Bismillahirrahmanirrahim
Makassar, 26 Januari 2010
Assalamu alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh
Dalam Agama Islam segala hal ada ilmunya atau ada fikihnya. Fikih itulah yang mengkaji sesuatu dilihat dari hukumnya, apakah sesuatu itu halal atau haram. Oleh karena itu, banyak muncul buku-buku fikih dengan berbagai judul seperti Fikih Wanita, Fikih Jual Beli, Fikih Nikah, dan lain-lain.
Sementara itu buku yang membahas fikih kedokteran masih jarang didapatkan. Padahal dalam urusan mencari obat pun ada fikihnya. Ada cara-cara pengobatan yang dihalalkan oleh syari’at dan ada yang diharamkan oleh syari’at. Tanpa mengetahui fikih kedokteran, seseorang dmungkinkan berobat dengan cara-cara pengobatan yang diharamkan oleh syara’. Alangkah malangnya seseorang jika sakit, dia berobat dengan cara yang dilarang agama. Jika dia sembuh, maka dia berdosa di akhirat dan jika tidak sembuh, maka dia celaka di dunia dan akhirat.
Fikih Kedokteran ini, sumber aslinya di ambil dari buku berjudul Al- Qawa’id asy-Syar’iyyah fi al-Masa’il ath-Thibbiyyah. Terjemahan aslinya adalah Kaidah-kaidah Syari’ah dalam Masalah-masalah Kedokteran.
Oleh karena itu, maka akan dibahas tentang kaidah-kaidah yang disertakan dengan masalah-masalah kedokteran/kesehatan yang selama ini dapat kita lihat,dengar atau temukan sebagai dokter baik di RS, Apotek,puskesmas atau tempat lainnya bahkan termasuk kebijakan pemerintah dalam bidang kesehatan. Jadi, yang dibahas disini adalah Kaidah-kaidah secara umum terhadap permasalahan dalam dunia Kedokteran/Kesehatan.
Dalam buku Fikih Kedokteran ini, ada 21 Kaidah, diantaranya :
Kaidah Pertama : Hukum Asal Segala Sesuatu yang Bermanfaat adalah Diperbolehkan. Boleh menggunakan semua jenis obat-obatan yang ada di muka bumi ini asal bukan yang diharamkan oleh syari’at. Apapun yang ada di muka bumi ini yang bisa diramu untuk dijadikan obat, maka boleh dimasukkan ke dalamnya, baik itu berupa benda cair maupun padat. Semua itu dengan catatan tidak membahayakan, sedangkan pintu untuk membuat obat ini terbuka lebar. Karena itu, harus ada studi tentang spesifikasi organ-organ hewan, air, barang-brang tambang, berbagai jenis tumbuhan, dan lain sebagainya. Segala yang ada di bumi telah ditundukkan oleh Allah agar kita bisa memanfaatkannya. Oleh sebab itu, pada dasarnya segala sesuatu itu diperbolehkan asalkan bermanfaat. Hal ini berpijak pada kaidah dasar, yaitu segala sesuatu yang bermanfaat adalah diperbolehkan. Akan tetapi, perlu diperhatikan jangan sampai mempergunakan sesuatu yang diharamkan, seperti minuman keras, lemak babi, dan barang-barang haram lainnya. Wallahu A’lam.
Kaidah Kedua : Hukum Asal Sesuatu yang Membahayakan adalah Haram. Berobat dengan pergi kepada tukang sihir dan mendatangi tukang tenung, tukang ramal, dan tukang sulap. Berobat dengan cara ini adalah bencana yang bisa menghilangkan agama dan merusak aqidah.
Kaidah Ketiga : Tidak boleh melakukan perbuatan yang berbahaya dan membahayakan. Dalam kaidah ini termasuk di dalamnya kaidah La Dharar wala dhirar, yaitu dibolehkannya pemberian tariff masuk dan registrasi bagi poliklinik khusus pribadi. Apabila poliklinik ini berlebihan dalam penentuan tarif masuk dan registrasi dan memberatkan pasien yang memerlukan, maka pemerintah setempat memiliki hak untuk menentukan harga yang sesuai bagi kedua belah pihak tanpa memberatkan salah satunya meskipun hukum asalnya, pemerintah tidak boleh menentukan harganya, namun apabila disebabkan adanya kebutuhan dan keharusan maka hal itu dibolehkan karena kaidahnya la dharar wala dhirar.
Kaidah Keempat : Kemadharatan sebisa mungkin dihilangkan. Boleh menggugurkan janin jika keberadaannya bisa mengancam keselamatan ibunya. Karena ibunya lebih berhak untuk tetap hidup daripada bayi tersebut tidak bisa berhak untuk tetap hidup daripada bayi tersebut. Sedangkan kemadharatan tersebut tidak bisa tertolak kecuali dengan menggugurkannya. Dan kemadharatan itu harus dicegah sesuai dengan kemampuan. Akan tetapi harus ada kesaksian para dokter yang adil dan terpercaya.
Kaidah Kelima: Kemadharatan itu harus dihilangkan. (kaidah ini sama dengan kaidah La dharar wala dhirar)
Kaidah Keenam: Madharat itu Tidak ada istilah “kadaluarsa”. Harus mengoreksi sebagian teori yang ada dalam beberapa buku kedokteran. Misalnya teori yang beranggapan bahwa manusia itu berasal dari kera lalu berevolusi menjadi manusia. Teori seperti ini adalah teori ornag kafir dan ateis yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Ijma’. Teori tersebut harus dihilangkan dari silabus. Namun sayang, sampai sekarang teori tersebut sedikit demi sedikit dihilangkan oleh kesungguhan para birokrat, ulama, dan orang-orang yang bersemangat untuk melaksanakan ajaran agama. Teori ini masih dipelajari dari generasi ke generasi dan tidak ada seorang pun yang membantah hanya karena teori tersebut dihilangkan karena teori tersebut ada kemadharatannya. Sedangkan kemadharatan itu tidak ada istilah lama. Namun, kemadharatan itu harus dihilangkan walau umur kemadharatan tersebut seumut dengan Nabi Nuh as.
Kaidah Ketujuh: Kemadharatan itu Tidak Boleh dihilangkan dengan kemadharatan yang sama. Tidak boleh menyumbangkan anggota badan yang masih diperlukan oleh tubuhnya karena akan mendatangkan kemadharatan bagi diri sendiri sebagai suatu penyakit, atau bahkan justru lebih dari itu. Sedangkan kemadharatan tidak bisa dihilangkan dengan kemadharatan yang semisal.
Kaidah Kedelapan : Kemadharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemadharatan yang lebih ringan. Dibolehkannya memutuskan rahim apabila keberadaan rahim tersebut membahayakan jika memang sesuai dengan rekomendasi para dokter, orang-orang yang kapabilitas dibidangnya dan yang terpercaya. Meskipun mengeluarkan rahim dari tubuh seorang wanita adalah kemadharatan namun tujuannya adalah untuk mencegah kemadharatan yang lebih berat. Sedangkan kemadharatan yang lebih berat. Sedangkan kemadharatan yang lebih ringan.
Kaidah Kesembilan : Apabila Ada dua kerusakan, maka diambil kerusakan yang lebih-lebih ringan. Dibolehkannya wanita mengobati laki-laki dan sebaliknya jika tidak ada cara lain. Sebab tindakan tersebut untuk mencegah kerusakan yang lebih besar. Sebab jika orang sakit dibiarkan dengan keadaannya yang sakit, dan tidak diobati, niscaya kemadharatan yang lebih besar dan kerusakan yang lebih banyak akan terjadi. Maka, dibolehkan seorang laki-laki mengobati wanita dan sebaliknya jika tidak ada cara lain demi menolak kerusakan yang lebih besar dengan melakukan kerusakan yang lebih kecil.
Kaidah Kesepuluh : Kemadharatan khusus bisa diambil demi Menolak kemadharatan Umum. Mencabut gigi yang terkena radang dan sudah tidak bisa diobati lagi untuk mencegah kemadharatan bagi gigi-gigi yang lain dan seluruh tubuh, seperti pusing,dan sebagainya. Meskipun ada dalam kemadharatan khusus yang berupa pembiusan, tercabutnya gigi dan rasa sakit ketika dicabut, namun semua itu tidak mengapa dilakukan demi mencegah kemadharatan yang lebih umum.
Kaidah Kesebelas ; Menolak kerusakan lebih diprioritaskan daripada mendatangkan kemashlahatan. Tidak boleh melakukan sesuatu yang kemadharatannya lebih besar daripada manfaatnya seperti melakukan operasi plastik agar lebih cantik. Sebab, meskipun kemashlahatannya tercapai, namun kerusakannya lebih besar. Bahaya-bahaya yang meliputi juga banyak. Padahal menolak kerusakan lebih diprioritaskan daripada mendatangkan mashlahah.
Kaidah Keduabelas: Kesulitan itu Menarik kepada kemudahan.(kaidah ini sama dengan kaidah ke-13)
Kaidah Ketigabelas: Suatu Masalah Apabila sempit maka menjadi Luas. Dibolehkannya menjamak bagi seorang dokter operasi apabila ia tidak bisa shalat tepat waktu karena sedang mengoperasi pasien.
Kaidah Keempat belas: Keterpaksaan itu Membolehkan yang Terlarang. Seorang dokter pria boleh melihat pasien wanita, atau melihat aurat pasien laki-laki karena darurat. Namun, ia tidak boleh melihat secara mutlak. Cukup sebatas yang diperlukan untuk mencegah keterpaksaan saja.
Kaidah Kelima belas : Sesuatu yang dibolehkan karena udzur, maka kebolehan itu menjadi batal jika udzurnya sudah hilang (kaidah ini sama dengan kaidah ke-16)
Kaidah Keenam belas : Apabila sesuatu yang menghalangi itu hilang, maka yang terhalang pun kembali. Apabila dokter menetapkan bahwa seorang pasien harus melakukan tindakan tertentu tetapi kemudian Allah menyembuhkannya sebelum dilakukannya operasi, maka melakukan operasi pada tubuh mereka hukumnya adalah haram. Sebab melakukan operasi dibolehkan apabila ada alasan, sedangkan alasannya sudah hilang, maka hukumnya kembali kepada hukum asalnya, yaitu terlarang.
Kaidah Ketujuh belas : Keterpaksaan itu tidak menggugurkan hak orang lain. Tindakan benar, tapi tidak bisa diterapkan pada orang lain. Maksudnya, tidak boleh mengambil berbagai peralatan yang diperlukan pasien hanya karena pasien lain yang juga sangat membutuhkan. Sebab hak atas peralatan tersebut ada pada pasien yang lebih dahulu. Kebutuhan pasien yang datang kemudian tidak bisa menggugurkan hak pasien pertama. Sebab sesuatu yang darurat itu tidak bisa menggugurkan hak orang lain.
Kaidah Kedelapan belas : Tidak diperbolehkan menggunakan milik orang lain kecuali dengan seizinnya. Tidak diperbolehkan mengambil anggota badan orang yang sudah meninggal tanpa izinnya. Sebab penggunaan hak milik tidak boleh dilakukan kecuali dengan izin yang punya.
Kaidah Kesembilan belas: Kebolehan yang bersifat syar’i menggugurkan jaminan. Jika ada dokter memberikan resep obat tanpa pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu dan hanya berdasarkan penjelasan pasien atas penyakitnya dan ternyata dokter tersebut salah dalam memberikan resepnya, maka ia harus bertanggung jawab atas kesalahan tersebut. Sebab, dia sudah bertindak ceroboh dalam memberikan resep obat tanpa adanya pemeriksaan terlebih dahulu.
Kaidah Kedua puluh : Kebutuhan menempati posisi dharurat baik bersifat umum maupun bersifat khusus. Boleh melakukan operasi yang dibutuhkan meskipun tidak sampai kepada derajat keterpaksaan (darurat). Operasi yang diperlukan tersebut adalah operasi yang jika tidak dilakukan niscaya seseorang mendapatkan masalah atau beban. Tujuannya untuk mempercantik atau memperbagus, namun sebatas kepada menghilangkan masalah atau beban tersebut. Misalnya menghilangkan keburukan, misalnya disebabkan karena kebakaran, kecelakaan lalu lintas, dan sejenisnya.
Kaidah kedua puluh satu: Kebijakan Pemimpin atas rakyat harus didasarkan pada kemaslahatan. Dibolehkan melarang sebagian jenis obat untuk masuk ke dalam negaranya apabila kemaslahatan akan timbul jika larangan masuknya obat-obatan tersebut berlaku.
Demikianlah kaidah-kaidah syari’at yang diikuti dengan permasalahannya dan sebagai kaidah yang harus dijadikan dasar hukum untuk menentukan apakah haram/halal sesuai dengan masalah yang ada dalam bidang kedokteran/kesehatan. Jika ada yang mau dishare. Tafadhal.
Ada pesan dari penulis buku ini : Siapapun dari ummat Islam yang ingin mencetaknya, maka kami telah membolehkannya meskipun tanpa nama penulisnya karena tujuannya adalah sampainya kebenaran kepada ummat manusia bagaimanapun caranya.
Wassalamu alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Sumber : Fikih Kedokteran,Walid bin Rasyid as-Sa’idah, Pustaka Fahima
Tidak ada komentar:
Posting Komentar