DISASTER VICTIM IDENTIFICATION
I. PENDAHULUAN
Form PostMortem from INTERPOL |
Identifikasi korban bencana
diperlukan sebagai perwujudan Hak Azasi Manusia dan penghormatan kepada orang
meninggal dan ahli warisnya yaitu mengenali, merawat, mendoakan, menguburkan
sesuai dengan agama dan keyakinan, adat istiadat dan menyerahkan kepada
keluarganya. Identifikasi mutlak diperoleh untuk menentukan secara hukum masih
hidup atau matinya seseorang, juga berkaitan dengan bidang santunan, warisan,
asuransi jiwa, hak pensiun, kemungkinan untuk menikah lagi bagi pasangan yang
ditinggalkan dan membantu kepolisian dalam rangka proses Penyidikan. Agar benar
dan diakui dalam proses kerja berdasar ilmiah.1
DVI
adalah suatu prosedur yang telah ditentukan untuk Mengidentifikasi korban mati
secara ilmiah dalam sebuah insiden atau bencana masal berdasarkan Protokol
INTERPOL ;2,3
·
Pemenuhan salah satu HAM
·
Dapat merupakan bagian dari proses
investigasi
·
Dapat bermanfaat dalam merekontruksi
tentang sebab bencana
·
Merupakan suatu prosedur yang sah dan
dapat dipertanggungjawabkan hasilnya kepada masyarakat dan hukum.
·
Diperlukan karena karena pada banyak
kasus identifikasi visual tidak dapat dipertanggungjawabkan atau diterapkan
karena kondisi korban yang sudah rusak tidak mungkin lagi dikenali.
·
Pemenuhan aspek hukum perdata
·
Pengembalian jenazah dengan identitas
secara pasti kepada keluarganya
·
Pemenuhan Pasal 51 ayat 5 PP No.21
tentang Penyelenggaraan PB.
II. PROSES DVI
Adapun proses
DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan
lainnya, yang terdiri dari Fase TKP-‘The Scene’, Fase Pengumpulan data
jenazah-‘The Mortuary’ atau Post Mortem, Fase Pengumpulan data jenazah sewaktu
hidup-‘Ante Mortem Information Retrieval’, Fase Pembandingan-‘Reconciliation’
and Fase analisa dan evaluasi-‘Debriefing’.2,3,6
A. Initial Action at the Disaster Site
Merupakan tindakan awal yang
dilakukan di tempat kejadian peristiwa (TKP) bencana. Ketika suatu bencana
terjadi, prioritas yang paling utama adalah untuk mengetahui seberapa luas
jangkauan bencana. Sebuah organisasi resmi harus mengasumsikan komando operasi
secara keseluruhan untuk memastikan koordinasi personil dan sumber daya
material yang efektif dalam penanganan bencana. Dalam kebanyakan kasus, polisi
memikul tanggung jawab komando untuk operasi secara keseluruhan. Sebuah tim
pendahulu (kepala tim DVI, ahli patologi forensik dan petugas polisi) harus
sedini mungkin dikirim ke TKP untuk mengevaluasi situasi berikut :7
*
Keluasan
TKP : pemetaan jangkauan bencana dan pemberian koordinat untuk area bencana.
*
Perkiraan
jumlah korban.
*
Keadaan
mayat.
*
Evaluasi
durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI.
*
Institusi
medikolegal yang mampu merespon dan membantu proses DVI.
*
Metode
untuk menangani mayat.
*
Transportasi
mayat.
*
Penyimpanan
mayat.
*
Kerusakan
properti yang terjadi.
Pada prinsipnya untuk fase tindakan
awal yang dilakukan di situs bencana, ada tiga langkah utama. Langkah pertama
adalah to secure atau untuk mengamankan, langkah kedua adalah to
collect atau untuk mengumpulkan dan langkah ketiga adalah documentation
atau pelabelan.7
Pada langkah to secure
organisasi yang memimpin komando DVI harus mengambil langkah untuk mengamankan
TKP agar TKP tidak menjadi rusak. Langkah – langkah tersebut antara lain adalah
:7
·
Memblokir
pandangan situs bencana untuk orang yang tidak berkepentingan (penonton yang
penasaran, wakil – wakil pers, dll), misalnya dengan memasang police line.
·
Menandai
gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
·
Menyediakan
jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan.
·
Menyediakan
petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja yang memiliki akses
untuk masuk ke lokasi bencana.
·
Periksa
semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan kehaditan dan
otorisasi.
·
Data
terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus meninggalkan area
bencana.
Pada langkah to collect
organisasi yang memimpin komando DVI harus mengumpulkan korban – korban bencana
dan mengumpulkan properti yang terkait dengan korban yang mungkin dapat digunakan
untuk kepentingan identifikasi korban.7
Pada langkah documentation
organisasi yang memimpin komando DVI mendokumentasikan kejadian bencana dengan
cara memfoto area bencana dan korban kemudian memberikan nomor dan label pada
korban.7
Setelah ketiga langkah tersebut
dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label dimasukkan ke dalam
kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.7
B. Collecting Post Mortem Data
Pengumpulan data post-mortem
atau data yang diperoleh paska kematian dilakukan oleh post-mortem unit
yang diberi wewenang oleh organisasi yang memimpin komando DVI. Pada fase ini
dilakukan berbagai pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan
mencatat data selengkap – lengkapnya mengenai korban. Pemeriksaan dan
pencatatan data jenazah yang dilakukan diantaranya meliputi :7
o Dokumentasi korban dengan
mengabadikan foto kondisi jenazah korban.
o Pemeriksaan fisik, baik pemeriksaan
luar maupun pemeriksaan dalam jika diperlukan.
o Pemeriksaan sidik jari.
o Pemeriksaan rontgen.
o Pemeriksaan odontologi forensik :
bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi
yang identik pada 2 orang yang berbeda.
o Pemeriksaan DNA.
o Pemeriksaan antropologi forensik :
pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat
badan, tatto hingga cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban.
Data – data hasil pemeriksaan
tersebut kemudian digolongkan ke dalam data primer dan data sekunder sebagai
berikut :7
§ PRIMER : SIDIK JARI, PROFIL
GIGI, DNA.
§ SECONDARY : VISUAL, FOTOGRAFI, PROPERTI
JENAZAH, MEDIK-ANTROPOLOGI (TINGGI BADAN, RAS, DLL).
Selain mengumpulkan data paska
kematian, pada fase ini juga ekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah
perubahan – perubahan paska kematian pada jenazah, misalnya dengan meletakkan
jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan.7
C. Collecting Ante Mortem Data
Pada fase ini dilakukan pengumpulan
data mengenai jenazah sebelum kematian. Data ini biasanya diperoleh dari
keluarga jenazah maupun orang yang terdekat dengan jenazah. Data yang diperoleh
dapat berupa foto korban semasa hidup, interpretasi ciri – ciri spesifik
jenazah (tattoo, tindikan, bekas luka, dll), rekaman pemeriksaan gigi korban,
data sidik jari korban semasa hidup, sampel DNA orang tua maupun kerabat
korban, serta informasi – informasi lain yang relevan dan dapat digunakan untuk
kepentingan identifikasi, misalnya informasi mengenai pakaian terakhir yang
dikenakan korban.7
D. Reconciliation
Pada fase ini dilakukan pembandingan
data post mortem dengan data ante mortem. Ahli forensik dan
profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi menentukan apakah
temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante mortem
milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang dibandingkan
terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak. Apabila
data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap negatif
dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante
mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah.7
E. Returning to the Family
Korban yang telah diidentifikasi
direkonstruksi hingga didapatkan kondisi kosmetik terbaik kemudian dikembalikan
pada keluarganya untuk dimakamkan. Apabila korban tidak teridentifikasi maka
data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem
yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah, dan pemakaman jenazah
menjadi tanggung jawab organisasi yang memimpin komando DVI. Sertifikasi
jenazah dan kepentingan mediko-legal serta administrative untuk penguburan
menjadi tanggung jawab pihak yang menguburkan jenazah.7
III.
METODE IDENTIFIKASI
Identifikasi
Massal adalah proses pengenalan jati diri korban massal yang terjadi akibat
bencana. Identifikasi dilakukan dengan memanfaatkan ilmu Kedokteran dan Kedokteran
gigi pada korban baik hidup maupun mati.4
Pada
prinsipnya identifikasi adalah prosedur Penentuan identitas individu, baik
hidup ataupun mati, yang dilakukan pembandingan berbagai data dari individu
yang diperiksa dengan data dan orang yang disangka sebagai individu tersebut.
Sebagai prinsip umum dapat dikatakan bahwa :5
1. Pada
identifikasi Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan sebanyak mungkin
metode identifikasi,
2. Jika
ada data yang tidak cocok, maka kemungkinan tersangka sebagai individu tersebut
dapat disingkirkan eksklusi,
3. Setiap
kesesuaian data akan menyebabkan ketetapan identifikasi semakin tinggi.
Untuk mengidentifikasi korban bencana, dua data yang berbeda harus
dikumpulkan:8
ü Data tentang orang yang
hilang, yaitu orang-orang yang diketahui atau diduga telah hadir ketika bencana
terjadi dan tidak terdaftar sebagai korban.
ü Data mayat yang ditemukan
dari tempat kejadian.
Yang dimaksud dengan
Metode identifikasi adalah cara atau teknik yang dapat digunakan untuk
menentukan identifikasi seseorang melalui metode daktiloskopi, Fotografi,
Superimpuse, Odontologi, Antropometri, DNA, Sinyalemen dan Raut Wajah.4
Dalam melakukan
proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan tehnik identifikasi yang
dapat digunakan. Namun demikian Interpol menentukan Primary Indentifiers yang terdiri dari Fingerprints-sidik jari, Dental
Records-hasil pemeriksaan gigi geligi dan DNA serta Secondary Indentifiers yang terdiri dari Medical-data medis, Property-barang
kepemilikan dan Photography.
Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data Ante
Mortem yaitu data-data yang
penting dari korban sebelum kejadian atau pada waktu korban masih hidup,
termasuk data vital tubuh, data gigi, data sidik jari, dan data kepemilikan
yang dipakai atau dibawa dan Post Mortem yaitu data-data hasil pemeriksaan forensik yang dilihat dan ditemukan
pada jenazah korban, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik.
Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan
Secondary Identifiers.2,3,6
Metode sederhana, diantaranya :6
1. Cara
visual, dapat bermanfaat bila kondisi mayat masih baik, cara ini mudah karena
identitas dikenal melalui penampakan luar baik berupa profil tubuh atau muka.
Cara ini tidak dapat diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi
serta harus mempertimbangkan faktor psikologis keluarga korban (sedang berduka,
stress, sedih, dll)
2. Melalui
kepemilikan (property) identititas cukup dapat dipercaya terutama bila
kepemilikan tersebut (pakaian, perhiasan, surat jati diri) masih melekat pada
tubuh korban.
3. Dokumentasi,
foto diri, foto keluarga, foto sekolah, KTP atau SIM dan lain sebagainya.
Metode ilmiah, antara lain: 1) Sidik
jari, 2) Serologi, 3) Odontologi, 4) Antropologi dan 5) Biologi.6
Identifikasi personal dilakukan
dengan melakukan pemeriksaan berdasarkan beberapa metode identifikasi. Ada 9 macam
metode identifikasi yaitu:5,11
1. Metode
Visual
Identifikasi dilakukan dengan melihat
tubuh atau bagian tubuh korban secara visual, misalnya muka, tungkai dan sebagainya.
Metode ini hanya dapat dilakukan jika tubuh atau bagian tubuh tersebut masih
utuh atau masih dalam keadaan baik dan belum terjadi pembusukan yang lanjut.
2. Perhiasan
Beberapa perhiasan yang dipakai korban,
seperti cincin, gelang, rantai, arloji, liontin, dan sebagainya dapat
mengarahkan kita kepada identitas korban tersebut. Perhiasan mempunyai nilai
yang lebih tinggi jika ia mempunyai ciri khas, seperti gravir nama, foto dalam
liontin, bentuk atau bahan yang khas dan sebagainya.
3. Pakaian
Pakaian luar dan dalam yang dipakai
korban merupakan data yang amat berharga untuk menunjukkan identitas si
pemakainya, bentuknya yang unik atau yang mempunyai label tertentu (label nama,
penjahit, binatu atau merek) memiliki nilai yang lebih karena dapat mempersempit
kemungkinan tersangka.
4. Dokumen
Dokumen seperti SIM, KTP, Pasport, kartu
golongan darah, tanda pembayaran dan lain sebagainya yang ditemukan dalam
dompet atau tas korban dapat menunjukkan identitas orang yang membawa dokumen tersebut,
khususnya jika dokumen tersebut dibawa sendiri oleh pemiliknya dan tidak palsu.
5. Identifikasi
secara medis
Pemeriksaan medis dilakukan untuk
mendapatkan data umum dan data khusus individu berdasarkan pemeriksaan atas
fisik individu tersebut. Pada pengumpulan data umum dicari data yang umum
diketahui dan dimiliki oleh setiap individu dan mudah dikonfirmasi kepada
keluarga, seperti data ras, jenis kelamin, umur, berat badan, warna kulit,
rambut, dan sebagainya. Data khusus adalah data yang belum tentu dimiliki oleh
setiap individu atau data yang tidak dengan mudah dikonfirmasi kepada
keluarganya, seperti data foto rontgen untuk mengetahui keadaan sutura; bekas
patah tulang atau pen serta pasak yang dipakai pada perawatan penderita patah
tulang, data laboratorium, adanya tatoo, bekas operasi atau jaringan parut,
tehnik superimposisi, tehnik rekonstruksi wajah, dan sebagainya.
6. Odontologi
forensik
Pemeriksaan atas gigi geligi dan
jaringan sekitarnya serta berbagai perubahan akibat perawatan gigi dapat
membantu menunjukkan identitas individu yang bersangkutan.
7. Serologi
forensik
Pada awalnya yang termasuk dalam
kategori pemeriksaan serologi adalah pemeriksaan terhadap polimorfisme protein
yaitu pemeriksaan golongan darah dan golongan protein serum. Perkembangan ilmu
kedokteran menyebabkan ruang lingkup serologi diperluas dengan pemeriksaan
polimorfisme protein lain yaitu pemeriksaan terhadap enzim eritrosit serta
pemeriksaan antigen Human Lymphocyte Antigen (HLA).
Pada saat ini dengan berkembangnya
analisis polimorfisme DNA, bidang ini menjadi lebih luas lagi karena bahan
pemeriksaan bukan lagi darah, melainkan hampir seluruh sel tubuh kita. Hal ini
memberikan dampak kecenderungan penggantian istilah serologi dengan istilah
hemereologi yang mencakup semua hal diatas.
8. Sidik
jari
Telah lama diketahui bahwa sidik jari
setiap orang di dunia tidak ada yang sama sehingga pemeriksaan sidik jari dapat
digunakan untuk identifikasi individu.
9. Eksklusi
Dalam kecelakaan massal yang menyebabkan
kematian sejumlah individu, yang nama-namanya ada dalam daftar individu (data
penumpang, data pegawai dan sebagainya), maka jika (n-1) individu telah
teridentifikasi, maka satu individu terakhir diputuskan tanpa pemeriksaan (per
ekslusionam) sebagai individu yang tersisa menurut daftar tersebut.
Khusus pada korban bencana massal,
telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai yaitu :2,3,6
(a). Primer/utama
1. Catatan
atau hasil pemeriksaan gigi geligi (Dental Records)
2. sidik
jari (Finger Prints)
3. DNA
(b). Sekunder/pendukung
1. visual
2. property
(Barang kepemilikan)
3. data
medis (Medical)
Berikut
ini akan di bahas metode-metode tersebut untuk identifikasi korban bencana
secara massal :
1. Dental
Records
Bentuk
gigi dan bentuk rahang merupakan ciri khusus seseorang, sedemikian khususnya
sehingga dapat dikatakan tidak ada gigi atau rahang yang identik pada dua orang
yang berbeda, menjadikan pemeriksaan gigi ini mempunyai nilai tinggi dalam hal
penentuan jati diri seseorang. Gigi merupakan suatu cara identifikasi yang
dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang
pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat
penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti halnya
kebakaran. dimana dalam keadaan tersebut pemeriksaan sidik jari tidak dapat
dilakukan, sehingga dapat dikatakan gigi merupakan pengganti dari sidik jari.
Satu keterbatasan pemanfaatan gigi sebagai sarana identitas adalah belum
meratanya sarana untuk pemeriksaan gigi, demikian pula pendataannya (dental
record). Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi (Odontogram) dan rahang
yang dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual, sinar-X dan
pencetakan gigi dan rahang. Odontogram memuat data tentang jumlah, bentuk,
susunan, tambalan, protesa gigi dan sebagainya. Seperti halnya dengan sidik
jari, maka setiap individu memiliki susunan gigi yang khas. Dengan demikian
dapat dilakukan identifikasi dengan cara membandingkan data temuan dengan data
pembanding antemortem.6,11,12
Sebagai
suatu metode identifikasi pemeriksaan gigi memiliki keunggulan sebagai berikut
:5,6,13
a. Gigi
dan restorasinya merupakan jaringan keras yang resisten terhadap pembusukan dan
pengaruh lingkungan yang ekstrem. Karena gigi komposisinya sebagian besar
terdiri dari bahan anorganik sehingga tidak mudah rusak, sedangkan bahan
organik dan airnya sedikit sekali.
b. Karakteristik
individual yang unik dalam hal susunan gigi geligi dan restorasi gigi
menyebabkan dimungkinkannya identifikasi dengan ketepatan yang tinggi. (1:
1050).
Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai:
a. umur
b. jenis kelamin
c. ras
d. golongan darah
e.
bentuk wajah
f.
DNA
c.
Kemungkinan
tersedianya data ante mortem gigi dalam bentuk catatan medis gigi (dental
record) dan data radiologis.
2. Pemeriksaan Sidik Jari
Metode ini membandingkan gambaran sidik jari jenazah dengan sidik
jari antemortem. Sampai saat ini, pemeriksaan sidik jari merupakan pemeriksaan
yang diakui paling tinggi ketepatannya untuk menentukan identitas seseorang.
Sifat yang dimiliki oleh sidik jari antara lain :12,14
a.
Perennial nature, yaitu
guratan-guratan pada sidik jari yang melekat pada kulit manusia seumur hidup.
b.
Immutability, yaitu sidik jari seseorang tidak pernah
berubah, kecuali mendapatkan kecelakaan yang serius.
c.
Individuality, pola sidik jari adalah unik dan berbeda untuk
setiap orang.
Dapat dikatakan bahwa tidak ada dua
orang yang sama mempunyai sidik jari yang sama, walaupun kedua orang tersebut
kembar monozigot. Atas dasar ini, sidik jari merupakan sarana yang penting
khususnya bagi kepolisian didalam mengetahui jati diri seseorang, oleh karena
selain kekhususannya, juga mudah dilakukan secara masal dan murah
pembiayaannya. Walaupun pemeriksaan sidik jari tidak dilakukan dokter, dokter
masih punya kewajiban yaitu untuk mengambil (mencetak) sidik jari, khususnya
sidik jari pada korban yang tewas dan keadaan mayatnya telah membusuk. Teknik
pengembangan sidik jari pada jari telah keriput, serta mencopot kulit ujung
jari yang telah mengelupas dan memasangnya pada jari pemeriksa, baru kemudian
dilakukan pengambilan sidik jari, merupakan prodedur yang harus diketahui oleh
dokter.11
Menurut Francis Galton (1822-1916)
mengatakan bahwa tidak ada dua sidik jari yang sama, artinya setiap sidik jari
dimiliki seseorang adalah unik. Berdasarkan klasifikasi, pola sidik jari dapat
dinyatakan secara umum ke dalam tiga bentuk yaitu :14
1. Tipe Arch, Pada
patern ini kerutan sidik jari muncul dari ujung, kemudian mulai naik di tengah,
dan berakhir di ujung yang lain.15
2.
Tipe Loop,
Pada patern ini kerutan muncul dari sisi jari, kemudian membentuk sebuah kurva,
dan menuju keluar dari sisi yang sama ketika kerutan itu muncul.15
3.
Tipe Whorl,
Pada patern ini kerutan berbentuk sirkuler yang mengelilingi sebuah titik pusat
dari jari. 15
3.
Pemeriksaan
DNA
DNA
atau DeoxyriboNucleic Acid merupakan
asam nukleat yang menyimpan semua informasi tentang genetika. DNA inilah yang
menentukan jenis rambut, warna kulit dan sifat-sifat khusus dari manusia. DNA
ini akan menjadi cetak biru (blue print) ciri khas manusia yang dapat diturunkan kepada
generasi selanjutnya. Sehingga dalam tubuh seorang anak komposisi DNA nya sama
dengan tipe DNA yang diturunkan dari orang tuanya. Sedangkan tes DNA adalah
metode untuk mengidentifikasi fragmen-fragmen dari DNA itu sendiri. Atau secara
sederhananya adalah metode untuk mengidentifikasi, menghimpun dan
menginventarisir file-file khas karakter tubuh.16
Tes DNA umumnya digunakan untuk 2 tujuan yaitu (1)
tujuan pribadi seperti penentuan perwalian anak atau penentuan orang tua dari
anak dan (2) tujuan hukum, yang meliputi masalah forensik seperti identifikasi
korban yang telah hancur, sehingga untuk mengenali identitasnya diperlukan
pencocokan antara DNA korban dengan terduga keluarga korban ataupun untuk
pembuktian kejahatan semisal dalam kasus pemerkosaan atau pembunuhan. Hampir
semua sampel biologis tubuh dapat digunakan untuk sampel tes DNA, tetapi yang
sering digunakan adalah darah, rambut, usapan mulut pada pipi bagian dalam (buccal
swab), dan kuku. Untuk kasus-kasus forensik, sperma, daging,
tulang, kulit, air liur atau sampel biologis apa saja yang ditemukan di tempat
kejadian perkara (TKP) dapat dijadikan sampel tes DNA.16
DNA yang biasa digunakan dalam tes ada dua yaitu
DNA mitokondria dan DNA inti sel. Perbedaan kedua DNA ini hanyalah terletak
pada lokasi DNA tersebut berada dalam sel, yang satu dalam inti sel sehingga
disebut DNA inti sel, sedangkan yang satu terdapat di mitokondria dan disebut
DNA mitokondria. Untuk tes DNA, sebenarnya sampel DNA yang paling akurat
digunakan dalam tes adalah DNA inti sel karena inti sel tidak bisa berubah. DNA
dalam mitokondria dapat berubah karena berasal dari garis keturunan ibu yang
dapat berubah seiring dengan perkawinan keturunannya. Sebagai contoh untuk
sampel sperma dan rambut. Yang paling penting diperiksa adalah kepala spermatozoanya
karena didalamnya terdapat DNA inti, sedangkan untuk potongan rambut yang
paling penting diperiksa adalah akar rambutnya. Tetapi karena keunikan dari
pola pewarisan DNA mitokondria menyebabkan DNA mitokondria dapat dijadikan
sebagai marka (penanda) untuk tes DNA dalam upaya mengidentifikasi hubungan
kekerabatan secara maternal.16
Untuk akurasi kebenaran dari tes DNA hampir
mencapai 100% akurat. Adanya kesalahan bahwa kemiripan pola DNA bisa terjadi
secara random (kebetulan) sangat kecil kemungkinannya, mungkin satu diantara
satu juta. Jikapun terdapat kesalahan itu disebabkan oleh faktor human error terutama pada kesalahan interprestasi
fragmen-fragmen DNA oleh operator (manusia). Tetapi dengan menerapkan standard
of procedur yang tepat kesalahan human error dapat diminimalisir atau bahkan
ditiadakan.16
Metode
tes DNA yang umumnya digunakan di dunia ini masih menggunakan metode
konvensional yaitu elektroforesis DNA. Sedangkan metode tes DNA yang terbaru adalah
dengan menggunakan kemampuan partikel emas berukuran nano untuk berikatan
dengan DNA.
Prinsip metode ini adalah mempergunakan untai pendek DNA yang disebut Probe yang telah diberi zat pendar. Probe ini dirancang spesifik untuk gen
sampel tertentu dan hanya akan menempel/berhibridisasi dengan DNA sampel
tersebut. Partikel emas berukuran nano dalam metode ini berperan dalam mengikat Probeyang tidak terhibridasi.
Pendeteksian dilakukan dengan penyinaran pada panjang gelombang tertentu.
Keberadaan DNA yang sesuai dengan DNA Probe dapat dilihat dari pendaran sampel
tersebut. Jumlah DNA target tersebut kira-kira berbanding lurus terhadap
intensitas pendaran sinar yang dihasilkan.16
Keunggulan metode ini dibandingkan dengan metode
konvensional adalah pada kecepatan dan harganya yang jauh lebih cepat dan murah
dibandingkan metode elektroforesis DNA.16
4.
Identifikasi
Medik
Metode
ini menggunakan data umum dan data khusus. Data umum meliputi tinggi badan,
berat badan, rambut, mata, hidung, gigi dan sejenisnya. Data khusus meliputi
tattoo, tahi lalat, jaringan parut, cacat kongenital, patah tulang dan
sejenisnya. Metode ini mempunyai nilai tinggi karena selain dilakukan oleh
seorang ahli dengan menggunakan berbagai cara atau modifikasi (termasuk
pemeriksaan dengan sinar-X) sehingga ketepatannya cukup tinggi. Bahkan pada
tengkorak/kerangka pun masih dapat dilakukan metode identifikasi ini. Melalui
metode ini diperoleh data tentang jenis kelamin, ras, perkiraan umur, tinggi
badan, kelainan pada tulang dan sebagainya.11,12
Upaya
identifikasi pada kerangka bertujuan membuktikan bahwa kerangka tersebut adalah
kerangka manusia, ras, jenis kelamin, perkiraan umur, tinggi badan, ciri-ciri
khusus, deformitas, dan bila memungkinkan dapat dilakukan rekonstruksi wajah.
Dicari pula tanda kekerasan pada tulang. Perkiraan saat kematian dilakukan
dengan memperhatikan keadaan kekeringan tulang.12
Bila
terdapat dugaan berasal dari seseorang tertentu, maka dilakukan identifikasi
dengan membandingkannya dengan data ante mortem. Bila terdapat foto terakhir
wajah orang tersebut semasa hidup, dapat dilaksanakan metode superimposisi,
yaitu dengan jalan menumpukkan foto rontgen tulang tengkorak di atas foto wajah
yang dibuat berukuran sama dan diambil dari sudut pemotretan yang sama. Dengan
demikian dapat dicari adanya titik-titik persamaan.12
Penentuan
ras mungkin dilakukan dengan pemeriksaan antropologik pada tengkorak, gigi
geligi dan tulang panggul atau tulang lainnya. Arcus zygomaticus dan gigi
insicivus atas pertama yang berbentuk seperti sekop memberi petunjuk ke arah
ras Mongoloid.12
Jenis
kelamin ditentukan berdasarkan pemeriksaan tulang panggul, tulang tengkorak,
sternum, tulang panjang serta scapula dan metacarpal. Pada panggul, indeks
iso-pubis (panjang pubis dikali 100 dibagi panjang ischium) merupakan ukuran
yang paling sering digunakan.12
a)
Identifikasi
jenis kelamin pada kerangka
Penentuan ini didasarkan pada
ciri-ciri yang mudah dikenali pada tulang-tulang, seperti : tulang panggul,
tengkorak, tulang-tulang panjang, tulang dada, dimana yang mempunyai nilai
tinggi di dalam hal penentuan jenis kelamin adalah tunggal panggul baru
kemudian tengkorak. Secara umum dapat dikatakan bahwa rangka wanita mempunyai
bentuk dan tekstur yang lebih halus bila dibandingkan dengan rangka seorang
pria.11
v Panggul
Pemeriksaan panggul secara
tersendiri tanpa pemeriksaan lain, jenis kelamin sudah dapat ditentukan pada
sekitar 90% kasus. Bentuk dari “Greater schiatic notch” mempunyai nilai tinggi
dalam penentuan jenis kelamin dari tulang panggul, 75% kasus dapat ditentukan
hanya dari pemeriksaan tersebut.11
v Tengkorak
Untuk dapat menentukan jenis
kelamin dari tulang tengkorak, diperlukan penilaian dari berbagai ciri-ciri
yang terdapat pada tengkorak tersebut. Ciri-ciri ini akan tampak jelas setelah
usia 14-16 tahun. Ketepatan penentuan jenis kelamin atas dasar pemeriksaan
tengkorak dewasa adalah 90%.11
v Tulang
dada
Ratio panjang dari manubrium sterni
dan corpus sterni menentukan jenis kelamin. Pada wanita manubrium sterni
melebihi separuh panjang corpus sterni, dan ini mempunyai ketepatan sekitar
80%.11
v Tulang
panjang
Pria pada umumnya memiliki tulang
yang lebih besar panjang, lebih berat dan lebih kasar, serta impresinya lebih
banyak. Tulang paha (os.femur) merupakan tulang panjang yang dapat diandalkan
dalam penentuan jenis kelamin ketepatannya pada orang dewasa sekitar 80%.
Konfigurasi, ketebalan, ukuran dan caput femoris serta bentukan dari otot dan
ligament serta perangai radiologis perlu diperhatikan.11
b)
Penentuan
Umur pada kerangka
Untuk kepentingan menghadapi kasus
– kasus forensik, maka penentuan atau lebih tepatnya perkiraan umur, dibagi
dalam tiga fase, yaitu : bayi yang baru dilahirkan; anak – anak yang dan dewasa
sampai umur 30 tahun dan dewasa diatas 30 tahun.11
v Bayi
yang baru dilahirkan
Perkiraan umur bayi sangat penting
bila dikaitkan dengan kasus pembunuhan anak dalam hal ini penentuan umur
kehamilan (maturitas), dan viabilitas. Kriteria yang umum dipakai adalah :
berat badan, tinggi badan, dan pusat-pusat penulangan. Tinggi badan mempunyai
nilai yang lebih bila dibandingkan dengan berat badan di dalam hal perkiraan
umur.11
Tinggi badan diukur dari puncak
kepala sampai ke tumit (crown heel),dapat digunakan untuk perkiraan umur dan
menurut rumus dari HAASE. Cara pengukuran lain yaitu dari puncak kepala ke
tulang ekor (crown-rup), dipergunakan oleh STREETER.11
v Anak
– anak dan dewasa di bawah 30 tahun
Saat terjadinya unifikasi dari
dyaphises memberi hasil dalam bentuk perkiraan. Persambungan speno-occipital
terjadi dalam umur 17-25 tahun. Pada wanita, saat persambungan tersebut antara
17-20 tahun. Tulang selangka merupakan tulang panjang yang terakhir mengalami
unifikasi. Unifikasi dimulai pada umur 18-25 tahun, dan mungkin tidak lengkap
sampai 25-30 tahun. Dalam usia 31 tahun ke atas unifikasi menjadi lengkap.
Tulang belakang (ossis vertebrae),sebelum 30 tahun akan menunjukkan alur – alur
yang dalam yang berjalan radier pada bagian permukaan atas dan bawah dalam hal
ini corpus vertebranya.11
v Dewasa
di atas 30 tahun
Perkiraan umur dilakukan dengan
memeriksa tengkorak, yaitu sutura – suturanya. Penutupan pada bagian tubula
interna biasanya mendahului tabula externa. Sutura sagittalis, coronarius, dan
sutura lambdoideus mulai menutup pada umur 20 -30 tahun. Lima tahun berikutnya
terjadi penutupan sutura parieto-mastoid dan sutura squamosa, tetapi dapat juga
tetap terbuka atau menutup sebagian pada umur 60 tahun. Sutura spheno-parietal
umumnya tidak akan menutup hingga usia 70 tahun.11
c)
Penentuan
Tinggi badan pada kerangka
Penentuan tinggi badan menjadi
penting pada keadaan dimana yang harus diperiksa adalah tubuh yang sudah
terpotong-potong atau yang didapatkan rangka, atau sebagian dari tulang saja.
Pada umumnya perkiraan tinggi badan dapat dipermudah dengan pengertian bahwa
tubuh yang diperiksa itu pendek, sedang atau jangkung. Perkiraan tinggi badan
dapat diketahui dari pengukuran tulang-tulang panjang, yaitu :11
v Tulang paha (femur), menunjukkan 27
persen dari tinggi badan,
v Tulang kering (tibia), 22 persen
dari tinggi badan,
v Tulang lengan atas (humerus), 35
persen dari tinggi badan
v Tulang belakang, 35 persen dari
tinggi badan
Yang perlu diperhatikan di dalam
pengukuran tulang:11
v Pengukuran dengan osteometric board,
v Tulang harus dalam keadaan kering
(dry bone)
v Formula yang dapat dipergunakan
untuk pengukuran tinggi badan adalah :
i.
Formula
Stevenson
ii.
Formula
Trotter dan Gleser
Formula Trotter dan Gleser dan
Stevenson merupakan formula untuk manusia ras mongoloid.
5.
Identifikasi
Visual
Metode ini dilakukan dengan cara
memperlihatkan jenazah pada orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarga
atau temannnya. Walaupun metode ini sederhana, untuk mendapatkan hasil yang
diharapkan perlu diketahui bahwa metode ini baru dapat dilakukan bila keadaan
tubuh dan terutama wajah korban masih dalam keadaan baik dan belum terjadi
pembusukan lanjut. Selain itu perlu diperhatikan faktor psikologis, emosi serta
latar belakang pendidikan, mengingat adanay kemungkinan faktor-faktor tersebut
turut berperan untuk membenarkan atau sebaliknya menyangkal identitas jenazah
tersebut.11,12
6.
Pemeriksaan
Barang Kepemilikan (Property)
a. Dokumen. Dokumen
seperti kartu identitas (KTP, SIM, paspor, kartu golongan darah, tanda
pembayaran, dsb) dan sejenisnya yang kebetulan ditemukan dalam saku pakaian
yang dikenakan akan sangat membantu mengenali jenazah tersebut. Perlu diingat
pada kecelakaan masal, dokumen yang terdapat dalam tas atau dompet yang berada
dekat jenazah belum tentu adalah milik jenazah yang bersangkutan karena ada
kebiasaan seseorang di dalam menaruh dompet atau tasnya. Pada pria dompet
biasanya terdapat dalam saku baju atau celana, sedangkan pada wanita tas
biasanya dipegang; sehingga pada kecelakaan masal tas seseorang dapat terlempar
sampai pada orang lain yang bukan pemiliknya, jika hal ini tidak diperhatikan
kekeliruan identitas dapat terjadi, khususnya bila kondisi korban sudah busuk
atau rusak.11,12
b. Pakaian
dan Perhiasan. Pencatatan yang diteliti atas pakaian,
bahan yang dipakai, mode serta adanya tulisan-tulisan, seperti: merek pakaian,
penjahit, laundry atau initial nama, dapat memberikan informasi yang berharga,
milik siapakah pakaian tersebut. Bagi korban yang tidak dikenal, menyimpan
pakaian secara keseluruhan atau potongan-potongan dengan ukuran 10 cm x 10 cm,
adalah merupakan tindakan yang sangat tepat agar korban masih dapat dikenali
walaupun tubuhnya telah dikubur. Perhiasan seperti anting-anting, kalung,
gelang, serta cincin yang ada pada tubuh korban, khususnya bila pada perhiasan
itu terdapat initial nama seseorang yang biasanya terdapat pada bagian dalam
gelang atau cincin; akan membantu dokter atau pihak penyidik di dalam
menentukan identitas korban. Mengingat kepentingan tersebut maka penyimpanan
dari perhiasan haruslah dilakukan dengan baik. Khusus anggota ABRI,
identifikasi dipermudah oleh adanya nama, serta NRP yang tertera pada kalung
logam yang dipakainya.11,12
IV. KESIMPULAN
DVI
adalah suatu prosedur yang telah ditentukan untuk Mengidentifikasi korban mati
secara ilmiah dalam sebuah insiden atau bencana masal berdasarkan Protokol
INTERPOL. Bencana massal yang dimaksud seperti gunung api meletus, banjir,
tanah longsor, gempa bumi dan sebagainya, kecelakaan lalu lintas, pesawat
udara, kapal laut, kebakaran, gedung runtuh serta peledakan bom oleh teroris.
Bagi korban kejadian tertentu dan korban massal memerlukan proses identifikasi.
Adapun proses
DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan
lainnya, yang terdiri dari Fase TKP-‘The Scene’, Fase Pengumpulan data
jenazah-‘The Mortuary’ atau Post Mortem, Fase Pengumpulan data jenazah sewaktu
hidup-‘Ante Mortem Information Retrieval’, Fase Pembandingan-‘Reconciliation’
and Fase analisa dan evaluasi-‘Debriefing’
Dalam melakukan
proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan tehnik identifikasi yang
dapat digunakan. Namun demikian Interpol menentukan Primary Indentifiers yang terdiri dari Fingerprints-sidik jari, Dental
Records-hasil pemeriksaan gigi geligi dan DNA serta Secondary Indentifiers yang terdiri dari Medical-data medis, Property-barang
kepemilikan dan Photography.
DAFTAR PUSTAKA
1.
DVI
BIDDOKKES POLDA SULSEL. DVI (Disaster Victim Identification). [Online]
2009 [Cited on 2011 Agustus 31]: [1-4].Available from : URL : http://dvibiddokkespoldasulsel.blogspot.com/2009/01/dvi-disaster-victim-identification.html
2.
POLDA SULUT. DVI (Disaster Victim Identification) FASE I. [Online] 2010 [Cited
on 2011 Agustus 31] : [1-2]. Available from : URL : http://www.sulut.polri.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=67&Itemid=63
3.
DVI Indonesia. DVI INDONESIA. [Online] 2011. [Cited on 2011 Agustus 31]: [1-2].
Available from : URL: http://www.dvi-indonesia.com/index.php?id=7
4.
Suwandono
Adji. Identifikasi Korban Bencana Massal. [Online] 2010 [Cited on 2011
Agustus 31]: [1-2]. Available from : URL : http://adjisuwandono.staff.uns.ac.id/2010/07/22/identifikasi-korban-bencana-massal/
5.
AtmadjaDS, dr.SpF, SH, PhD, DFM. PERANAN ODONTOLOGI FORENSIK DALAM
PENYIDIKAN. [Online] 2004. [Cited on 2011 Agustus 31]: [1-7]. Available
from : URL : http://odontologiforensikinvestigasi.blogspot.com/
6.
Singh Surjit. Penatalaksanaan Identifikasi Korban. Dalam : Majalah Kedokteran
Nusantara Volume 41 No.4. Desember 2008. FK USU, Medan.
7.
Sugiharto
Pradini. Disaster Victim Investigation (DVI). [Online] 2011. [
Cited on 2011 Agustus 31]: [1-4]. Available from : URL : http://puradini.wordpress.com/2011/02/19/disaster-victim-investigation-dvi/
8.
Interpol. Disaster Victim Identification.
[Online] 2009. [Cited on 2011 August 31]: [1-18/24]. Available from : URL: http://disastervictimidentificatio-guide/chapitre4.asp,htm
9.
DVI
BIDDOKKES POLDA SULSEL. Ante Mortem.[Online] 2009 [Cited on 2011 Agustus
31]: [1].Available from : URL : http://dvibiddokkespoldasulsel.blogspot.com/2009/01/form-ini-adalah-yellow-ante-mortem-form.html
10. DVI BIDDOKKES POLDA SULSEL. Post Mortem.[Online]
2009 [Cited on 2011 Agustus 31]: [1].Available from : URL : http://dvibiddokkespoldasulsel.blogspot.com/2009/01/blog-post_15.html
11. Mun’im A. Identifikasi.
Dalam: Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi 1. Jakarta: Binarupa
Aksara. 1997. Hal 32-50.
12. Gani,
M.Husni dr.DSF, Reichs KJ, Krogman WM dan Iscan MY, Launtz LL. Identifikasi Forensik. [Online] 2008.
[Cited on 2011 Agustus 31]: [1-3]. Available from : URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Identifikasi_forensik.
13. PDGI. Pentingnya Dokter Gigi Identifikasi Korban Bencana Massal.
[Online] 2011. [Cited on 2011 Agustus 31] : [1-3]. Available from : URL : http://www.pdgi-online.com/v2/index.php?option=com_content&task=view&id=755&Itemid=1
14.
Elvayandri.
Sistem Keamanan Akses Menggunakan Pola Sidik Jari Berbasis Jaringan Saraf Tiruan. [Online] 2002 [Cited on 2011 Agustus 31]: [1/5].
Available From : URL : http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi/matematika/pengenalan-pola-sidik-jari-manusia-dengan-metode-probabilistic-neural-network-pnn
15.
Winanti
W. Aplikasi Algoritme Pencocokan String KPM dalam Pengenalan Sidik Jari.
[Online] 2007 [Cited on 2011 September 02]; [1-5]. Available from : URL: 2007/Makalah_2007/MakalahSTMIK2007-017.pdf
16.
Putra Evan
Sinly. Di Balik Teknologi Tes DNA. [Online] 2008. [Cited on 2011
September 02] : [1-6]. Available from : URL : http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/biokimia/di-balik-teknologi-tes-dna/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar