EUTHANASIA
BAGI ORANG YANG TIDAK PUNYA HARAPAN SEMBUH, SEPERTI ORANG YANG DIVONIS MATI
KARENA MENDERITA KANKER STADIUM LANJUT ATAU AIDS
Nabiel Fuad Al-Musawa
Disebutkan dalam kitab Fatwa-fatwa Kumpulan
Fiqh Islam hasil Kumpulan Muktamar Islam dalam Daurah Muktamar ketiga tahun
1986 sebagai berikut:
Perumpamaan syariat bahwa bagi seorang yang
telah mati dan telah dilakukan seluruh aturan syariat yang diwajibkan bagi
jenazah atasnya, yaitu setelah jelas salah satu diantara tanda-tanda berikut
ini:
1. Jika telah benar-benar berhenti detak
jantungnya serta nafasnya dan ilmu kedokteran telah menetapkan bahwa
berhentinya tersebut tidak dimungkinkan untuk berdetak lagi.
2. Jika telah berhenti seluruh organ
otaknya dari berdenyut dan aturan kedokteran yang spesialis dan berpengalaman
telah menetapkan bahwa denyutan tersebut tidak akan berdetak lagi dan boleh
diambil otaknya.
Dan dalam kondisi tersebut diperkenankan
mengambil bagian-bagian yang hidup yang menempel pada tubuh, walaupun bagian
tubuh tersebut seperti jantung misalnya masih bekerja sebagaimana bagian yang
berhubungan lainnya. ALLAHU a'lam.
Kesemuanya itu dikarenakan diantara tujuan
kesehatan adalah jangan sampai berhentinya detak jantung dan hilangnya nafas
sama sekali karena dengan demikian masih memungkinkan untuk dipacu selama
jantungnya masih berdetak, tetapi jika jantungnya sudah berhenti berdetak dan
diketahui hal tersebut melalui beberapa tanda-tanda seperti hilangnya gerakan
dalam mata sama sekali, maka berarti pasien telah benar-benar meninggal.
Sekalipun walaupun masih tersisa sedikit gerakan jantung, karena gerakan
tersebut akan berakhir pada ketiadaan gerakan sama sekali.
Adapun jika otak belum sepenuhnya mati,
maka mengambil bagian dari organ yang segar dari pasien pada kondisi tersebut
merupakan pembunuhan atasnya, sebagaimana firman ALLAH SWT:
"Dan barangsiapa yang membunuh seorang
mukmin dengan sengaja, maka balasannnya ialah jahannam, Kekal ia di dalamnya
dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar
baginya." (QS. An-Nisa': 93)
Sekalipun diizinkan oleh pasien untuk
mengambil organnya, karena hal tersebut sama dengan membunuhnya pelan-pelan,
dan izinnya sama sekali tidak bisa menghalalkan yang haram, dan nyawa pasien
tersebut bukan miliknya sehingga membolehkannya memberikannya pada orang lain.
Bersabda nabi SAW:
"Ada
diantara umat sebelum kalian seorang laki-laki yang terluka parah, sehingga ia
tak tahan menahan sakit, maka ia mengambil pisau dan memutuskan urat nadinya,
maka tumpahlah darahnya sampai ia mati. Maka berfirman ALLAH SWT: Hamba-KU
telah berani mendahului (keputusan) KU, maka AKU haramkan syurga baginya
[1]."
Adapun pasien yang telah tidak ada harapan
sembuh atau sakitnya divonis mati, juga tidak dibolehkan dibunuh karena alasan
untuk mencegah penularan, karena masih ada jalan lain untuk mencegah penularan
dan mencegah penularan lebih ringan dari membunuh, seperti dipisahkan atau
dikarantina dari orang lain.
(Ringkasan dari kitab Ahsanul Kalam fi
Fatawa wal Ahkam, karangan syaikh 'Athiyyah Shaqr Ketua Lajnah Fatawa al-Azhar,
jilid-11).
REFERENSI:
[1] Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim
[1] Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim
Sumber: www.al-ikhwan.net
Sebuah artikel dari
http://holisticpontianak.com/?pilih=lihat&id=12&PHPSESSID=2ce6e1bcea369e9970241de2d7ed3b12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar