Kamis, 27 Desember 2012

Hukum Transfusi Darah

KONDISI YANG MEMPERBOLEHKAN TRANSFUSI DARAH


Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh



Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh ditanya : Apakah boleh mendonorkan darah non muslim ke dalam tubuh seorang muslim pada saat dibutuhkan, seperti dalam kondisi kritis atau mengalami operasi atau tidak boleh?

Jawaban
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu berbicara tentang tiga hal. Pertama : Siapakah orang yang dberi tambahan darah? Kedua: Siapakah si pendonor darah? Ketiga : Siapakah orang yang menjadi rujukan dalam masalah perlu transfusi darah ini?

Yang Pertama : Orang yang perlu diberi tambahan darah ialah orang sakit atau terluka, yang keberlangsungan hidupnya sangat tergantung pada donor darah. Dasarnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak meginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya” [Al-Baqarah : 173
]

Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Maidah : 3]

Allah berfirman.

“Artinya : Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkanNya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” [Al-An’am : 199]

Sisi pendalilan ayat-ayat ini adalah, ayat-ayat ini memberikan pengertian, jika kesembuhan orang yang sakit atau terluka serta keberlangsungan hidupnya tergantung pada transfusi darah dari orang lain kepadanya, sementara tidak ada obat yang mubah yang dapat menggantikan darah dalam usaha penyembuhan dan penyelamatannya, maka boleh mentransfusi darah kepadanya. Ini sebenarnya, bukan pengobatan namun hanya memberi tambahan yang diperlukan.

Yang Kedua : Si pendonor darah adalah orang yang tidak terancam resiko jika ia mendonorkan darah. Berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Tidak membahayakan diri dan orang lain” [Riwayat Imam Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani]

Yang Ketiga : Orang yang didengar ucapannya dalam masalah perlunya transfusi darah adalah dokter muslim. Jika kesulitan mendapatkannya, saya tidak mengetahui adanya larangan untuk mendengar ucapan dari dokter non muslim, baik Yahudi ataupun Nasrani, jika ia ahli dan dipercaya orang banyak.

Dalilnya yaitu kisah yang terdapat dalam hadits shahih, bahwa pada saat melakukan hijrah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyewa seorang musyrik yang lihai sebagai pemandu jalan.

Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan dalam kitabnya (Bada’i Al-Fawaid) : “Dalam (kisah) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyewa Abdullah bin Uraiqith Ad-Daili sebagai pemandu saat berhijrah padahal dia seorang kafir, terdapat dalil bolehnya meruju’ kepada orang kafir dalam bidang kedokteran, celak, obat, tulis menulis, hitungan, cacat atau yang lainnya, selama tidak masuk wilayah yang mengandung keadilan.

Keberadaannya sebagai seorang kafir tidak serta merta menyebabkannya tidak bisa dipercaya sama sekali dalam segala hal. Dan tidak ada yang lebih beresiko ketimbang menjadikannya sebagai pemandu jalan, terutama seperti perjalanan melakukan hijrah”.

Ibnul Muflih, dalam kitab Al-Adab Asy-Syar’iyah, menukil perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

“Jika ada seorang Yahudi atau Nasrani yang ahli dalam masalah kedokteran serta dipercaya banyak orang, maka boleh bagi seorang muslim untuk berobat kepadanya, sebagaimana juga boleh menitipkan harta kepadanya dan bermu’amalah dengannya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu ; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya” [Ali-Imran : 75]

Dalam hadits shahih (yang diriwayatkan Imam Bukhari, red) bahwa saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hijrah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyewa seorang musyrik pemandu yang lihai. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempercayakan jiwa serta harta kepadanya.
Kabilah Khuza’ah menjadi tempat rahasia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik yang muslim di antara mereka ataupun kafir. Dan diriwayatkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar menjadikan Al-Harits bin Kaladah sebagi dokter padahal dia kafir. Jika memungkinkan dia berobat kepada seorang muslim, sebagaimana juga memungkinkan dia menitipkan barang atau bermu’amalah, maka semestinya dia tidak beralih kepada non muslim.

Sedangkan, jika dia perlu untuk menitipkan barang kepada seorang ahli kitab atau berobat kepadanya, maka hal itu boleh dilakukan. Ini tidak dikategorikan wala’ kepada Yahudi dan Nasrani yang terlarang”. Selesai perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullahu.

Demikian ini pendapat madzhab Malikiyah, Al-Mawardzi mengatakan : “Aku memasukkan seorang Nasrani ke rumah Abu Abdillah, orang itu lalu menerangkan (obat), sementara Abu Abdillah menuliskan keterangannya. Kemudian dia menyuruhku untuk membeli obat itu untuknya.

[Al-Fatawa Al-Muta’alliqah Bith Thibbi Wa Ahkamil Mardha, halaman 346-348]

HUKUM DONOR DARAH

Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Ada seorang yang kekurangan darah, dan pihak rumah sakit mencarikannya darah. Sementara kita mengetahui darah itu najis. Adakah rukhshah (keringanan hukum) bagi orang yang hendak mendonorkan darahnya kepada orang sakit yang sangat membutuhkan darah ini?

Jawaban
Hukum asal dalam pengobatan, hendaknya dengan menggunakan sesuatu yang diperbolehkan menurut syari’at. Namun, jika tidak ada cara lain untuk menambahkan daya tahan dan mengobati orang sakit kecuali dengan darah orang lain, dan ini menjadi satu-satunya usaha menyelamatkan orang sakit atau lemah, sementara para ahli memiliki dugaan kuat bahwa ini akan memberikan manfaat bagi pasien, maka dalam kondisi seperti ini diperbolehkan untuk mengobati dengan darah orang lain. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak meginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya” [Al-Baqarah : 173]

Allah berfirman.

“Artinya : Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkanNya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” [Al-An’am : 119]

[Al-Fatawa Al-Muta’aliqqah Bit-Thibbi Wa Ahkamil Mardha, halaman 348-349]

TRANSFUSI DARAH DAN HUKUM MENIKAH

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Apa hukum syari’at tentang transfusi darah dari seorang wanita ke lelaki yang sakit, karena kita tahu ada sekelompok orang di salah satu negara Islam menolak keras transfusi darah dari wanita ke lelaki?

Jawaban
Melakukan transfusi darah dari seorang lelaki ke wanita atau sebaliknya, hukumnya boleh. Dan transfusi darah tidak mengakibatkan haramnya nikah atau yang lainnya.

[Al-Fatawa Al-Muta’aliqqah Bit-Thibbi Wa Ahkamil Mardha, halaman 348-349]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 04/ Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasaan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar