, atau edema akibat gagal jantung kongestif, sering dikombinasikan dengan diuretik tiazid atau loop diuretics
Antagonis aldosteron

Spironolakton
Edema yang berkaitan dengan gagal jantung kongestif, gagal ginjal, gagal hepar
Inhibitor anhidrase karbonik

Asetazolamid
Glaukoma, alkalosis metabolik persisten
Agonis reseptor dopamin

Dopamin
Tidak direkomendasikan sebagai profilaksis melawan fase oliguri pada gagal ginjal akut
Fenoldopam


Keadaan volume cairan intravaskuler harus dipertimbangkan pada semua pasien yang mendapat pengobatan diuretik tiazid dan dijadwalkan untuk operasi. Adanya hipotensi ortostatik pada pasien ini harusnya menimbulkan kecurigaan bahwa volume cairan intravaskuler berkurang. Bukti laboratorium dari hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit dan peningkatan konsentrasi nitrogen urea darah) dan penururnan tekanan pengisian atrium kiri atau kanan merupakan bukti lanjut dari adanya hipovolemia.
Diuretik tiazid dapat menyebabkan hiperglikemia dan memperburuk diabetes mellitus. Mekanisme terjadinya hiperglikemia belum diketahui pasti namun dapat menunjukkan adanya inhibisi pelepasan insulin dari pankreas dan penghambatan penggunaan glukosa di perifer yang diinduksi oleh obat.
Inhibisi sekresi urat di tubular renalis oleh diuretik tiazid dapat menyebabkan hiperurisemia. Retensi asam urat yang diinduksi tiazid ini dapat mengeksaserbasi arthritis gout, bahkan pada pasien yang diobati dengan probenecid.
Batasan fungsi ginjal atau hepar mungkin akan memburuk sepanjang pengobatan dengan diuretik tiazid, yang nampaknya menunjukkan adanya penurunan aliran darah pada organ ini akibat induksi obat. Ruam makulopapular terjadi pada 1% atau lebih pasien yang diobati dengan klorotiazid.
Tabel 25-2
LOKASI KERJA DIURETIK

Diuretik Tiazid
Diuretik Kuat
Diuretik Osmotik
Diuretik potassium-sparing
Antagonis Aldosteron
Anhidrase Karbonik
Awal tubulus konvolusi proksimal

+
+



Tubulus konvolusi proksimal
+
+



+++
Daerah meduler loop of Henle asenden

+++
+++



Daerah korteks loop of Henle asenden
+++
+
+



Tubulus konvolusi distal
+
+
+
+++


Duktus kolektikus




+++

+, lokasi kerja minor; +++, lokasi kerja utama/mayor
Sumber : diadaptasi dari Mergin RG, Bastron RD. Diuretics. Dalam : Smith NT, Miller RD, Carbascio AND, eds. Drug interaction in anesthesia. Philadelphia; Lea & Febiger, 1986 : 206-224; dengan izin.

LOOP DIURETIK (DIURETIK KUAT)
Asam ethacrynic, bumetanid dan furosemid merupakan diuretik yang menghambat reabsorbsi sodium (obat-obatan saliuretik paling poten yang tersedia) dan klorida terutama pada daerah meduler loop of Henle asendens (Gambar 25-3, lihat Tabel 25-2) (Merin dan Bastron, 1986). Tempat kerja ini menjadikan obat-obat ini sebagai loop diuretics. Pemberian secara intravena (IV) baik asam athacrynic atau furosemid menghasilkan respon diuretik dalam 2 hingga 10 menit yang tidak tergantung pada perubahan asam-basa (lihat Tabel 25-3) (Tonnesen, 1983). Memang, respon terhadap furosemid langsung berhubungan dengan laju filtrasi glomerulus. Furosemid juga memicu produksi prostaglandin ginjal yang menyebabkan vasodilatasi ginjal dan meningkatkan aliran darah ginjal. Efek renovaskuler furosemid ini menghasilkan redistribusi aliran darah ginjal dari bagian dalam hingga luar korteks dan berkontribusi terhadap efek diuretik obat ini. Furosemid yang menginduksi peningkatan aliran darah ginjal dapat diinhibisi oleh obat-obatan anti-inflamasi non-steroid dan melemahkan efek antidiuretik.

Farmakokinetik
Asam Ethacrynic
Asam ethacrynic efektif jika diberikan per oral (0.75 hingga 3.00 mg/kg) atau secara IV (0.5 hingga 1.0 mg/kg). Insidens tinggi reaksi gastrontestinal mengikuti pemberian oral diuretik ini. Obat ini berikatan luas dengan protein. Asam ethacrynic diekskresikan oleh ginjal dalam bentuk yang tidak berubah dan metabolisme yang tidak stabil.
Furosemid
Furosemid efektif jika diberikan per oral (0.75 hingga 3.00 mg/kg) atau dengan IV (0.1 hingga 1.0 mg/kg). Berikatan secara luas dengan protein albumin, mencapai 90% dari jumlah obat. Filtrasi glomerulus dan sekresi tubular renal mencapai 50% dari eksresi furosemid. Hampir sepertiga dosis furosemid dimetobolisme atau diekskresikan dalam bentuk yag tidak berubah di empedu. Waktu paruh eliminasi yaitu < 1 jam, menyebabkan durasi pendek dari kerja furosemid.
Penggunaan klinis
Secara klinis, furosemid lebih banyak digunakan dibanding dengan asam ethacrynic. Loop diuretics seharusnya hanya diberikan pada pasien dengan volume cairan intravaskuler yang normal atau meningkat. Hipovolemia akut dapat timbul akibat pemberian loop diuretics pada pasien hipovolemik dan menyebabkan hipotensi yang selanjutnya mengeksaserbasi cedera iskemik ginjal dan menimbun nefrotoksin pada tubulus ginjal.
Penggunaan klinis umum furosemid termasuk (a) mobilisasi cairan edema akibat disfungsi ginjal, hepar dan jantung, (b) pengobatan peninggian tekanan intrakranial, dan (c) menginhibisi penyerapan kalsium seluler pada penanganan hiperkalsemia, dan (d) pengobatan diagnosis banding pada oliguria akut. Efek antihipertensif furosemid berasal dari kemampuannya untuk menurunkan volume cairan intravaskuler, yang timbul dalam waktu yang cepat, yang menimbulkan peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik dengan mediasi refleks baroreseptor. Percepatan ekskresi obat-obatan lain, seperti obat non-depolarizing neuromuscular-blocking kerja panjang, oleh diuresis yang  induksi furosemid, terbatas karena diuretik ini tidak meningkatkan laju filtrasi glomerulus atau sekresi tubular ginjal.
Tabel 25-3
EFEK SAMPING DIURETIK

Hipokemia, hiperkloremia, alkalosis metabolik
Hiperkalemia
Hiperglikemia
Hiperurisemia
Hiponatremia
Diuretik Tiazid
Ya
Tidak
Ya
Ya
Ya
Loop Diuretics
Ya
Tidak
Minimal
Minimal
Ya
Potassium-Sparring
Tidak
Ya
Minimal
___
Minimal
Aldosteron
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak

Mobilisasi cairan edema
Furosemid, 0.1 hingga 1 mg/kg IV, menghasilkan dorongan diuresis cairan edema yang terakumulasi akibat disfungsi ginjal, hepar dan jantung. Vasodilatasi perifer mendahului onset diuresis, dan berkaitan dengan penurunan aliran balik vena yang sejalan dengan manfaat efek furosemid dalam penanganan edema pulmoner akut. Furosemid juga dapat meningkatkan alian limfe melalui duktus thorasikus.

Penanganan peningkatan tekanan intrakranial
Furosemid menurunkan tekanan intrakranial dengan menginduksi diuresis sistemik, menurunkan produksi cairan serebrospinal dengan mengganggu transport ion sodium pada jaringan glial, dan menghilangkan edema serebral melalui peningkatan transport cairan seluler. Penurunan tekanan intrakranial oleh diuretik ini tidak disertai perubahan aliran darah serebral atau osmolaritas plasma. Furosemid dapat diberikan melalui terapi tunggal (0.5 hingga 1 mg/kg IV) atau dosis yang lebih rendah (0.1 hingga 0.3 mg/kg IV) dengan kombinasi bersama mannitol. Furosemid tidak sama efektifnya dengan mannitol dalam menurunkan tekanan intrakranial. Perubahan pada blood-brain barrier tidak mempengaruhi kecepatan dan efek lanjutan furosemid pada tekanan intrakranial. Karakteristik ini berbeda dengan mannitol, yang dapat mengakibatkan hipertensi intrakranial balik jika blood-brain barrier yang rusak memungkinkan mannitol masuk kedalam sistem saaf pusat. Kombinasi furosemid dan mannitol lebih efektif dalam menurunkan tekanan intrakranial dibanding jika diberikan tunggal, namun dehidrasi berat dan ketidakseimbangan elektrolit juga dapat timbul.
Tabel 25-4
EFEK DIURETIK TERHADAP KOMPOSISI URIN

Volume (ml/menit)
pH
Sodium (mEq/L)
Potassium (mEq/L)
Klorida (mEq/L)
Bikarbonat
Tanpa Obat
1
6.4
50
15
60
1
Diuretic Tiazid
13
7.4
150
25
150
25
Loop Diuretics
8
6.0
140
25
155
1
Diuretik Osmotik
10
6.5
90
15
110
4
Diuretic Potassium-Sparing
3
7.2
130
10
120
15
Inhibitor Anhidrase Karbonik
3
8.2
70
60
15

Sumber : Diadaptasi dari Tonnesen AS. Clinical pharmacology and use of diuretics. Dalam : Herhey SG, Bamforth BJ, Zaude H, eds. Review courage in anesthesiology. Philadelphia; Lippincott, 1983 : 217-226; dengan izin

Diagnosis banding oliguria akut
Furosemid yang diberikan dalam dosis kecil (0.1 mg/kg IV) akan menstimulasi diuresis pada keadaan adanya efek hormon vasopressin arginin (hormon antidiuretik) yang berlebih. Obat ini tidak dapt digunakan untuk menangani oliguria akut akibat penurunan volume cairan intravaskuler, karena diuresis yang diinduksi furosemid selanjutnya akan memperberat hipovolemia dan memperburuk perubahan iskemik ginjal yang diakibatkan oleh buruknya aliran darah ginjal. Selain itu, output urin setelah pemberian furosemid tidak dapat dijadikan bukti untuk menentukan adekuatnya volume cairan intravaskuler, curah jantung dan aliran darah ginjal.
Penggunaan furosemid untuk pengobatan gagal ginjal akut masih kontroversial. Usaha untuk mengubah gagal ginjal oligurik menjadi bentuk nonoligurik, yang berkaitan dengan angka mortalitas yang lebih rendah, tidak terbukti bermanfaat jika dibandingkan dengan kontrol yang tidak diobati ( Byrick dan Rose, 1990). Konversi gagal ginjal oligurik menjadi nonoligurik tidak mengubah hasil sekali dialisis menjadi perlu. Namun demikian, pada pasien ini, peningkatan aliran urin mempermudah manajemen cairan dan dukungan nutrisi serta cenderung memperlambat perkembangan hiperkalemia dan asidosis metabolik.
Efek Samping
Efek samping dari loop diuretics paling sering bermanifestasi pada abnormalitas cairan dan keseimbangan elektrolit. Kehilangan potassium dan klorida tampak menonjol, dan hipokalemia merupakan ancaman tetap pada pasien yang ditangani dengan furosemid (lihat Tabel 25-3). Evaluasi preoperatif pada pasien yang diobati furosemid dalam jangka waktu panjang, dapat berupa penilaian laboratorium untuk menilai alkalosis metabolik hipokalemia, hiponatremia dan hipomagnesemik.
Pengobatan akut atau kronik pada pasien dengan diuretik, termasuk loop diuretics, dapat mengakibatkan toleransi akut (“braking phenomenom”). Toleransi akut diduga mencerminkan retensi sodium dan air (aktivasi sistem renin-angiotensin) pada kontraksi volume cairan ekstraseluler (Brater, 1994). Penanganan toleransi akut ini yaitu dengan replesi volume ekstraseluler. Pada penggunaan diuretik yang lama, terdapat bukti bahwa terjadi hipertrofi kompensasi pada daerah tubulus ginjal (terutama pada tubulus distal) yang bertanggung jawab atas retensi sodium. Ketika hal ini terjadi pada pasien yang diobati dengan furosemid dalam waktu lama, maka memungkinkan memperbaiki efek diuretik dengan pemberian diuretik tiazid.
Pada hewan, loop diuretics menghabiskan cadangan potassium miokard dan meningkatkan kemungkinan terjadinya toksisitas digitalis. Hipokalemi dikaitkan dengan peningkatan efek obat-obatan nondepolarizing neuromuscular blocking. Bersama dengan diuretik tiazid, loop diuretics dapat menyebabkan hiperurisemia, namun hal ini jarang secara klinis. Demikian juga pada hiperglikemia, meskipun mungkin terjadi namun lebih jarang timbul dibandingkan dengan diuretik tiazid.
Furosemid meningkatkan konsentrasi aminoglikosid pada jaringan ginjal dan meningkatkan kemungkinan efek nefrotoksik dari antibiotik ini, nefrotoksisitas sefalosforin juga dapat meningkat oleh furosemid. Furosemid juga dikaitkan dengan alergi nefritis interstitial yang serupa dengan yang disebabkan oleh penisilin. Sensitivitas silang dapat timbul ketika pasien yang alergi terhadap sulfonamid lain diberikan furosemid. Klirens ginjal dari litium menurun akibat penurunan reabsorbsi sodium akibat diuresis yang diinduksi diuretik. Oleh karena itu, konsentrasi plasma litium dapat ditingkatkan secara akut dengan pemberian intravena furosemid pada masa perioperatif (Havdala et al, 1979). Pada keadaan hiperkalsemia simptomatik, furosemid dapat menurunkan konsentrasi plasma kalsium dengan menstimulasi output urin.
Berkembangnya ketulian, baik transient maupun permanen, merupakan komplikasi tergantung-dosis yang diakibatkan oleh furosemid dan asam ethacrynic. Efek samping ini biasanya terjadi dengan peningkatan berlanjut konsentrasi plasma obat ini bersama dengan obat ototoksik lainnya. Perubahan komposisi eletkrolit pada endolimfe yang diinduksi oleh obat merupakan mekanisme yang mungkin terjadi. Pasien yang alergi terhadap obat-obatan yang mengandung nukleus sulfonamide (beberapa antibiotik, diuretik tiazid) akan meningkatkan resiko terjadinya reaksi alergi ketika diobati dengan furosemid (Hansbroughe et al, 1987). Sensitivitas silang serupa pada asam ethacrynic lebih jarang terjadi karena diuretik ini kurang mengandung nukleus sulfonamide (lihat Gambar 25-2 dan 25-3)
DIURETIK OSMOTIK
Diuretik osmotik seperti manitol dan urea (a) bebas terfiltrasi pada glomerulus, (b) mengalami reabsorbsi yang terbatas dari tubulus renalis, (c) melawan metabolisme, dan (d) secara farmakologik tidak dapat bereaksi. Karakteristik ini memungkinkan pemberian diuretik osmotik untuk diberikan dalam jumlah besar guna mengubah osmolaritas plasma, filtrasi glomerulus, dan cairan tubulus renalis, dan menghasilkan diuresis osmotik. Daerah tubulus renalis (tubulus renalis proksimal, loops of Henle) memiliki permeabilitas tinggi terhadap adanya cairan menjadi lokasi utama kerja diuretik osmotik.
Manitol
Manitol merupakan osmotik diuretik yang paling sering digunakan. Secara struktur, mannitol adalah glukosa enam-karbon yang tidak mengalami metabolisme (Gambar 25-4). Senyawa ini tidak diabsorbsi dari traktus gastrointestinal, yang mengharuskan penggunaannya melalui injeksi intravena untuk memberikan efek diuretik. Mannitol tidak memasuki sel, dan hanya dibersihkan dari plasma melalui filtrasi glomerulus.
Gambar 25-4. Manitol
Mekanisme kerja
Setelah pemberian, manitol secara lengkap difiltrasi pada glomerulus, dan tidak sedikitpun obat ini diabsorbsi lanjut pada tubulus renalis (lihat Tabel 25-2) (Merin dan Bastron, 1986). Sebagai hasilnya, manitol meningkatkan osmolaritas cairan tubulus renalis dan mencegah reabsorbsi air. Sodium terlarut pada cairan yang tertahan ini pada tubulus renalis, menyebabkan kurangnya reabsorbsi dari ion ini. Sebagai akibat dari efek osmotik ini terhadap cairan tubulus renalis, terdapat efek diuretik osmotik terhadap ekskresi air, ion sodium, klorida dan magnesium (lihat Tabel 25-4) (Tonnesen, 1983). pH urin tidak berubah oleh diuresis osmotik yang diinduksi oleh manitol (lihat Tabel 25-4) (Tonnesen, 1983).
Sebagai tambahan untuk menimbulkan efek tubulus renalis, pemberian intravena manitol juga meningkatkan osmolaritas plasma, yang membawa cairan intraseluler ke ruang ekstraseluler. Peningkatan osmolaritas plasma ini dapat mengakibatkan ekspansi akut volume cairan intraseluler. Redistribusi cairan dari intraseluler menurunkan ukuran otak dan secara khusus dapat meningkatkan aliran darah ginjal hingga ke medulla. Demikian juga, peningkatan akut volume cairan intravaskuler dapat menimbulkan efek yang merugikan pada pasien dengan fungsi miokard yang buruk. Manitol merupakan pembersih radikal oksigen bebas, yang mencegah edema seluler dan mengurangi obstruksi tubular renalis.
Penggunaan klinis
Manitol diberikan untuk (a) profilaksis gagal ginjal akut, (b) diagnosis banding oliguria akut, (c) pengobatan peningkatan tekanan intrakranial, dan (d) menurunkan tekanan intraokuler.
Profilaksis gagal ginjal akut
Manitol digunakan sebagai profilaksis (“protokol proteksi ginjal”) melawan gagal ginjal akut, yang dapat timbul setelah (b) pembedahan jantung, (b) operasi transplantasi), (c) trauma berat, (d) pembedahan pada penyakit ikterus, dan (e)  kondisi nefrotoksik (reaksi hemolitik transfusi).
Pemberian profilaksis manitol dan dopamin dosis rendah serta setelah klem silang infrarenal aorta abdominal untuk mencegah kemunduran fungsi ginjal pada pasien dengan stabilititas hemodinamik yang terpelihara. Meskipun terdapat persepsi klinis  bahwa diuresis merupakan indikasi terpeliharanya fungsi ginjal, namun terdapat data bahwa output urin saja tidak memprediksi dengan akurat fungsi ginjal pada periode post operasi. Selanjutnya, konsentrasi kreatinin serum dan creatinin clereance tidak membaik setelah pemberian manitol pada pasien yang menjalani pembedahan aorta abdominal. Manfaat utama diuresis yan diinduksi oleh manitol lebih terlihat pada pasien yang memiliki respon terhadap pemberian cairan dan darah (Byrick dan Rose, 1990).
Efek protektif manitol digunakan untuk mencegah gagal ginjal akut setelah reaksi transfusi tidak membaik. Pembedahan tranplantasi ginjal merupakan contoh efek proteksi ginjal dari manitol. Insiden gagal ginjal akut lebih sedikit pada pasien yang menerima manitol sebelum revaskularisasi transplantasi ginjal (Vanvalenberg et al, 1984).
Diagnosis banding olguria akut
Manitol, 0.25 g/kg IV, sangat berguna pada diagnosis banding oliguria akut. Sebagai contoh, urin yang keluar akan meningkat dengan pemberian manitol pada olguria akut yang disebabkan oleh penurunan volume cairan intravaskuler. Sebaliknya, ketika fungsi glomerulus atau tubulus renal terganggu manitol tidak akan dapat meningkatkan aliran urin.
Penanganan peningkatan tekanan intrakranial
Manitol 0.25 hingga 1.00 g/kg IV, menurunkan tekanan intrakranial dengan meningkatkan osmolaritas plasma, yang menarik aliran dari jaringan, termasuk otak, sepanjang perbedaan gradient. Sebagai tambahan, manitol dapat memfasilitasi penurunan volume cairan serebrospinalis dengan menurunkan laju pembentukan cairan ini (Gambar 25-5) (Donato et al, 1994).
Manitol mulai menimbulkan efek dalam 10 hingga 15 menit dan efektif selama sekitar 2 jam. Hanya terdapat sedikit perbedaan efek antara dosis pada tekanan intrakranial jika dosis yang diberikan lebih besar maka dapat bertahan lebih lama (Marsh et al, 1997). Selanjutnya,  jika dosis yang lebih besar dan pemberian berulang dapat menyebabkan gangguan metabolik. Yang penting, manitol tidak disertai dengan peningkatan balik tekanan intrakranial. Blood-brain barrier yang intak penting untuk mencegah masuknya manitol ke dalam SSP. Jika blood-brain brarrier tidak intak, manitol dapat memasuki otak, menarik cairan bersamanya dan menyebabkan edema serebral balik. Tanpa disadari, otak akhirnya beradaptasi dengan peningkatan osmolaritas plasma berlanjut seperti pada pemberian manitol jangka panjang sehingga menjadi kurang efektif lagi dalam menurunkan tekanan intrakranial.
Manitol dapat menyebabkan vasodilatasi otot polos vaskuler, yang tergantung pada dosis dan kecepatan pemberian. Vasodilatasi yang diinduksi oleh manitol mempengaruhi pembuluh darah intrakranial dan ekstrakranial serta secara transient dapat meningkatkan volume darah serebral dan tekanan intrakranial ketika secara bersamaan akan menurunkan tekanan darah sistemik (Cottrell et al, 1997 ; Domalngue dan Nye, 19850. Karena manitol pada awalnya dapat meningkatakan tekanan intrakranial, maka direkomendasikan untuk memberikan dosis yang dipilih dalam waktu sekitar 10 menit dan dirangkaikan dengan pengobatan yang dapat menurunkan volume intrakranial (kortikostreoid, hiperventilasi paru-paru)
Reduksi tekanan intraokuler
Manitol, gliserin dan isosorbid kadang-kadang digunakan untuk reduksi tekanan intraokuler jangka pendek pada pasien yang menjalani operasi optalmologik. Dengan meningkatkan osmolaritas plasma, cairan meninggalkan ruang intraokuler sebesar gradient osmotik. Gliserin dan isosorbid diberikan per oral dan dapat berkontribusi pada peningkatan volume cairan lambung pada saat induksi anestesi. Reduksi maksimal tekanan intraokuler dan volume vitreus  hampir 1 jam setelah pemberian gliserin secara oral, dan kembali ke tingkat sebelum operasi mencapai 5 jam setelahnya. Metabolisme gliserin menjadi glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia dan glikosuria, sehingga perlu berhati-hati untuk memberikan senyawa ini pada pasien diabetes mellitus. Karena senyawa ini dimetabolisme dengan cepat, gliserin menghasilkan diuresisi yang minimal, dan katerisasi urin rutin pada pembedahan tidak diperlukan. Isosorbid tidak memberikan efek yang merugikan bagi peningkatan glukosa darah sehingga lebih dipilih untuk diberikan pasien diabete mellitus.
Efek samping
Pada pasien dengan oliguria sekunder akibat gagal jantung, induksi manitol akut dapat meningkatkan volume cairan intravaskuler yang akan memicu edema pulmo. Untuk alasan ini, furosemid lebih dipilih untuk penanganan peningkatan tekanan intrakranial pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri. Penggunaan manitol yang berkepanjangan dapat menyebabkan hipovolemia, gangguan elektrolit dan hiperosmolaritas plasma akibat ekskresi air dan sodium yang berlebihan. Nefrotoksin dan iskemia renal yang lanjut dapat merusak epitel tubulus renal sehingga tubulus renalis tidak lagi berespon terhadap manitol sehingga efek osmotik diuretiknya menghilang.
Diuresis sekunder pada manitol tidak mempengaruhi laju eliminasi obat-obatan non depolarizing neuromuscular-blocking. Ini diduga karena obat neuromuscular-blocking tergantung pada filtrasi glomerulus, yang tidak dipengaruhi oleh manitol. Trombosis vena jarang terjadi setelah pemberian manitol intravena, karena jaringan nekrosis tidak timbul jika terjadi ekstravasasi.
Urea
Urea, 1.0 hingga 1.5 g/kg IV, merupakan diureti osmoti yang efektif, namun tidak seperti mannitol, ukuran molekulnya yang kecil menyebabkan reabsorbsi urea yang terfiltrasi pada glomerulus lebih dari 60% (Gambar 25-6). Obat ini akhirnya masuk ke sel dan menyeberangi blood-brain barrier, menyebabkan derajat peningkatan tekanan intrakranial balik yang lebih tinggi dibanding yang terjadi setelah pemberian manitol. Kerugian lain dari  urea yaitu berkaitan dengan trombosis vena dan kemungkinan terjadinya nekrosis jaringan jika terjadi ekstravasasi cairan yang mengandung urea. Peningkatan konsentrasi nitrogen urea darah setelah pemberian urea harus dibedakan dari gagal ginjal akut.
DIURETIK POTASSIUM-SPARING
Diuretik potassium-sparing seperti triamteren dan amilorid bekerja langsung pada mekanisme transport tubulus renalis di distal tubulus bebas dari aldosteron untuk menghasilkan diuresis (Gambar 25-7, lihat Tabel 25-2) (Merin dan Bastron, 1986). Diuretik ini ditandai dengan peningkatan ekskresi urin dari sodium, klorida dan ion bikarbonat, serta peningkatan pH urin (lihat Tabel 25-4) (Tonnesen, 1983). Diuresis disertai dengan tidak meningkat atau menurunnya ekskresi potassium  pada urin (lihat tabel 25-4) (Tonnesen, 1983). Kurangnya ekskresi potassium yang diinduksi oleh diuretik akibat dari inhibisi sekresi potassium kedalam tubulus renalis distal.
Farmakokinetik
Triamteren dengan mudah diabsorbsi di traktus gastrointestinal sedangkan amiloid tidak diabsorbsi secara sempurna. Amilorid lebih poten dibandingkan dengan triamteren dan senyawa ini tidak dimetabolisme (Saggar-Malik dan Cappuccio, 1993). Triamteren merupakan pteridin dengan struktur yang menyerupai asam folat (lihat Gambar 25-7). Triamteren dimetabolisme dengan luas dan beberapa dari metabolitnya memiliki aktivitas diuretik. Waktu paruh eliminasi untuk triamteren yaitu 3 hingga 5 jam dan untuk amilorid sekitar 18 jam. Perubahan farmakokinetik triamteren terjadi pada pasien dengan penyakit ginjal, sehingga obat  ini harus hati-hati digunakan pada pasien yang demikian.

Penggunaan klinis
Diuretik  potassium-sparing paling sering digunakan bersama dengan loop diuretics atau dengan diuretik tiazid untuk menambah diuresis dan membatasi hilangnya potassium ginjal. Obat ini tidak tersedia dalam bentuk parenteral dan jarang diberikan pada pasien perioperatif atau pasien dengan penyakit kritis. Karena amilorid dan triamteren bekerja di nefron bagian daripada tiazid, obat ini pada dasarnya kurang efektif. kombinasi tiazid dan diuretik potassium-sparing memaksimalkan efisiensi diuresis dari kedua tipe obat dengan saling mengimbangi efek ekskresi potassiumnya. Amilorid aerosol diberikan pada pasien dengan fibrosis kistik guna memperbaiki viskositas sputum, nampaknya dengan menghambat absorbsi berlebihan sodium yang melewati epitel jalan napas (Knowles et al., 1990).
Efek samping
Hiperkalemia merupakan efek samping utama dari diuretik potassium-sparing (lihat Tabel 25-4). Tidak sama dengan diuretik lain, obat ini tidak menyebabkan hiperurisemia. Pasien dengan resiko gagal ginjal akut juga beresiko mengalami hiperkalemia jika pengobatan dengan diuretik potassium-sparing  ini dilanjutkan. Hiperkalemia juga beresiko pada pasien yang mendapat pengobatan senyawa ini bersama dengan obat-obatan lain yang meningkatkan konsentrasi potassium plasma (anti inflamasi non steroid, inhibitor angiotensin-converting enzyme, beta-bloker).
ANTAGONIS ALDOSTERON
Spironolakton merupakan steroid sintetik analog yang bekerja sebagai diuretik potassium-sparing. Obat ini mengandung struktur yang menyerupai aldosteron (Gambar 25-8, lihat Tabel 25-2) (Merin dan Bastron, 1986).
Mekanisme kerja
Spironolakton berikatan dengan reseptor mineral kortikoid sistoplasmik pada duktus kolektikus dan bekerja sebagai kompetitor antagonis terhadap aldosteron. Spironolakton hanya efektif jika terdapat aldosteron. Normalnya, aldosteron menambah reabsorbsi tubular renalis terhadap ion sodium dan klorida serta meningkatkan ekskresi ion potassium. Spironolakton menghambat efek tubulus renalis aldosteron ini, dengan menghambat reabsorbsi sodium dan klorida. Ikatan spironolakton dengan kompleks reseptor mencegah kompleks reseptor-aldosteron dari translokasi ke nukleus sel (menghambat ekspresi gen). Hal ini sejalan dengan pengamatan bahwa obat ini membutuhkan 2 hingga 4 hari untuk memberikan efek. Selanjutnya, efek spironolakton  terhadap aldosteron bertahan dalam 48 hingga 72 jam. Spironolakton beresiko menyebabkan hiperkalemia, asidosis hiperkloremik pada pasien yang mendapat pengobatan ini dan memiliki gagal ginjal akut.
Farmakokinetik
Absorbsi oral spironolakton mencapai 70% dari dosis yang diberikan. Spironolakton mengalami metabolisme hepar yang ekstensif. Ikatan terhadap protein plasma lebih luas, dan tidak terdapat perubahan bentuk pada urin. Kanrenon merupakan metabolit utama dari spironolakton, yang dapat dimetabolisme menjadi canrenoate. Cenrenone merupakan antagonis aldosteron aktf, sedangkan canrenoate tidak memiliki aktivitas farmakologik (Saggar-Malik dan Cappuccio, 1993).
Penggunaan klinis
Spironolakton sering diberikan untuk pengobatan edema refraktori akibat gagal jantung kongestif dan sirosis hepar dengan anggapan bahwa penurunan fungsi hepar dan metabolisme menyebabkan peningkatan konsentrasi plasma aldosteron. Efek antihipertensi diuretik ini serupa dengan diuretik tiazid namun efek sampingnya berbeda. Kombinasi spironolakton dengan diuretik tiazid memaksimalkan efisiensi diuresis dari kedua tipe obat dengan saling mengimbangi efek ekskresi potassiumnya.

Efek samping
Hiperkalemia, terutama pada keadaan disfungsi renal, merupakan efek samping paling serius dari pengobatan dengan spironolakton (lihat Tabel 25-3). Berbeda dengan diuretik tiazid, spironolakton tidak menyebabkan hipokalemia, hiperglikemia atau hiperurisemia (lihat Tabel 25-3).
INHIBITOR ANHIDRASE KARBONIK
Asetazolamid merupakan prototipe dari golongan obat-obatan sulfonamide yang berikatan dengan enzim anhidrase karbonik, menyebabkan inhibisi non-kompetitif terhadap aktivitas enzim, terutama pada tubulus renalis proksimal (gambar 25-9, lihat Tabel 25-2) (Merin dan Bastron, 1986). Sebagai akibat dari inhibisi enzim, ekskresi ion hidrogen dikurangi dan hilangnya ion bikarbonat akan ditingkatkan (lihat Tabel 25-3) (Tonnesen, 1983). Klorida dipertahankan oleh ginjal untuk menyeimbangi kehilangan bikarbonat dan kemudian memelihara keseimbangan ion. Penurunan ketersediaan  ion hidrogen pada tubulus renalis distal menyebabkan  ekskresi potassium bertukar dengan sodium. Efek akhir dari semua pertukaran ekskresi ini akan menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik. Efek diuretik acetazolamid tidak dipengaruhi oleh asidosis metabolik ataupun respirasi. Setelah pemberian oral, asetazolamid diekskresikan tanpa perubahan bentuk oleh ginjal dalam 24 jam.
Penggunaan klinis
Asetazolamid, 250 hingga 500 mg per oral, diberikan untuk mengobati penyakit berat dan untuk menurunkan tekanan intraokuler dalam penanganan glaukoma. Penurunan tekanan intraokuler menunjukkan adanya konsentrasi tinggi enzim anhidrasi karbonik pada struktur intraokuler dan menyebabkan penurunan pembentukan humor aquos ketika aktivitas enzim dihambat oleh asetazolamid. Pembentukan cairan serebrospinal juga dihambat oleh asetazolamid. Asetazolamid menginhibisi aktivitas kejang, dengan cara menghasilkan asidosis metabolik.
Keuntungan efek asetazolamid dalam penanganan paralisis periodik familial menunjukkan adanya asidosis metabolik yang diinduksi oleh obat, yang meningkatkan konsentrasi lokal dari potassium di otot skeletal. Asetazolamid, dapat menyebabkan asidosis metabolik, yang dapat menstimulasi pasien yang hipoventilasi sebagai respon kompensasi terhadap alkalosis metabolik.
ANGONIS RESEPTOR DOPAMIN
Contoh obat yang menambah fungsi renal dan efek diuretik melalui kerja reseptor dopamin yaitu dopamin dan fenoldopam (lihat Gambar 25-1). Sebagai tambahan terhadap kerja dopamin, obat ini juga meningkatkan efek reseptor alfa dan beta (lihat Tabel 25-5) (Garwood dan Hines, 1998).
Reseptor dopamin dibagi menjadi subtipe dopamin-1 dan dopamin-2. Reseptor dopamin-1, tapi tidak reseptor dopamin-2, menstimulasi siklase adenil dan fosfolipase serta pembentukan siklik adenosin monofosfat. Pada vaskularisasi ginjal, reseptor dopamin memediasi vasodilatasi dan meningkatkan aliran darah ginjal serta laju filtrasi lomerulus. Pada tubulus renalis, stimulasi reseptor dopamin-1 menghambat reabsorbsi sodium dan mendukung natriuresis. Reseptor dopamin-2 pada pembuluh darah ginjal menghambat pelepasan norepinefrin dari ujung saraf simpatik post ganglionik tapi aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus tidak meningkat.
Dopamin
Dopamin merupakan campuran reseptor dopamin-1 dan dopamin-2 pada dosis rendah (1 hingga 3 µg/kg IV per menit) dan agonis beta1 dengan dosis yang lebih tinggi mendukung efek dopamin dalam meningkatkan curah jantung, tekanan perfusi ginjal dan aliran darah ginjal. Stimulasi reseptor dopamin-1 pada tubulus renalis menstimulasi natriuresis. Dopamin dapat memberikan efek renoprotektif dengan menghambat pompa sodium dan menurunkan konsumsi oksigen tubulus ginjal. Dopamin sering dimasukkan dalam protokol pemeliharaan fungsi ginjal. Namun, data menunjukkan efek proflaksis protektif renal pada dosis rendah dopamin rendah dan penggunaan dopamin rutin dengan tujuan ini tidak direkomendasikan (Perdue et al., 1998; Galley, 2000). Ketika pasien dengan keadaan disfungsi ginjal menjalani angiografi menerima profilaksis dopamin, konsentrasi kreatinin serum meningkat dibanding pasien yang menerima cairan (Gare et al., 1999). Selanjutnya, efek farmakologik dopamin tidak dapat diprediksi karena variabilitas individu pada farmakokinetiknya, misalnya dosis rendah dopamin dapat meningkatkan konsentrasi plasma tergantung pada rentan aginis alfa pada beberapa pasien (MacGregot et al., 2000) .
Dopamin juga disintesis endogen pada sel tubulus renalis dari L-dopa menyebabkan inhibisi pompa ATP-ase sodium/potassium (Holtback et al., 2000).
Fenoldopam
Fenoldopam merupakan agonis dopamin-1 postsinaps selektif dengan akitivitas lemah dari agonis reseptor 5-5 hiroksitriptamin-2 dan dopamin-2 non-signifikan, efek agonis alfa dan beta. Infus fenoldopam (0.1 hingga 0.5 µg/kg/menit) menghasilkan vasodilatasi renal dan meningkatkan alirah darah ginjal tanpa mengubah tekanan darah sistemik. Dosis fenoldopam yang lebih tinggi dapat menurunkan tekanan darah sistemik, namun tidak sama dengan sodium nitropusid, fenoldopam ini menginduksi penurunan tekanan darah namun tidak menurunkan tekanan darah ginjal. Prinsip penggunaan fenoldopam yaitu sebagai obat antihipertensi intravena. Efek renoprotektif fenoldopam tidak dapat dinilai.
Infus fenoldopam jangka pendek (0.1 µg/kg/menit) yang dikombinasi dengan norepinefrin dan dobutamin meningkatkan perfusi mukosa gaster pada pasien dengan syok septik (Morelli et al., 2004). Mukosa intestinal diindetifikasi sebagai target cedera selama syok septik. Perubahan aliran dalan dinding intestinal (iskemia) menjadi faktor kontributif pada cedera mukosa dan disfungsi organ multipel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar