Kamis, 27 Desember 2012

HUKUM MENGGUGURKAN KANDUNGAN HASIL PEMERKOSAAN


HUKUM MENGGUGURKAN KANDUNGAN HASIL PEMERKOSAAN
Dr. Yusuf Qardhawi
 
Pengantar
 
Pertanyaan penting ini saya terima ketika buku ini telah  siap
untuk  dicetak.  Yang mengajukan pertanyaan adalah Saudara Dr.
Musthafa Siratisy, Ketua  Muktamar  Alami  untuk  Pemeliharaan
Hak-hak    Asasi   Manusia   di   Bosnia   Herzegovina,   yang
diselenggarakan di Zagreb ibu kota Kroasia,  pada  18  dan  19
September  1992. Saya juga mengikuti kegiatan tersebut bersama
Fadhilatus-Syekh Muhammad al-Ghazali dan sejumlah ulama  serta
juru dakwah kaum muslim dari seluruh penjuru dunia Islam.
 
Pertanyaan
 
Dr.   Musthafa  berkata,  "Sejumlah  saudara  kaum  muslim  di
Republik Bosnia Herzegovina ketika mengetahui kedatangan Syekh
Muhammad  al-Ghazali  dan  Syekh  al-Qardhawi,  mendorong saya
untuk mengajukan pertanyaan yang menyakitkan dan membingungkan
yang disampaikan secara malu-malu oleh lisan para remaja putri
kita yang diperkosa  oleh  tentara  Serbia  yang  durhaka  dan
bengis,  yang  tidak  memelihara  hubungan  kekerabatan dengan
orang mukmin dan tidak pula mengindahkan perjanjian, dan tidak
menjaga  kehormatan dan harkat manusia. Akibat perilaku mereka
yang penuh dosa (pemerkosaan) itu maka banyak  gadis  muslimah
yang  hamil  sehingga menimbulkan perasaan sedih, takut, malu,
serta merasa rendah dan hina. Karena itulah mereka  menanyakan
kepada  Syekh  berdua  dan  semua ahli ilmu: apakah yang harus
mereka lakukan terhadap tindak kriminalitas beserta  akibatnya
ini?   Apakah   syara'   memperbolehkan   mereka  menggugurkan
kandungan yang terpaksa mereka alami ini? Kalau kandungan  itu
dibiarkan hingga si janin dilahirkan dalam keadaan hidup, maka
bagaimana hukumnya? Dan sampai dimana tanggung jawab si  gadis
yang diperkosa itu?"Jawaban
 
Fadhilatus-Syekh  al-Ghazali  menyerahkan  kepada  saya  untuk
menjawab  pertanyaan  tersebut   dalam   sidang,   maka   saya
menjawabnya  secara lisan dan direkam agar dapat didengar oleh
saudara-saudara khususnya remaja putri di Bosnia.
 
Saya pandang lebih bermanfaat lagi jika saya tulis jawaban ini
agar   dapat   disebarluaskan   serta  dijadikan  acuan  untuk
peristiwa-peristiwa  serupa.  Tiada   daya   (untuk   menjauhi
keburukan)  dan  tiada  kekuatan  (untuk  melakukan  ketaatan)
kecuali dengan pertolongan Allah.
 
Kita kaum muslim telah dijadikan objek oleh  orang-orang  yang
rakus  dan  dijadikan  sasaran  bagi setiap pembidik, dan kaum
wanita serta anak-anak  perempuan  kita  menjadi  daging  yang
"mubah"   untuk  disantap  oleh  serigala-serigala  lapar  dan
binatang-binatang  buas  itu  tanpa   takut   akibatnya   atau
pembalasannya nanti.
 
Pertanyaan  serupa  juga  pernah  diajukan  kepada  saya  oleh
saudara-saudara kita di Eritrea mengenai  nasib  yang  menimpa
anak-anak  dan  saudara-saudara  perempuan  mereka akibat ulah
tentara  Nasrani  yang  tergabung  dalam  pasukan   pembebasan
Eritrea,  sebagaimana  yang  diperbuat tentara Serbia hari ini
terhadap anak-anak perempuan muslimah Bosnia yang tak berdosa.
 
Pertanyaan yang sama juga pernah diajukan beberapa tahun  lalu
oleh  sekelompok  wanita  mukminah  yang cendekia dari penjara
orang-orang zalim jenis thaghut di beberapa negara  Arab  Asia
kepada  sejumlah  ulama di negara-negara Arab yang isinya: apa
yang harus  mereka  lakukan  terhadap  kandungan  mereka  yang
merupakan  kehamilan  haram  yang  terjadi bukan karena mereka
berbuat dosa dan bukan atas kehendak mereka?
 
Pertama-tama perlu saya  tegaskan  bahwa  saudara-saudara  dan
anak-anak  perempuan  kita,  yang  telah  saya sebutkan, tidak
menanggung dosa sama sekali terhadap  apa  yang  terjadi  pada
diri   mereka,   selama  mereka  sudah  berusaha  menolak  dan
memeranginya, kemudian mereka dipaksa di bawah acungan senjata
dan  di  bawah  tekanan  kekuatan yang besar. Maka apakah yang
dapat diperbuat oleh wanita tawanan yang tidak punya  kekuatan
di hadapan para penawan atau pemenjara yang bersenjata lengkap
yang tidak takut kepada Sang Pencipta dan tidak menaruh  belas
kasihan kepada makhluk? Allah sendiri telah menetralisasi dosa
(yakni tidak menganggap  berdosa)  dari  orang  yang  terpaksa
dalam  masalah yang lebih besar daripada zina, yaitu kekafiran
dan mengucapkan kalimatul-kafri. Firman-Nya:
 
    "... kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya
    tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)."
    (an-Nahl: 106)
 
Bahkan Al-Qur'an mengampuni dosa (tidak  berdosa)  orang  yang
dalam  keadaan darurat, meskipun ia masih punya sisa kemampuan
lahiriah untuk berusaha,  hanya  saja  tekanan  kedaruratannya
lebih  kuat.  Allah  berfirman setelah menyebutkan macam-macam
makanan yang diharamkan:
 
    "... Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa
    (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak
    (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
    Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
    (al-Baqarah: 173)
 
Dan Rasulullah saw. bersabda:
 
     "Sesungguhnya Allah menggugurkan dosa dari umatku atas
     suatu perbuatan yang dilakukannya karena khilaf (tidak
     sengaja), karena lupa, dan karena dipaksa melakukannya."1
 
Bahkan   anak-anak   dan   saudara-saudara   perempuan    kita
mendapatkan  pahala  atas musibah yang menimpa mereka, apabila
mereka  tetap  berpegang  teguh  pada  Islam   --yang   karena
keislamannyalah  mereka  ditimpa bala bencana dan cobaan-- dan
mengharapkan  ridha  Allah  Azza  wa  Jalla  dalam  menghadapi
gangguan dan penderitaan tersebut. Rasulullah saw. bersabda:
 
    "Tiada seorang muslim yang menderita kelelahan,
    penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, atau
    kerisauan, bahkan gangguan yang berupa duri, melainkan
    Allah akan menghapus dosa-dosanya dengan
    peristiwa-peristiwa itu."2
 
Apabila  seorang  muslim  mendapat  pahala  hanya  karena  dia
tertusuk  duri, maka bagaimana lagi jika kehormatannya dirusak
orang dan kemuliaannya dikotori?
 
Karena itu saya nasihatkan kepada  pemuda-pemuda  muslim  agar
mendekatkan  diri  kepada  Allah dengan menikahi salah seorang
dari wanita-wanita tersebut, karena kasihan  terhadap  keadaan
mereka   sekaligus  mengobati  luka  hati  mereka  yang  telah
kehilangan  sesuatu  yang  paling  berharga   sebagai   wanita
terhormat dan suci, yaitu kegadisannya.
 
Adapun  menggugurkan kandungan, maka telah saya jelaskan dalam
fatwa  terdahulu  bahwa  pada  dasarnya  hal  ini   terlarang,
semenjak   bertemunya  sel  sperma  laki-laki  dan  sel  telur
perempuan, yang dari keduanya muncul  makhluk  yang  baru  dan
menetap didalam tempat menetapnya yang kuat di dalam rahim.
 
Maka  makhluk baru ini harus dihormati, meskipun ia hasil dari
hubungan yang haram seperti zina. Dan  Rasulullah  saw.  telah
memerintahkan  wanita  Ghamidiyah  yang  mengaku telah berbuat
zina dan akan dijatuhi hukuman rajam itu agar menunggu  sampai
melahirkan  anaknya,  kemudian setelah itu ia disuruh menunggu
sampai anaknya sudah tidak menyusu  lagi  --baru  setelah  itu
dijatuhi hukuman rajam.
 
Inilah  fatwa  yang  saya pilih untuk keadaan normal, meskipun
ada sebagian fuqaha yang memperbolehkan menggugurkan kandungan
asalkan  belum  berumur empat puluh hari, berdasarkan sebagian
riwayat yang mengatakan bahwa peniupan ruh terhadap janin  itu
terjadi  pada  waktu  berusia empat puluh atau empat puluh dua
hari.
 
Bahkan sebagian fuqaha ada  yang  memperbolehkan  menggugurkan
kandungan  sebelum berusia seratus dua puluh hari, berdasarkan
riwayat yang masyhur bahwa peniupan  ruh  terjadi  pada  waktu
itu.
 
Tetapi  pendapat  yang  saya pandang kuat ialah apa yang telah
saya sebutkan sebagai pendapat pertama di atas, meskipun dalam
keadaan udzur tidak ada halangan untuk mengambil salah satu di
antara  dua  pendapat  terakhir  tersebut.  Apabila   udzurnya
semakin kuat, maka rukhshahnya semakin jelas; dan bila hal itu
terjadi sebelum berusia empat puluh hari  maka  yang  demikian
lebih dekat kepada rukhshah (kemurahan/kebolehan).
 
Selain  itu, tidak diragukan lagi bahwa pemerkosaan dari musuh
yang kafir dan durhaka,  yang  melampaui  batas  dan  pendosa,
terhadap wanita muslimah yang suci dan bersih, merupakan udzur
yang kuat bagi si muslimah dan keluarganya  karena  ia  sangat
benci  terhadap  janin  hasil pemerkosaan tersebut serta ingin
terbebas  daripadanya.  Maka  ini  merupakan   rukhshah   yang
difatwakan karena darurat, dan darurat itu diukur dengan kadar
ukurannya.
 
Meskipun begitu, kita juga tahu bahwa ada fuqaha  yang  sangat
ketat dalam masalah ini, sehingga mereka melarang menggugurkan
kandungan meskipun baru berusia satu  hari.  Bahkan  ada  pula
yang  mengharamkan usaha pencegahan kehamilan, baik dari pihak
laki-laki  maupun   dari   pihak   perempuan,   ataupun   dari
kedua-duanya,  dengan beralasan beberapa hadits yang menamakan
nazl  sebagai  pembunuhan  tersembunyi   (terselubung).   Maka
tidaklah  mengherankan  jika  mereka  mengharamkan pengguguran
setelah terjadinya kehamilan.
 
Pendapat terkuat ialah pendapat yang tengah-tengah antara yang
memberi kelonggaran dengan memperbolehkannya dan golongan yang
ketat yang melarangnya.
 
Sedangkan pendapat yang  mengatakan  bahwa  sel  telur  wanita
setelah  dibuahi  oleh  sel  sperma  laki-laki  telah  menjadi
manusia, maka yang demikian hanyalah  semacam  majas  (kiasan)
dalam ungkapan, karena kenyataannya ia adalah bakal manusia.
 
Memang  benar  bahwa  wujud  ini  mengandung kehidupan, tetapi
kehidupan itu sendiri bertingkat-tingkat dan bertahap, dan sel
sperma  serta  sel  telur  itu  sendiri  sebelum bertemu sudah
mengandung kehidupan, namun yang demikian  bukanlah  kehidupan
manusia yang telah diterapkan hukum padanya.
 
Karena itu rukhshah terikat dengan kondisi udzur yang muktabar
(dibenarkan), yang ditentukan oleh ahli  syara',  dokter,  dan
cendekiawan.  Sedangkan  yang  kondisinya tidak demikian, maka
tetaplah ia dalam hukum asal, yaitu terlarang.
 
Maka bagi  wanita  muslimah  yang  mendapatkan  cobaan  dengan
musibah   seperti  ini  hendaklah  memelihara  janin  tersebut
--sebab menurut syara' ia tidak menanggung  dosa,  sebagaimana
saya   sebutkan   di   muka--   dan  ia  tidak  dipaksa  untuk
menggugurkannya. Dengan demikian, apabila janin tersebut tetap
dalam kandungannya selama kehamilan hingga ia dilahirkan, maka
dia adalah anak muslim, sebagaimana sabda Nabi saw.:
 
    "Tiap-tiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah."3
 
Yang dimaksud dengan fitrah ialah tauhid, yaitu Islam.
 
Menurut ketetapan fiqhiyah, bahwa seorang anak  apabila  kedua
orang  tuanya berbeda agama, maka dia mengikuti orang tua yang
terbaik  agamanya.  Ini  bagi  orang  (anak)  yang   diketahui
ayahnya,  maka  bagaimana dengan anak yang tidak ada bapaknya?
Sesungguhnya dia adalah anak muslim, tanpa diragukan lagi.
 
Dalam  hal  ini,  bagi  masyarakat  muslim  sudah   seharusnya
mengurus  pemeliharaan  dan  nafkah  anak itu serta memberinya
pendidikan yang baik,  jangan  menyerahkan  beban  itu  kepada
ibunya  yang  miskin  dan  yang telah terkena cobaan. Demikian
pula pemerintah  dalam  Islam,  seharusnya  bertanggung  jawab
terhadap pemeliharaan ini melalui departemen atau badan sosial
tertentu. Dalam hadits sahih muttafaq 'alaih, Rasulullah  saw.
bersabda:
 
    "Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing
    kamu akan dimintai pertanggungjawabannya."4
 
Catatan kaki:
 
  1 HR Ibnu Majah dalam "ath-Thalaq," juz 1, him. 659,
    hadits nomor 2045; disahkan oleh Hakim dalam kitabnya,
    juz 2, hlm. 198; disetujui oleh adz-Dzahabi; dan
    diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Sunan-nya, juz 7, hlm.
    356
    
  2 HR Bukhari dalam "al-Mardha' (dari kitab Shahih-nya),
    juz 10, hlm. 103, hadits nomor 5641 dan 5642.
    
  3 HR Bukhari dalam "al-Jana'iz," juz 3, hlm. 245,
    hadits nomor 1385.
    
  4 HR Bukhari dalam "al-'Itq," juz 5, hlm. 181, hadits
    nomor 2558, dan dalam "an-Nikah," juz 9, hlm. 299,
    hadits nomor 5200.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar